Jakarta (ANTARA) - Organisasi Masyarakat Sipil (Civil Society Organization/CSO) meminta Pemerintah untuk lebih melibatkan masyarakat sipil dalam penyusunan aturan turunan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
"Aturan turunan sangat penting untuk memperjelas panduan operasional implementasi UU TPKS bagi aparat penegak hukum, dan bagi tenaga layanan baik pemerintah dan non pemerintah atau individu atau lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat," kata Perwakilan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Ratna Batara Munti di Jakarta, Selasa.
Dalam diskusi bertema "Urgensi Aturan turunan UU TPKS, disampaikan, partisipasi publik tercantum dalam Pasal 96 UU No.13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Perundang-undangan.
Ia mengatakan pihaknya bersama masyarakat sipil, serikat pekerja dan serikat buruh yang tergabung dalam TIM CSO SP/SB Kawal Aturan Turunan UU TPKS menyampaikan beberapa poin masukan, di antaranya aturan turunan harus memastikan mekanisme pemberian Dana Bantuan Korban (DBK) memperhatikan aspek antara lain, kemudahan akses, memperhatikan kondisi geografis, dan kebutuhan khusus korban karena TPKS merupakan pelanggaran HAM.
Baca juga: Wakil Ketua MPR: Perlu komitmen kuat lahirkan aturan pelaksana UU TPKS
Baca juga: KPPPA: Penguatan SDM tangani kekerasan seksual penting
"Penting pelibatan lembaga layanan berbasis masyarakat dalam proses penerimaan kasus hingga pemanfaatan Dana Bantuan Korban," katanya.
Ia menambahkan aturan turunan terkait DBK juga perlu memerhatikan kepentingan penyandang disabilitas dalam hal pembiayaan dana bantuan yang membutuhkan dana yang jumlahnya berbeda dari teman-teman bukan disabilitas atau biasa dikenal extra cost disability.
"Keberadaan pendanaan ini sangat penting bagi Penyandang Disabilitas dalam melanjutkan seluruh proses penanganan, pelindungan, dan pemulihan," katanya.
Ia menambahkan aturan turunan juga harus mengatur tentang pentingnya penguatan kompetensi penegak hukum dan lembaga layanan dalam pencegahan dan penanganan TPKS berperspektif gender, disabilitas, dan inklusi sosial.
Dalam konteks kekerasan lintas negara, disampaikan, dibutuhkan rancangan peraturan perundang-undangan tentang pelindungan, pencegahan, dan penanganan penyediaan dan pengurus dokumen kewarganegaraan oleh negara dan penanganan kekerasan seksual lintas negara yang berperspektif korban.
Untuk itu, ia mengatakan pihaknya meminta agar proses pembahasan aturan turunan UU TPKS yang saat ini berlangsung dapat dilakukan secara transparan, dan melibatkan partisipasi dari kelompok masyarakat.*
Baca juga: KPPPA: Penggabungan aturan pelaksana UU TPKS tidak kurangi substansi
Baca juga: LBH APIK: Penyelesaian kasus kekerasan seksual harus lewat peradilan
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023