Jakarta (ANTARA) - Beberapa waktu lalu pemerintah Singapura mendorong warganya beralih dari garam biasa ke alternatifnya yang rendah sodium.

Channel News Asia (CNA) beberapa waktu lalu melaporkan warga Singapura mengonsumsi rata-rata 3.600 mg sodium. Padahal, batas harian konsumsi sodium oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah 2.000 mg. Survei Kesehatan Penduduk Nasional Singapura pada 2020 mengatakan hal ini menjadi faktor utama penyakit kardiovaskular, stroke, dan lainnya.

Tren itu juga berlaku untuk semua kelompok usia, jenis kelamin, dan etnis. Sama dengan Singapura, Indonesia juga menerapkan batas atas konsumsi sodium pada 2.000 mg per hari. Batas ini diatur oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Konsumsi sodium di Indonesia juga semakin meningkat dan tentunya menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Garam merah muda Himalaya, garam kosher, atau garam laut menjadi beberapa merek garam alami yang menjadi pilihan masyarakat karena dugaan manfaat kesehatannya.

Nyatanya, garam jenis itu tidak mempunyai perbedaan kandungan nutrisi yang signifikan dibanding garam meja biasa. Padahal, harganya sangat mahal dibandingkan dengan garam pada umumnya.

Baca juga: Glutamat bisa bantu kurangi asupan garam

Garam merah muda Himalaya mengandung lebih banyak potasium dibandingkan dengan garam meja. Garam kosher mirip dengan garam meja dan tidak mengandung jejak mineral atau yodium.

“Keberadaan mineral ini sangat kecil dan tidak menambah banyak nilai gizi. Lebih baik mendapatkan mineral ini dari makanan sehat lainnya untuk manfaat kesehatan yang lebih nyata," ujar seorang ahli gizi senior di Singapore Polytechnic's Food Innovation and Resource Centre Carolyn Stephen dalam keterangannya diterima di Jakarta, Selasa.

Apakah MSG bisa menjadi alternatif pengganti garam?

Anggapan MSG berbahaya bagi kesehatan dimulai pada 1968-an. Saat itu, seorang dokter AS menulis surat ke jurnal medis berjudul “Chinese Restaurant Syndrome.”

Dalam dokumen tersebut, dia menggambarkan gejala seperti mati rasa di belakang leher, kelemahan umum, dan jantung berdebar. Dia menduga MSG, bersama dengan bahan lain seperti anggur masak dan natrium dalam jumlah tinggi, mungkin menyebabkan gejala tersebut.

Anggapan ini kini mulai luntur dengan adanya penelitian lanjutan yang baru. MSG atau monosodium glutamat ternyata bisa diproduksi oleh manusia tanpa didapatkan dari makanan. MSG juga ditemukan di berbagai bahan makanan alami seperti tomat, jamur, dan bawang,

MSG hanya mengandung sekitar 12 persen natrium daripada garam biasanya. Walaupun begitu, rasa umami dan asin bisa lebih terasa ketika menggunakan MSG daripada garam.

Baca juga: Konsumsi garam bisa diganti dengan glutamat

Penelitian terbaru juga membuktikan bahwa MSG bisa jadi pengganti garam dalam makanan kemasan seperti camilan atau sup. Dengan MSG, kandungan natrium bisa berkurang hingga 30 sampai 50 persen.

Bagaimana cara memastikan makanan enak jika menggunakan lebih sedikit garam atau beralih ke alternatif rendah sodium?

Presiden Asosiasi Nutrisi dan Diet Singapura Dr Kalpana Bhaskaran mengatakan bahwa substitusi garam dengan varian rendah sodium tidak akan terlalu mengorbankan rasa. Bahkan, penelitian terbaru membuktikan orang yang diet asupan sodium akan lebih suka makanan yang rendah garam.

Menariknya, hanya dibutuhkan dua hingga tiga minggu untuk menyesuaikan makanan yang rendah garam. Penggunaan bumbu, rempah segar, jeruk, cuka, dan lain-lain bisa digunakan untuk meningkatkan rasa.

Selain itu, bawang merah, bawang putih, jahe, dan rempah-rempah seperti kunyit, merica, dan cabai juga dapat menonjolkan rasa dan aroma sehingga membuat makanan lebih nikmat tanpa perlu tambahan garam.

Membaca label nutrisi dapat membantu seseorang membuat pilihan yang lebih jelas saat membandingkan produk makanan berdasarkan kandungan natrium.

Kurangi konsumsi sodium saat makan di luar. Misalnya, mintalah garam atau saus lebih sedikit saat memesan nasi goreng, tumisan sayur, atau jajanan kaki lima lainnya serta hindari menambah garam yang tersedia di atas meja.

Baca juga: Beda takaran MSG fortifikasi dan MSG biasa

Baca juga: MSG aman dikonsumsi asalkan sesuai takaran

Baca juga: WHO: dunia perlu kurangi asupan garam meja

Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2023