Meditasi dalam jazz, menikmati nada-nada yang serba mbalelo, menawarkan kenyamanan untuk memberontak, bukan keamanan bagi mereka yang suka membeo, tanpa mau berimprovisasi
Jakarta (ANTARA News) - "Mau ngapain Anda menikmati dengan memasang telinga seraya menyetel mata di ajang perhelatan akbar musik jazz?", "Sekedar nampang doang, sekedar mau mejeng, atau sekedar mau ikut-ikutan agar dibilang gaul gitu?, "Atau jazz memang menawarkan 'sesuatu' gitu lho, agar ziarah hidup anda dapat teduh di metropolitan yang serba bising ini?".
Tiga pertanyaan meminjam bahasan keseharian metropolitan Jakarta itu mengerucut kepada satu pertanyaan saja,
"Anda sesungguhnya mau apa?".
Terang benderang, bahwa Jakarta International Djarum Super Mild Java Jazz Festival 2013 akan menampilkan 182 pertunjukan di 18 panggung selama tiga hari, 1--3 Maret di JIExpo Kemayoran.
Sekedar ingin tampak gaul, karena kata "gaul" sepadan dengan laku di pasaran, yang kerapkali menjadi taruhan bagi kualitas seseorang di Jakarta sini.
Seorang sohib di kantor mengatakan, "Mereka yang suka baca buku filsafat biasanya kurang mampu bergaul, karena filsafat memecut orang untuk bermeditasi dengan segala sesuatu yang ada di sekelilingnya."
"Filsafat mengajar orang untuk terus mengkritik karena filsafat itu hewan aneh yang terus menggonggong, menggigit, bahkan menerkam siapa saja yang sudah merasa nyaman dan merasa aman." Ketika seseorang dilabel sebagai sosok kurang gaul, maka ia disebut saja sebagai orang yang celaka tigabelas.
Nah, kini Java Jazz Festival (JJF) 2013 mengajak mereka yang keranjingan dengan segala bentuk improvisasi yang serba nyeleneh tapi asyik. Silakan menikmati kekayaan improvisasi, kelimpahan dari perbendaharaan komposisi dan keragaman dari aransemen bermerk jazz yang beraroma meditasi filosofis.
Jazz sebagai mata uang yang laku di mana-mana dan kapan saja, mengobrak-abrik kemapanan dan kenyaman. Jika ingin menikmati sajing musik jazz, maka silakan bermeditasi dalam bentang kreativitas seluas samudera.
Caranya? Ya itu tadi, bermeditasi di tengah alam dan seni musik, salah satunya jazz.
Baik meditasi dan musik jazz sama-sama dibalut dalam nada yang perlu diendus dengan telinga, dibelai dengan mata. Seluruhnya ini hanya dapat dicandera jika sesorang yang sedang nge-jazz di JJF 2013 mampu bermeditasi.
Ya mampu bermeditasi, mampu bermenung diri dengan bening hati, jernih berpikir mengenai segala apa yang didengar dan disaksikan serta disingkap bahwa ada pengalaman serba berbeda di seberang sana.
Modalnya apa untuk melakukan meditasi seraya nge-jazz di JJF 2013? "Selama tiga hari itu akan ada 110 musisi Indonesia dan 40 musisi mancanegara," kata koordinator JJF 2013, Eki Puradiredja.
Dengan mengusung tagline "Jazz Up The World" - ingin mengangkat kekayaan pengalaman jazz ke panggung dunia - meditasi akan menerima umpan-umpan sarat improvisasi di kolam bernama jazz, dari empat empat musisi yang akan manggung di ajang special show.
Penyanyi asal Inggris Joss Stone akan tampil di panggung D2 Djarum Super Mild Hall pada hari pertama festival. Lisa Stansfield akan menghibur para penonton di panggung yang sama hari berikutnya. Penyanyi R&B Craig David tampil pada hari Minggu (3/3) dan Basia akan tampil untuk dua hari, Sabtu dan Minggu.
Selain keempat musisi akbar itu, JJF juga akan disesaki oleh, antara lain, Jimmy Cliff, Yannick Bovy, Monday Michiru, Chuco Valdes, dan Lee Ritenour. Musisi lokal yang turut manggung di JJF kali ini yaitu Barry Likumahuwa, BubuGiri, The Groove, RAN, Abdul and the Coffee Theory, dan Tohpati Bertiga. "Itu cara kami memperkenalkan jazz," kata Eki pula.
Ingin memperkenalkan jazz sampai mendunia, ingin mengajak orang Jakarta dan sekitarnya bermeditasi dengan nge-jazz, mungkinkah?
Ketika seseorang bermeditasi dengan khusyuk maka ada pernyataan, "Kian saya mencari kata-kata untuk mengekspresikan hubungan denga Yang Ilahi itu, kian saya merasa mustahil menggambarkan dan melukiskannya dalam kata-kata. Yang Ilahi tidak tertangkap oleh indera, meski kesadaran diri ini dapat merasakan kehadiran Yang Ilahi itu."
Ketika mereka sedang menikmati dan mendengar alunan nada dan kata dari segepok musisi akbar itu, maka mereka berharap bahwa segala sesuatunya berbeda dengan yang mereka dengar di satu pertunjukan dengan pertunjukan lain.
Bukan hanya berlaku bagi mereka yang mendengar, tetapi bagi musisi jazz, berlaku kredo bahwa harus ada yang berbeda, sampai-sampai berbeda dari diri sendiri. Ada pengalaman tak terkatakan, karena penjelasan verbal saja belum cukup memadai untuk menampung segala apa yang ada dalam musik jazz.
Bagaimana mungkin seorang yang terlahir buta warna dapat mengenal dan menjelaskan warna merah? Bagaimana mungkin mereka yang hidup di metropolitan Jakarta yang serba bising ini dapat bermeditasi dengan mendengar dan menikmati musik jazz di JJF 2013 ini?
Jawabnya sederhana, biarkan alunan musik jazz menyentuh relung perasaan karena dalam nada jazz ada warna dramatis, cinta, seksi, menggoda, menyapa, memberontak, mengajak berdansa. Jazz adalah warna kehidupan. Nikmatilah jazz, nikmatilah hidup seraya bermeditasi dalam keheningan meski gempuran alat-alat musik akan merevolusi indera pendengaran dan penglihatan.
Sebagai sosok yang ingin bermeditasi sambil nge-jazz, penikmat atau bukan penikmat silakan membaca reportase berita dari wartawan tulis dan media cetak seputar JJF tahun ini. Ada testimoni dari pemrakarsa JJF, Peter Gontha. "Saya rasa wartawan yang meliput preskon ini lebih banyak daripada yang di KPK. Hari ini ada 380 wartawan meliput, kalau di KPK mungkin 70an wartawan ya," katanya.
Selain itu, ada testimoni dari Jocelyn Eve Stoker yang lahir pada 11 April 1987, yang dikenal dengan nama panggung Joss Stone. Penyanyi yang juga berprofesi sebagai aktris itu juga punya kepedulian kemanusiaan lewat kampanye global memerangi penyakit tuli.
Ketika ia ditanya wartawan Kanada mengenai motivasinya mencemplungkan diri dalam aksi kemanusiaan itu, ia menjawab, "Mampu mendengar berarti mampu menikmati suara dari dunia ini."
Ya, hanya dengan mendengar, seseorang dapat bermeditasi kepada Yang ilahi. Ya, hanya dengan mendengar alunan musik jazz dalam JJF tahun ini, seseorang dapat mendengar alunan musik alam, mendengar apa yang hendak dibisikkan mengenai inti dari setiap meditasi, yakni menenggelamkan diri dalam malam gelap gulita jiwa.
Dijamin bahwa ketika seseorang mendengar jazz maka dia akan bersua dengan orkestra garapan dedengkot jazz global, Duke Ellington. Ada roh Ellington di JJF 2013.
Ada jazz, maka ada orkestra, serba bergemuruh, serba riuh. Dijamin, bila menikmati jazz, maka para penikmat musik jazz akan berpapasan dengan rumus sejati meditasi, yakni "tidak ada mata yang pernah melihat, tidak ada telinga yang pernah mendengar, tidak ada pikiran yang pernah memahami segala apa Yang Ilahi rencanakan dan siapkan." Ada meditasi, maka ada orkestra hati di telinga dan orkestra hati di mata.
Bila nanti bersua di JJF dengan penyanyi kelahiran Polandia, Basia, maka silakan dengarkan tembang-tembangnya mengenai pengalaman seseorang ketika dimabuk cinta, diharubiru oleh kegilaan hidup dan kegalauan dari rindu sang kekasih.
Serba ada cinta dari Basia, karena meditasi penyanyi Basia menawarkan meditasi mengenai diri pribadi, meminjam bahasa doa-doa Budha, meditasi dari sang Atman. Mendengar Basia bernyanyi, ada sesuatu "yang baru" yang dapat dipungut dan dijadikan oleh-oleh untuk kembali berziarah di kota ini.
Ngejazz sambil bermeditasi di gelanggang Kemayoran, membuat penikmat atau bukan penikmat jazz mengomposisikan ulang seluruh melodi kehidupan. Musik jazz adalah permainan tanpa tujuan, tanpa bentuk, tanpa janji apapun. Musik jazz serba "menidak", kata mereka yang belajar sedikit tentang filsafat.
Apakah ngejazz gaul? Haha...silakan nyengir saja, karena musisi jazz seperti Dexter Gordon dan Nat King Cole piawai dalam mengutip dan membangun narasi yang menggunakan bagian-bagian dari lagu yang berbeda. Dengarkan saja, solo piano Cole dalam lagu "Body and Soul" pada Jazz at Philarmonic pada 1944. Dan meditasi mengarah kepada narasi dalam mencari bukan untuk menemukan Yang Ilahi.
Meditasi dalam jazz, tidak selalu menangkap segala apa yang dituju. Meditasi dalam jazz, menikmati nada-nada yang serba mbalelo, menawarkan kenyamanan untuk memberontak, bukan keamanan bagi mereka yang suka membeo, tanpa mau berimprovisasi. Jazz adalah improvisasi!
Masih belum paham juga, silakan pegang meja, dengar apa yang dikatakan orang sebelah anda. Yang penting, jangan terus dan terus membeo. Genggamlah kemerdekaan menalar segala apa. Jangan takut berpikir, itu saja pesan JJF 2013.
(A024)
Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2013