Depok (ANTARA News) - Koordinator Dewan Eksekutif
Center for Executive Institution Reform (CEIREF), Guspiabri Sumowigeno, menilai selama Timor Timur (Timtim) berada di bawah Indonesia, sesuatu yang harus dipahami adalah keberhasilan Indonesia memberikan pendidikan yang baik untuk rakyat Timtim dibandingkan dengan Portugal.
"Sesuatu yang kontras dengan prestasi Portugal selama 400 tahun di
(Timor Leste), yang hanya mendidik segelintir elite," kata Guspiabri Sumowigeno, menanggapi perkembangan Timtim yang dilanda kerusuhan, di Depok, Minggu.
Guspi mengatakan kini rasio telepon, jaringan listrik dan jalan raya per penduduk Indonesia ada di paling bawah di kawasan Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), tetapi Timtim
(Timor Leste) lebih baik, dan itu semua dibangun dengan uang pajak Warga Negara Indonesia (WNI).
"Amatlah menyakitkan ketika
(Timor Leste) sebagai eks koloni Portugal yang miskin, telah memiliki infrastruktur terbaik warisan Indonesia, tetapi Portugallah yang ditempatkan sebagai pahlawan," katanya.
Kekerasaan politik oleh Fretilin di
(Timor Leste) selama 1957-1959 yang menyebabkan tewasnya ribuan orang pun bukan berita internasional.
Ia mengatakan, saat ini kaitan ekonomi dan kultural dengan Indonesia yang dengan segala cara berusaha diputuskan.
"Ini akan membuat pemborosan anggaran negara yang sudah terbatas. Seperti upaya memasyarakatkan bahasa Portugal. Padahal, mayoritas rakyatnya telah berbicara dalam bahasa Indonesia," katanya.
Menurut dia, ekonomi Timtim tergantung pada pasokan berbagai kebutuhan barang dan modal dari Indonesia.
Pasokan barang mengalir dari pasar-pasar di perbatasan yang letaknya berdekatan dengan pos perbatasan.
Banyak di antara barang yang diperdagangkan merupakan barang-barang yang disubsidi oleh Pemerintah Indonesia bagi rakyat Indonesia sendiri, seperti Bahan Bakar Minyak (BBM), aneka produk pangan, benih dan pupuk.
"Bahkan, Bank Indonesia perlu menyiapkan langkah-langkah khusus untuk memonitor uang rupiah yang masih secara luas digunakan di
(Timor Leste)," katanya.
Barang-barang tersebut, lanjut Guspi, ditanggung oleh para pembayar pajak Indonesia dan kegiatan ekspornya sesungguhnya dilarang untuk diselenggarakan dengan cara ilegal melalui pasar perbatasan.
Menurut dia, kegiatan pasar di perbatasan, sepenuhnya menjadi keuntungan bagi rakyat Timtim, dan rakyat Indonesia, yang sesungguhnya terbebani, meskipun berhak untuk meminta Pemerintah RI mengisolasi Timtim.
Tetapi, ia berpendapat, rakyat Indonesia tidak melakukan hal itu, karena masih memiliki perhatian kepada saudara-saudaranya di Timtim yang dilanda kesulitan hidup yang luar biasa.
Dikatakannya, ribuan rakyat Indonesia dari bermacam profesi yang tinggal dan hidup di Timtim sebelum referendum telah diusir dan dipaksa meninggalkan harta bendanya, terutama aset tanah dan bangunan di wilayah itu.
Ia menilai, kalaupun Timtim mendapatkan dana dari minyak celah Timor, Pemerintah Timtim wajib membayar kepada Pemerintah Indonesia lantaran aset WNI yang ditinggalkan di Timtin sebelum referendum dan berbagai sarana infrastruktur yang dibangun di daerah itu yang dananya berasal dari RI.
Ditegaskannya bahwa adalah tidak realistik bagi elit Timtim sekarang dan masyarakat internasional untuk terus mengangkat luka masa lalu tentang peran Indonesia di Timtim, sehingga Indonesia harus menuntut opini yang lebih proporsional tentang peranannya memajukan peradaban masyarakat Timtim.
"Selama ini
generousity orang-orang sipil Indonesia tak pernah diangkat. Betapa ribuan guru dan dokter melayani rakyat di wilayah amat terbelakang eks koloni Portugal. Ribuan buruh membangun infrastruktur yang belum pernah ada," tambahnya.
Timtim adalah wilayah bekas jajahan Portugis (bangsa Portugal) selama lima abad yang ditinggalkan begitu saja pada 1975, dan setahun kemudian rakyatnya berintegrasi menjadi provinsi ke-27 ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hanya saja, mayoritas penduduk Timtim melalui jajak pendapat di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1999 menginginkan lepas dari NKRI dan memilih merdeka pada 2002. (*)
Copyright © ANTARA 2006