Jakarta (ANTARA News) - Tak nampak kelelahan di wajah wanita pelukis yang juga Ketua Ikatan Wanita Pelukis Indonesia (IWPI), Tio Jenie, padahal dia baru saja memimpin 24 wanita pelukis Indonesia menggelar pameran di Kuala Lumpur sejak pekan lalu. "Alhamdulillah, berhasil banget (pamerannya)...semua lukisan habis terjual. Bahkan boleh dibilang hasilnya melebihi target yang kita harapkan," kata Tio, Jumat, di Rawamangun, Jakarta Timur, lokasi rumah sekaligus Sanggar Lukis Stella yang telah bertahun-tahun dikelolanya. Berkenaan dengan misi pertukaran budaya dan mempererat persahabatan antara Indonesia-Malaysia, IWPI menggelar pameran lukisan bertajuk "Enchanting Colours of Indonesia" di Kuala Lumpur, Malaysia pada 8-11 Juni lalu. Pameran itu menampilkan 60 lukisan terbaik dari 24 pelukis IWPI antara lain karya maestro wanita pelukis Indonesia Maria Tjui dan Rukmini Yusuf Affandi. Pameran itu dibuka oleh Duta Besar RI untuk Malaysia, Drs KPH Rusdihardjo SH dan disaksikan antara lain oleh Direktur Jenderal Galeri Seni Nasional Malaysia, Kementerian Kebudayaan, Seni dan Warisan Malaysia, Saharudin Ismail, para duta besar negara asing yang berkedudukan di Kuala Lumpur dan ratusan peminat lukisan. Tio, yang baru lima bulan menjabat sebagai Ketua Umum IWPI itu, menjelang berangkat ke Kuala Lumpur pernah menyatakan harga jual masing-masing lukisan berkisar Rp15juta-Rp30juta (6.000-12.000 Ringgit Malaysia). Karena itu, dia sungguh sangat gembira saat menyatakan seluruh lukisan yang dipamerkan habis terjual. Sebenarnya, uang penjualan lukisan baginya bukan yang paling penting, justru misi pertukaran budaya dan mempererat persahabatan dengan negara jiranlah yang utama. Melalui pameran sejenis tentu masyarakat Malaysia semakin dapat menilai bahwa Indonesia serius menjalankan misi persahabatannya, minimal melalui penampilan karya terbaik para wanita pelukis itu. "Dengan pameran tersebut, terbuka kesempatan bagi pelukis Indonesia mengekspresikan kekayaan budaya dan bahasa di seluruh Kepulauan Indonesia yang secara langsung mempengaruhi para pelukis dan obyek-obyek yang dilukis mereka. Di sisi lain hal itu menjadikan Malaysia juga tidak ragu-ragu menggelar pameran sejenis atau kegiatan seni dan budaya di Indonesia. Kita tunggu saja kapan Malaysia akan menggelar pamerannya di sini," kata Tio menggebu-gebu. Bagi pelukis yang dijuluki `Mrs Rose` karena sangat gemar melukis bunga mawar itu, pameran IWPI di Kuala Lumpur jelas dapat membuka jalan bagi wanita pelukis lainnya --di IWPI atau bukan-- untuk berkiprah di luar negeri. Melalui pameran di negara tetangga, seperti Malaysia, tentu dapat membuka mata internasional bahwa Indonesia juga memiliki wanita pelukis berkualitas. Tak heran bila Tio sangat optimistis terhadap perkembangan karier wanita pelukis Indonesia yang disebutnya punya komitmen kuat untuk terus maju dengan penajaman kualitas karyanya di masa mendatang. "Anggota IWPI itu dari berbagai profesi lho, tapi mereka tetap bersikukuh untuk melahirkan lukisan-lukisan yang berkualitas. Dan mereka itu dari segala usia. Mereka juga rajin memperluas wawasan untuk menajamkan kualitas lukisan mereka," kata Tio memuji sekaligus memberi semangat para anggota kelompok lukisnya. Dalam pameran di Kuala Lumpur, selain Maria Tjui dengan karya Traditional Market, Rukmini Yusuf Affandi (Fishing Boat at Pangandaran Timur), Tio Jenie (Roses), digelar juga lukisan Ellen Aditya (Sun Set), Emma S. Budimansyah (White Lillies), Ika Yuni Purnama (Full Moon), Jennie Djuadi (Good Morning), Kartini Sabekti (Arjuna), Lien Saharto (Hibiscus). Selain itu tampil pula karya Lily Arifien (Flower Arrangement), Lina D. Koeswandito (Romantic), Lolita Rosiana BN (Bunaken), Marintan Susatio (Traditional Market), Maryam Arianto (Love is Beautiful), Rini Winahyo (Family), Sulfioati Wangsit (Still Life), Tri S. (My Garden), Vera Harahap (Red Roses), Yanthi Tambunan (Togetherness 1), Yetti Achmad (White Lillies), Yetti NR (Woman and Mask), Yulie Arifin (The Shepher), Yuriah Tanzil (Harmony) dan Made Darsini Rusdihardjo (Pink Flowers). Apa Adanya Berbeda dengan semangatnya yang menggebu-gebu dalam mengembangkan seni lukis Indonesia dan khususnya kiprah wanita pelukis Indonesia, wanita Batak yang fasih berbahasa Sunda itu cukup sederhana dalam memandang perjalanan karier kepelukisannya. "Aduh, apa ya...buat saya mah, melukis itu bukan buat cari duit. Buat enjoy aja. Melukis itu merupakan satu pemenuhan batin dan saya melukis karena memang senang melukis," katanya ketika ditanya pandangannya soal filosofisnya melukis. Ibu empat anak dan nenek lima cucu ini bisa menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari di depan kanvas lukisannya. Tio kerap lupa makan dan bersosialisasi ketika dia asyik meramu sejumlah warna pembentuk obyek lukisannya yang sangat beragam. Tio memilih naturalisme dan impresionisme sebagai aliran lukisannya. "Cuma lebih banyak memang yang beraliran naturalis. Soalnya, saya bisa berlama-lama menekuninya di kanvas. Kalau yang impresionis, maaf-maaf kata ya, bukan sombong, sudah kelar hanya beberapa jam saja," katanya sambil tertawa terkekeh-kekeh. Namun Tio juga tidak menampik bila disebut pelukis mawar. Berpuluh-puluh obyek mengenai "rose" sudah dihasilkannya dan entah berapa puluh lagi yang akan dihasilkannya. Tio sangat dapat berimajinasi bila obyeknya bunga mawar. "Tentu ada riwayatnya kalau saya sampai menekuni obyek bunga mawar," katanya. Bunga mawar itu identik dengan kenangannya akan suami tercinta yang telah lebih dulu meninggal dunia. "Suami saya orang yang sangat romantis. Sejak berpacaran hingga menjadi isterinya, suami saya selalu memberi hadiah ulang tahun berupa bunga mawar yang jumlahnya disesuaikan dengan usia saya. Itu cukup membuat saya menjadikan mawar sebagai lambang cinta kasih kami," katanya. Selain itu, Tio mengakui, bunga mawar merupakan obyek lukisan yang tersulit untuk ditransfer ke kanvas. Ada teknik-teknik tertentu yang harus dikuasai antara lain teknik penyapuan kuas ke kanvas untuk menghasilkan bentuk dan struktur kelopak mawar yang berlapis-lapis, katanya. Ditanya sejauh mana bakat mempengaruhi kemampuan melukis, pelukis yang pernah menimba ilmu melukis dari Sensei Ohta di Jepang ini menyatakan, "Bakat tidak terlalu penting. Karena nilainya cuma satu persen. Yang sangat menentukan adalah teknik dan kemampuan melukis, nilainya 99 persen dan itu bisa dipelajari," katanya serius. "Yang juga penting adalah latihan setiap hari, tidak boleh mengeluh dan tanpa mengenal lelah. Pelajari juga soal obyek dan komposisi secara mendalam. Jangan pernah ragu untuk menarik garis. Belajar, terus belajar dan banyak latihan. Dengan itulah, seseorang bakal menguasai pembuatan satu lukisan," kata Tio, wanita pelukis berusia 61 tahun tapi masih aktif bermain tenis dan golf ini dengan mantap.(*)
Oleh Oleh Primayanti
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006