Pada Kamis 15 anggota Dewan Keamanan PBB mengadopsi resolusi tentang sanksi terhadap Korea Utara yang menyasar aktivitas perbankan dalam perdagangan dan pengapalan. Resolusi itu disusun setelah negara itu melakukan uji coba nuklir ketiga bulan lalu.
Duta Besar Amerika Serikat, Susan Rice, memprediksi sanksi baru bisa memberikan tekanan lebih kuat namun analis menyatakan hal itu akan sangat tergantung pada siapa yang melakukan tekanan.
"Beijing adalah aktor kunci yang terlibat dalam semua aktivitas perdagangan dan kegiatan pengapalan," kata Marcurs Noland, ahli masalah Korea Utara dari Peterson Institute for International Economics di Washington seperti dikutip AFP.
Adalah China yang secara militer terhubung dengan entitas Korea Utara yang membangun bank-bank atau institusi lain yang menjadi perantara aliran finansial terkait program pengembangan nuklir dan proliferasinya.
"Jika China memilih untuk menerapkan resolusi secara ketat, itu mungkin bisa mengganggu kalau tidak mengakhiri aktivitas proliferasi. Sayangnya, kalau kebiasaan masa lalu jadi panduan, ini sepertinya tidak akan terjadi," kata Noland.
Sebagai sekutu utama, China dianggap kurang antusias dalam mengadopsi sejumlah resolusi PBB dan ada yang meragukan oposisi China pada uji coba nuklir Korut.
Ketua Center for Strategic and International Studies Korea, Victor Cha, juga mengatakan tidak berharap banyak dari China dalam masalah ini.
"Kami tidak banyak berharap dari China... Bahwa China menunjukkan sedikit ketegasan," kata Cha.
"Ujian sesungguhnya terhadap komitmen China akan terlihat dari tindak lanjutnya. Akankah mereka tidak hanya menandatangani sanksi tapi juga menjalankannya secara tegas? Pada masa lalu perdagangan China-Korut malah meningkat akibat sanksi PBB," tambah dia.
Penerjemah : Anom Prihantoro
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013