Bangunannya memang terbuat dari kayu ulin khas Kalimantan Timur. Mulai dari lantai, pilar, daun jendela, pintu, hingga atap sirap

Samarinda (ANTARA) - Ramah dan harmonis terhadap para pendatang menjadi kekuatan Kota Tepian sebagai daerah damai dan kaya budaya sehingga memunculkan potensi ekonomi.

Meskipun tidak mengklaim sebagai kota religi, Samarinda setidaknya punya tiga masjid populer yaitu Masjid Baitul Muttaqien di Islamic Center, Masjid Raya Darussalam, serta masjid tertua bernama Masjid Shiratal Mustaqiem yang memiliki makna jalan lurus.

Shiratal Mustaqiem sekaligus menjadi ikon bersejarah Ibu Kota Kalimantan Timur dan tidak sekadar sebagai tempat ibadah umat Islam.

Masjid yang dibangun pada 1881 itu menyimpan sejarah peradaban Islam dan bermakna mendalam bagi masyarakat Muslim di Samarinda. Salah satunya, Shiratal Mustaqiem, yang dinilai mampu mengubah kawasan yang sebelumnya dikenal sebagai "kampung maksiat" menjadi Kampung Masjid.

"Bangunannya memang terbuat dari kayu ulin khas Kalimantan Timur. Mulai dari lantai, pilar, daun jendela, pintu, hingga atap sirap," kata Sekretaris Kelompok Sadar Wisata Amanah Masjid Shiratal Mustaqiem, Mazbar.

Keseluruhan material masjid diambil dari empat kampung di Samarinda, yakni Karang Mumus, Dondang, Kutai Lama, dan Loa Haur.

Bukan sekadar bangunan tua yang dikenang hanya karena sejarahnya, masjid itu senantiasa dimakmurkan menjadi pusat kegiatan masyarakat.

Antusiasme masyarakat sekitar meramaikan Masjid Shiratal Mustaqiem dapat dilihat dari aktivitas remaja masjid, rutinitas shalat berjamaah, kegiatan gotong royong, majelis taklim, pendidikan Al-Quran, hingga menjadi sentra kegiatan kerukunan masyarakat Samarinda Seberang.

Kekompakan masyarakat sekitar yang senantiasa menjaga, melestarikan, dan memakmurkan masjid mengantarkan Shiratal Mustaqiem menempati posisi ke-2 dalam Festival Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia pada 2003.

Anugerah itu kemudian diabadikan pada tugu pajangan di halaman muka masjid. Saksi bisu yang menandai betapa masyhur masjid tua kebanggaan warga Samarinda di se-antero Nusantara.

Masjid yang memiliki luas bangunan sekitar 625 meter persegi dan teras sepanjang 16 meter itu pernah direhabilitasi pada 2001 oleh Wali Kota Samarinda saat itu, Achmad Amins.

Shiratal Mustaqiem pun masuk sebagai cagar budaya yang dilindungi UU Nomor 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya.

Mazbar menceritakan sejarah masjid tertua yang dibangun di Samarinda tidak lepas dari tangan seorang saudagar Muslim asal Pontianak Said Abdurachman bin Assegaf atau lebih dikenal masyarakat Samarinda dengan sebutan gelar Pangeran Bendahara.

“Untuk mengenang jasanya, gelar Pangeran Bendahara itu kemudian juga diabadikan sebagai salah satu nama jalan di Kecamatan Samarinda Seberang,” kata Mazbar.

Pada 1880, Pangeran Bendahara datang ke Raja Kutai Sultan Aji Muhammad Sulaiman untuk meminta izin mendiami kawasan Samarinda Seberang. Permohonan diperkenankan setelah melihat ketekunan dan ketaatan Said Abdurachman bin Assegaf dalam menjalankan syariat Islam.

Awal mula, Pangeran Bendahara ingin membangun rumah ibadah yang kini beralamat di Jalan Bung Tomo, Kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang, Kota Samarinda.

Lokasi itu dipilih lantaran lebih dikenal sebagai "daerah maksiat" karena banyak arena judi, seperti sabung ayam pada siang hari atau judi dadu pada malam hari.

Pangeran Bendahara dan tokoh masyarakat setempat pun berunding agar Samarinda Seberang bersih dari maksiat itu. Dalam perundingan disepakati, lahan seluas 2.028 meter persegi di kawasan itu akan didirikan masjid.


Kisah soko guru

Setahun kemudian usai Pangeran Bendahara mendiami Samarinda Seberang atau pada 1881, empat tiang utama mulai dibangun oleh Said Abdurachman bin Assegaf bersama warga sekitar.

Tiang yang lebih dikenal sebagai soko guru itu disumbangkan oleh empat tokoh, yakni Pangeran Bendahara, Kapitan jaya, Pettaloncong, dan Lusulunna.

Kala itu, banyak warga yang tak mampu mengangkat dan menanamkan tiang utama dengan diameter 80 sentimeter dan panjang 14 meter. Berkali-kali dilakukan, tetap saja gagal.

Alkisah, beberapa saat kemudian, datanglah seorang perempuan berusia lanjut. Dengan tenang dia mendekati warga yang sedang gotong royong. Nenek itu meminta izin kepada warga untuk mengangkat dan memasang tiang. Warga yang mendengar ucapan sang nenek, langsung tertawa.

Namun sikap Pangeran Bendahara malah sebaliknya. Dia menyambut kedatangan nenek itu. Pangeran Bendahara pun meminta warga untuk memperkenankan si nenek untuk melakukan apa yang diinginkan. Nenek pun meminta warga dan Said Abdurachman balik ke rumah masing-masing. Keesokan harinya, usai shalat Subuh, masyarakat takjub melihat keempat tiang itu sudah berdiri menjulang.

Setelah bangunan masjid rampung pada 1901, seorang saudagar kaya berkebangsaan Belanda bernama Henry Dasen memberikan sejumlah hartanya untuk pembangunan menara masjid berbentuk segi delapan, setinggi 21 meter. Menara itu menjulang pada arah belakang kiblat masjid.


Pelestarian dan revitalisasi

Pesan disampaikan oleh Camat Samarinda Seberang Aditya Koesprayogi saat ditemui beberapa waktu lalu. Dia menyebut arti penting menjaga dan melestarikan peninggalan budaya di Kota Samarinda.

Aditya mengakui Masjid Shiratal Mustaqiem merupakan lokasi awal berdiri Samarinda dan memiliki banyak peninggalan budaya yang merupakan kekayaan kota tersebut.

Upaya yang dilakukan pihak Kecamatan Samarinda Seberang untuk melestarikan situs budaya masjid itu, antara lain, dengan menggelar beragam kegiatan seperti lomba lari, sepeda santai, hingga lomba fotografi demi meningkatkan pemahaman masyarakat tentang warisan budaya Samarinda Seberang.

Sementara Pemerintah Kota Samarinda telah merencanakan program strategis untuk pengembangan pariwisata di Samarinda Seberang, salah satunya dengan membangun dermaga di depan Masjid Shiratal Mustaqim.

"Mereka sedang berusaha menyelesaikan proses relokasi tanah yang diperlukan untuk pembangunan dermaga tersebut, dan mereka memohon dukungan dari warga sekitar," ungkap Aditya.

Dermaga tersebut bukan hanya menjadi tempat bersandar kapal, melainkan juga menjadi pusat kegiatan seperti tempat menjajakan produk-produk UMKM lokal sekaligus etalase budaya Samarinda Seberang.

Disampaikan pula apresiasi masyarakat Samarinda Seberang kepada Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia atas dukungan pelestarian budaya.

Mereka berharap kerja sama dengan TNI dan Polri semakin meningkatkan pemahaman dan apresiasi terhadap peninggalan sejarah di Samarinda Seberang.

Contohnya, program revitalisasi situs budaya dan religi oleh Polresta Samarinda menyambut Hari Bhayangkara Ke-77. Salah satu tempat yang dipilih untuk revitalisasi adalah Masjid Shiratal Mustaqiem, yang memiliki nilai budaya bagi Samarinda.

"Polri memiliki beberapa program yang akan dilaksanakan. Pertama, mereka akan memperbaiki tempat mushaf tua yang telah berdiri selama 350 tahun," kata Waka Polresta Samarinda AKBP Eko Budiarto.

Revitalisasi itu bertujuan menjaga dan memperbaiki kondisi situs bersejarah tersebut. Mereka akan melibatkan pula ahli sejarah dari Universitas Mulawarman untuk mendiskusikan sejarah Masjid Shiratal Mustaqiem agar dipahami dengan baik oleh masyarakat.

Selain itu, Polri juga berencana membangun gapura tanpa menghilangkan bentuk pagar masjid yang sudah ada. Mereka ingin membangun tambahan bangunan tersebut tanpa mengurangi nilai historis yang dimiliki situs tersebut.

Tindakan Polri dalam melindungi dan menjaga situs-situs budaya dan peninggalan sejarah ini merupakan dorongan positif dan semangat bagi anggota Polri dan masyarakat.

Anggota Polri, termasuk Kapolsek dan petugas di sekitar situs-situs tersebut, akan melakukan pengawasan dan patroli untuk menjaga situs-situs tersebut dari aksi perusakan.

Itulah masjid tertua Kampung Samarinda Seberang. Ikon Kota Tepian yang tidak lapuk dimakan zaman karena terus dilestarikan dan dijaga generasi penerus.

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023