Maraknya berbagai fenomena kasus kekerasan seksual terhadap anak usia sekolah dan maraknya kenakalan remaja menjadi indikator gagalnya pendidikan karakter. Maka perlu evaluasi memperkuat muatan moral,"
Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi X DPR RI Herlini Amran meminta pemerintah memperkuat muatan moral dalam kurikulum 2013, sebagai tindak lanjut maraknya fenomena kasus kekerasan seksual terhadap anak didik di sekolah.
"Maraknya berbagai fenomena kasus kekerasan seksual terhadap anak usia sekolah dan maraknya kenakalan remaja menjadi indikator gagalnya pendidikan karakter. Maka perlu evaluasi memperkuat muatan moral," kata Herlini melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa.
Dia mengatakan penerapan pelaksanaan pendidikan karakter di Indonesia masih gagal membentuk bangsa yang bermartabat dan berwibawa. Padahal, menurut dia, pada 2012 anggaran terkait program pendidikan karakter mencapai Rp100 miliar lebih.
Dia menilai saat ini Indonesia sudah dalam kondisi "Darurat Moral baik". Oleh karena itu pemerintah dinilai harus segera melakukan evaluasi yang komprehensif terkait pelaksanaan pendidikan karakter atau muatan moral yang mengejawantahkan sistem pendidikan nasional.
Dia mengingatkan Komisi Nasional Perlindungan Anak melansir kasus kekerasan seksual terhadap Anak yang terjadi di sekolah persentasenya nomor dua setelah kekerasan seksual terhadap anak di rumah.
Berdasarkan data kasus aduan kekerasan terhadap anak selama 2012, dari 2.637 aduan yang masuk, sekitar 60 persennya merupakan kasus kekerasan seksual.
"Saya kira penguatan moral anak bangsa adalah tujuan pendidikan nasional yang hakiki. Jika tawuran pelajaran masih marak, kekerasan seksual di kalangan siswa terus meningkat, saya kira pemerintah belum berhasil menyelenggarakan pendidikan nasional," kata Herlini.
Menurut legislator perempuan dari Fraksi PKS itu, evaluasi pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah sangat berguna untuk memastikan persiapan implementasi pendidikan karakter dalam kurikulum 2013 nanti. Mencakup anggaran dan strategi pembelajaran terkait penguatan moral siswa.
"Pelaksanaan pendidikan karakter juga harus lah berbasis keteladanan guru dan melibatkan peran orang tua siswa," ujarnya.
Selain itu kata dia, hal lain yang perlu ditingkatkan yakni meningkatkan aspek moral para pendidik itu sendiri.
"Hasil akhir kurikulum 2013 adalah mencetak siswa yang berkarakter, sehingga sangatlah penting semua aspek keguruan untuk segera ditingkatkan oleh Kemdikbud sebelum Kurikulum 2013 di jalankan," katanya.
Di bagian lain dia mengatakan anggaran kurikulum 2013 yang mencapai Rp2,49 triliun, termasuk anggaran pelatihan guru sebesar Rp 1,09 triliun yang diperuntukkan bagi 700 ribu lebih guru, kepala sekolah, dan pengawas, dengan waktu pelatihan 3-5 hari pertemuan, harus memiliki output yang jelas. Kemdikbud harus berani menjamin pascapelatihan para pendidik memiliki integritas moral yang baik di sekolah nantinya.
"Pengajar jangan cuma kompeten menyampaikan materi buku teks, tapi dalam perilaku kesehariannya tidak menjadi teladan moral yang baik kepada peserta didiknya," ujarnya.
Dia mengharapkan tahun ini menjadi tahun "Darurat Moral Baik", di mana momentun perubahan kurikulum baru kedepannya diharapkan menjadi momentum evaluasi pelaksanaan pendidikan karakter di Indonesia yang dinilai masih gagal membentuk bangsa yang bermartabat dan berwibawa.
(R028/Y008)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013
Tidak Berbasis Data Evaluasi Yang Komprehensif
Dari tahapan yang dijelaskan Kemendikbud, kurikulum 2013 dimulai dengan penyusunan kurikulum dari internal Kemendikbud dengan melibatkan sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu dan praktisi pendidikan. Dari tahapan ini terlihat bahwa perubahan kurikulum tidak dimulai dari data riset evaluasi kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang sedang berjalan. Tetapi lebih merupakan pandangan para pakar dan praktisi pendidikan. Logika nya masih top down. Bebarapa alasan pengembangan Kurikulum 2013 dikemukakan Kemendikbud aantara lain karena kebutuhan akan perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu) dan proses penilaian (dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output). Selain itu Kemendikbud mengemukakan ada kecenderungan akhir-akhir ini banyak negara menambah jam pelajaran (di AS, Korea Selatan).
Argumentasi Kemendikbud tersebut sangat lemah dan tidak berbasis data yang sebenarnya. Padahal sejak kurikulum 1984 yang mengedepankan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) sudah merubah proses pembelajaran dari teacher center menjadi student center. Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut Kurikulum 1975 yang disempurnakan. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Semangat Students Center Learning ini masih terus dilanjutkan dalam kurikulum kurikulum selanjutnya baik Kurikulum 1994,1999,2004, maupun 2006 (KTSP). Jadi paradigma Student Active Leraning itu sudah berjalan sejak 1984. Dengan demikian alasan Kemendikbud sangat memprihatinkan jika alasan perubahan kurikulum 2013 seolah menihilkan praktek student center dalam pembelajaran selama ini. Dalam konteks ini problem nya justru Kemendikbud belum pernah tuntas melaksanakan kurikulum dan tanpa evaluasi komprehensif. Perubahan kurikulum yang seperti ini menunjukan logika kepentingan proyek bukan logika kepentingan pendidikan. Argumentasi menggunakan AS dan Korea Selatan Sebagai rujukan penambahan jam juga tidak relevan karena tidak memperhatikan kebutuhan yang sebenarnya bagi seorang siswa di Indonesia.
Alasan lain Kemendikbud mengganti kurikulum adalah kritiknya terhadap Kurikulum 2006(KTSP) diantaranya dikemukakan bahwa kurikulum belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan, beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi di dalam kurikulum, kurikulum belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global, standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru, standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala, dan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir. Argumentasi ini juga lagi lagi tidak berbasis data penelitian yang komprehensif. Kata siapa KTSP belum sepenuhnya berbasis kompetensi? Bukankah ruh KTSP tidak meninggalkan KBK? Kata siapa domain sikap, keterampilan dan pengetahuan tidak ada dalam KTSP? Bukankah seluruh domain sudah dimasukan dalam KBK dan KTSP? Siapa bilang KTSP tidak peka terhadap perubahan sosial ditingkat lokal, nasional dan global? Bukankah semangat KTSP adalah otoritas sekolah yang member ruang besar bagi sekolah untuk peka terhadap perubahan sosial ditingkat local, nasional dan global ? Siapa bilang standar proses nya belum menggambarkan urutan yang rinci? Bukankah kerincian itu menjadi sarat KTSP? Siapa bilang KTSP penilaiannya tidak berbasis proses dan hasil? Bukankah KTSP berbasis proses dan hasil.
Problem sebenarnya ada pada Kemenduikbud itu sendiri yang tidak berpihak pada semangat perubahan paradigma pendidikan yang berorientasi pada keunggulan proses. Itulah yang kemudian merusak idealisme pelaksanaan kurikulum. Ada tiga hal yang merusak idealisme kurikulum di Indonesia. Pertama, Kemendikbud tidak melakukan riset evaluasi komprehensif atas pelaksanaan kurikulum sebelumnya. Kedua, Kemendikbud tidak menyiapkan guru terlebih dahulu secara sungguh-sungguh untuk mampu menterjemahkan kurikulum baru secara benar. Ketiga, Kemendikbud merusak seluruh semangat kreativitas guru untuk mengembangkan proses pembelajaran karena di kejar target Ujian Nasional yang cenderung cognitive oriented. Karena itu Ujian Nasional menjadi tidak relevan untuk anak SD. Jadi dalam pandangan penulis tidak ada argumentasi substansial ide perubahan kurikulum 2013.
Menghilangkan Beban Tetapi Menciptakan Beban Baru.
Kurikulum 2013 memuat rencana perubahan pada 4 elemen yakni perubahan pada standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, dan pada standar penilaian. Perubahan yang paling krusial adalah pada perubahan standar isi, karena perubahan standar kompetensi lulusan, perubahan standar proses, dan perubahan standar penilaian sesungguhnya tidak ada perubahan karena jika kita merujuk pada riset yang lebih komprehensif dan kualitatif secara paradigmatic ketiga perubahan tersebut sudah dipraktikan guru.
Semangat perubahan standar isi nampaknya ingin mengurangi beban kognitif siswa tetapi telah membuat beban baru. Hal ini terlihat dari perubahan standar isi pada bagian struktur kurikulum dari SD, SMP sampai SMA/SMK. Untuk SD struktur nya holistik dan integratif berfokus pada alam, sosial dan budaya. Pembelajaran dilaksanakn dengan pendekatan sains. Jumlah mata pelajaran akan dirubah dari 10 menjadi 6. Jumlah jam pelajaran bertambah 4 jam pelajaran. Perubahan tersebut tidak menjawab semnagat awal perubahan, selain tidak jelas struktur integratifnya kaitannya dengan pembentukan karakter juga bertambahnya jam pelajaran untuk anak SD juga merupakan tambahan beban. Dengan bertambahnya jumlah jam diantaranya akan meminimalisir waktu bermain dan waktu bersosialisasi anak di lingkungan sekitar tempat tinggalnya.
Hal senada juga terjadi pada SMP yang bertambah 6 jam. Selain itu, Integrasi IPA dan IPS selaian ada kontradiksi keilmuan, juga membutuhkan kesiapan guru yang tidak mudah. Pada problem kesiapan guru ini juga menjadi beban baru sementara beban kurikulum sebelumnya belum diimplementasikan guru secara tuntas. Perubahan klasifikasi mata pelajaran menjadi wajib, pilihan dan vokasional juga akan merubah struktur jumlah jam kewajiban mengajar guru yang akan bertentangan dengan syarat jam terpenuhi dalam sertifikasi guru. Dalam konteks ini perubahan kurikulum 2013 benar-benar menghilangkan beban lama tetapi menciptakan beban baru.
Lalu, apa solusinya? Solusinya sebelum kurikulum 2013 diberlakukan riset komprehensif terhadap pelaksanaan KTSP perlu dilakuakn secara utuh. Penambahan jumlah jam pelajaran tidak perlu dilakukan. Integrasi IPA-IPS dalam bentuk integrated learning membutuhkan kesiapan guru. Dari hal itu semua Kemendikbud perlu befikir keras untuk memiliki kurikulum yang kokoh secara sistem tetapi fleksibel secara isi. Jika Kurikulum tidak dibuat sunguh-sungguh dan tidak berbasis data riset maka kurikulum 2013 layak ditolak.