Jakarta (ANTARA) - Surya bersinar terik tepat tengah hari memantulkan warna hijau zamrud dari dasar perairan dangkal yang menjadi lokasi budi daya rumput laut di Pulau Lembongan, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali.

Sepasang petani paruh baya terlihat mendorong perahu yang telah berisi dua keranjang besar rumput laut ke tepian.

Mereka adalah Meta (59) dan Armiti (58) yang berprofesi sebagai guru, namun memiliki pekerjaan sampingan sebagai petani rumput laut, guna merawat nilai historis Pulau Lembongan sebagai kawasan penghasil rumput laut yang telah terkenal sejak empat dekade silam.

Komoditas rumput laut mulai ditanam sekitar tahun 1982 di Pulau Lembongan. Lalu, tumbuhan yang secara ilmiah dikenal dengan istilah algae atau ganggang itu kian berkembang pesat mulai tahun 1985.

Popularitas rumput laut di wilayah tersebut hanya bertahan tiga dekade, lantaran para petani perlahan meninggalkan budi daya rumput laut dan beralih ke sektor pariwisata, terhitung sejak tahun 2008 hingga 2019.

"Ketika virus Corona muncul yang membuat sektor pariwisata mati suri, orang-orang kembali bertani rumput laut dan berlanjut sampai sekarang," kata Armiti kepada ANTARA, saat ditemui sedang memanen rumput laut pada pengujung Juni 2023.

Awalnya rumput laut merah adalah produk andalan dari Pulau Lembongan, namun saat ini jenis itu tak bisa lagi tumbuh karena dinamika iklim. Kini rumput laut merah telah kalah bersaing dengan rumput laut hijau yang adaptif.

Para petani hanya perlu menunggu selama satu bulan untuk memanen rumput laut hijau, yang akrab disebut gerandong oleh penduduk lokal.

Meta dan Armiti memiliki 500 batang rumput laut hijau. Ratusan batang itu mampu menghasilkan sekitar tiga karung rumput laut kering setiap bulan.

Pengepul menghargai rumput laut kering itu senilai Rp15 ribu per kilogram, sedangkan nilai jual rumput laut basah hanya dihargai Rp5 ribu per kilogram.

Pada April 2023, harga rumput laut kering sempat menyentuh angka Rp40 ribu per kilogram. Itu adalah harga terbaik yang dinikmati para petani rumput laut.

Pasca-pandemi COVID-19 dan sektor pariwisata kembali berdenyut, ratusan warga masih membudidayakan rumput laut.

Kemasyhuran bisnis pariwisata pesisir kini tak lagi menggoyahkan mereka untuk beranjak dari aktivitas menghijaukan laut. Apalagi kian banyak industri rumahan yang membuat produk turunan rumput laut telah meningkatkan permintaan terhadap bahan baku rumput laut.

Sabun organik rumput laut

Masyarakat pesisir meyakini bahwa sumber kecantikan berasal dari laut. Hal itulah yang melandasi pasangan suami-isteri I Nyoman Sudiatmika dan Ni Luh Putu Wira Astuti untuk menciptakan sabun cuci tangan organik yang terbuat dari rumput laut, dengan merk Nusa.

Pasangan itu pun berpikir bahwa ada tumbuhan yang punya manfaat bagus, yakni rumput laut. Mereka kemudian memilih rumput laut sebagai bahan baku produk utama.
Aneka sabun cuci tangan organik berbahan dasar rumput laut yang diproduksi oleh penduduk lokal di Pulau Lembongan, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali. (ANTARA/Sugiharto Purnama)

Ni Luh dan suaminya membangun industri rumahan tersebut ketika pandemi COVID-19 merebak. Mereka bersemangat untuk menyerap produksi rumput laut dan meningkatkan taraf hidup para petani rumput laut di Pulau Lembongan.

Setiap hari tak kurang dari lima kilogram rumput kering dibutuhkan sebagai bahan baku pembuatan sabun cuci tangan organik.

Dari lima kilogram bahan baku tersebut mampu menghasilkan 25 liter sabun cuci tangan cair. Produk turunan itu kemudian dikemas ke dalam botol-botol berukuran 35 mililiter hingga 450 mililiter.

Harga jual sabun cuci tangan berbahan rumput laut paling murah adalah Rp35 ribu untuk ukuran 35 mililiter dan paling mahal Rp110 ribu untuk ukuran 450 mililiter.

Nyamon dan Ni Luh mampu meraup omset sekitar Rp25 juta setiap bulan dari berjualan sabun cuci tangan berbahan dasar rumput laut tersebut, yang dipasarkan melalui gerai-gerai buah tangan di Bali.

Saat ini mereka sedang mengembangkan produk turunan rumput laut lainnya, mulai dari sabun mandi, lotion, skincare, serum, moisturizer, hingga sunscreen.

Keberadaan produk turunan rumput laut telah menggairahkan kehidupan ekonomi masyarakat pesisir agar tidak hanya bergantung dari sektor pariwisata ataupun perikanan saja.

Wisata bawah laut

Dua pemuda yang basah kuyup duduk di atas pembatas ombak. Mereka baru saja turun ke dasar laut, mengambil beberapa terumbu karang untuk dikembangbiakkan di perairan Pulau Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali.

Jari-jemari mereka cekatan mematahkan terumbu karang yang tersimpan di dalam kotak plastik berisi air laut.

Di bawah naungan Kelompok Nuansa Pulau yang berdiri sejak tahun 2020, mereka melakukan restorasi terumbu karang yang rusak untuk merawat ekosistem laut.

I Gusti Ngurah Gede Hartawan (23), salah seorang anggota Kelompok Nuansa Pulau, melalui dukungan pendanaan organisasi nirlaba Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) telah membenam 200 reef stars berdiameter 50 sentimeter ke dasar perairan dengan kedalaman berkisar dua sampai lima meter.

Reef stars itu menjadi tempat menempel dan berkembangnya 3.000 fragmen karang dalam proyek restorasi tersebut.
Direktur Eksekutif Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) Tony Wagey melakukan kegiatan diving untuk melihat keragaman terumbu karang dan ikan di perairan Pulau Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali. (ANTARA/HO-ICCTF)

Kelompok Nuansa Pulau, kala itu terbentuk dari para pelajar yang kebingungan tidak ada pekerjaan karena sektor pariwisata mati suri akibat pandemi.

Jumlah anggota kelompok itu kini telah berjumlah 30 orang. Selain rutin melakukan restorasi terumbu karang, mereka juga menyediakan jasa wisata bawah laut melalui snorkeling dengan tarif Rp100 ribu per turis.

Paket wisata itu sudah termasuk guide yang bertugas memandu para wisatawan untuk menjelajahi kebun terumbu karang dan melihat berbagai jenis ikan yang berenang bebas di antara terumbu karang.

Menurut kajian dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), setiap satu hektare terumbu karang yang kondisinya baik mampu memberikan nilai ekonomi mencapai Rp17 miliar per tahun.

Nilai ekonomi itu bersumber dari terumbu karang yang berfungsi sebagai lokasi penangkapan berbagai jenis biota laut, baik konsumsi maupun hias, bahan baku farmasi, hingga objek wisata.

Indonesia memiliki kawasan konservasi laut seluas 28 juta hektare atau setara 12 persen dari total luas perairan di negara ini. Pemerintah berambisi meningkatkan persentase kawasan konservasi laut menjadi 30 persen pada tahun 2045, saat Indonesia genap berusia satu abad.

Bagi Gusti dan 29 pemuda lainnya yang tergabung ke dalam Kelompok Nuansa Pulau, laut bukan sekadar tempat mencari makan, tetapi tempat yang memiliki andil besar terhadap masa depan planet Bumi.

Ketika suhu air laut terus mengalami peningkatan akibat pemanasan global, terumbu karang akan rusak, yang membuat biota laut kehilangan tempat tinggal. Kondisi itu dapat memperparah dampak krisis pangan yang dialami oleh manusia.

Restorasi terumbu karang secara ekologi adalah upaya menjaga ekosistem laut agar biota laut bisa memiliki rumah dan berkembang biak. Ekosistem pesisir yang lengkap, berupa mangrove, lamun, dan terumbu karang, juga mampu menyerap karbon dengan jumlah yang sangat besar.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023