Jika Pancasila tidak kita pompakan terus-menerus ke tengah masyarakat, sangat mungkin elastisitas ideologi ini tak lagi kenyal berhadapan dengan ideologi-ideologi lain

Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengingatkan bahwa elastisitas Pancasila sebagai ideologi bangsa diuji oleh kesetiaan rakyat pendukungnya pada abad 21 dan seterusnya dengan zaman yang terus berubah dan masyarakat yang berkembang.

"Ketika zaman berubah, interaksi masyarakat dunia juga semakin intensif dan masif, saya ingatkan bahwa nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat dunia juga berubah. Di sinilah Pancasila diuji, sejauh mana sila-sila yang terkandung di dalamnya tetap dihayati dan dijalankan oleh rakyat pendukung ideologi ini," kata Ahmad Basarah dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.

Hal itu disampaikannya dalam Sarasehan Nasional Pancasila dan Haul Bung Karno dengan tema "Soekarno dan Pancasila di Abad 21" yang digelar oleh Universitas Negeri Malang, Kota Malang, Jawa Timur, Selasa (27/6).

Basarah pun menjelaskan alasan bulan Juni dimeriahkan sebagai "Bulan Bung Karno" tidak hanya karena sang proklamator lahir, wafat, dan melahirkan Pancasila di bulan Juni, melainkan yang lebih penting lagi ialah memompakan ideologi Pancasila kepada semua generasi bangsa.

"Jika Pancasila tidak kita pompakan terus-menerus ke tengah masyarakat, sangat mungkin elastisitas ideologi ini tak lagi kenyal berhadapan dengan ideologi-ideologi lain yang sangat mudah diakses di Internet, mulai dari komunisme, kapitalisme, sampai khilafah," ujarnya.

Dia lantas mencontohkan desukarnoisasi yang pernah terjadi di masa lalu berhasil membuat stigma bahwa Bung Karno jauh dari umat Islam, sangat dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Baca juga: Pakar sebut nilai Pancasila harus diaplikasikan di tiap kebijakan
Baca juga: Dunia akui Pidato Pancasila Bung Karno di PBB sebagai arsip dunia

Padahal, lanjut dia, tak sedikit kajian mengungkapkan bahwa pemikiran Bung Karno tentang sinergi antara Islam dan Pancasila yang melahirkan nasionalisme religius banyak diungkap oleh banyak akademisi.

"Ada pemahaman dikotomis yang sengaja dikembangkan di masa lalu bahwa nasionalisme bertentangan dengan Islam. Jadi, jika Bung Karno dianggap kelompok yang menganut paham kebangsaan, otomatis beliau dinilai tidak Islami. Ini salah kaprah," tuturnya.

Menurut dia, pemahaman dikotomis itu tidak tepat sebab Bung Karno sendiri menegaskan ia adalah seorang umat Islam, karena Islam yang dianutnya ia menjadi nasionalis.

"Dalam tulisan-tulisannya di masa muda, Bung Karno menegaskan Islam memerintahkan umat Islam membela Tanah Air di mana mereka hidup. Itulah yang beliau sebut sebagai nasionalisme Islam yang juga diperjuangkan oleh para pemikir Islam seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan pemikir Timur Tengah lainnya di era itu," katanya.

Sementara itu, Rektor Universitas Negeri Malang (UNM) Prof Hariyono dalam presentasinya sebagai narasumber menyayangkan akibat distorsi sejarah, masih ada dosen sejarah di kampus lain yang menolak Pancasila lahir pada 1 Juni 1945.

"Mengapa sampai saat ini masih ada anggapan ada tiga orang yang merumuskan Pancasila? Ini terjadi karena distorsi. Ayo cek, apakah Bung Hatta orang jujur atau tidak? Saat menerima gelar doctor honoris causa, Bung Hatta menegaskan Pancasila adalah pidato Bung Karno pada 1 Juni," ucapnya.

Turut hadir dalam sarasehan nasional itu di antaranya Wakil Bupati Malang Didik Gatot Subroto, hingga Ketua DPRD Kota Malang Made Riandiana.

Baca juga: Wakil Ketua MPR: Ikut pemilu wujud taat terhadap Pancasila dan UUD 45
Baca juga: Wakil Ketua MPR: Bung Karno milik seluruh rakyat Indonesia

Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2023