"Mereka punya satu traumatik yang sangat buruk terhadap religion (agama). Jadi dulu ada seorang yang datang atas nama agama tiba-tiba anaknya diambil, diculik dan dijual. Takut dong mereka. Jadi aku harus masuk ke sana sebagai seorang yang net
Melihat sosok mungilnya, orang mungkin tidak menyangka bahwa gadis muda itu mempunyai pemikiran yang sangat matang, jauh lebih dewasa dari umurnya. Sejak berusia 15 tahun, Anggie Setia Ariningsih (21) telah bergaul dengan preman dan anak jalanan, mengajar mereka yang kurang beruntung tidak dapat mengecap pendidikan di sekolah. Dilihat sekilas, dandanan gadis berambut lurus pendek itu tidak berbeda dari teman-teman sebayanya yang suka dandan dan main ke pusat perbelanjaan. Namun tiap Sabtu dan Minggu, bukannya berada di mall, Anggie dapat dicari di aula kelurahan Menteng Atas, mengajar anak jalanan membaca dan menulis. Awal mula ia terjun kejalan diakui Anggie sangat sederhana. "Waktu itu aku kan ngajar di 30 sekolah (SMK) di Jakarta dan aku mikir `kalau aku bisa ngajar anak yang sekolah, gimana dengan anak-anak yang gak sekolah?` Ya sudah, habis itu aku turun ke jalan. Turun begitu saja," paparnya enteng. Berbekal nekad, Anggie mendatangi anak-anak jalanan di beberapa tempat seperti Menteng Atas, Jelambar dan Joglo dan mengajak mereka untuk berkumpul dan belajar membaca. Niat baik saja ternyata tidak cukup. Kedatangan Anggie tidak langsung diterima oleh para anak jalanan tersebut. "Untuk bisa mendapatkan waktu mereka, aku sampai harus membayar mereka, waktu itu aku misalnya bayar Rp3.000 per jam agar mereka nggak harus `kerja` dan dapat belajar," katanya. Dengan mengeluarkan uang dari kantong sendiri untuk menyogok para "preman" itulah, Anggie punya kesempatan untuk mengajarkan anak-anak jalanan bahwa masih ada kehidupan di luar sana. "Aku ngajarnya sih kebanyakan membaca dan pengetahuan umum biasa aja," katanya. Anggie mengaku ia menghindari mengajarkan hal-hal rumit agar anak-anak jalanan itu mencintai pelajaran bersamanya. Mengajar anak jalanan tentu saja berbeda dengan mengajar teman-teman sebayanya di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Anggie mulai mengajar Bahasa Inggris di SMK sejak ia memenangkan lomba debat Bahasa Inggris tingkat nasional tahun 2000. Oleh Dirjen Pendidikan Menengah Kejuruan waktu itu, Anggie sempat ditanya bagaimana ia bisa mendapatkan ilmu Berbahasa Inggrisnya yang sangat baik. "Aku jelaskan bahwa saya belajar Bahasa Inggris dari berbagai sumber seperti majalah, TV dan lain-lain," katanya. Akhirnya ia pun diminta oleh Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan untuk membagi ilmunya kepada murid-murid SMK yang lain. Tiga puluh SMK di Jakarta didatangi Anggie berbekal modul Bahasa Inggris buatannya sendiri yang disusunnya dari bahan-bahan yang berasal dari majalah, buku, koran maupun TV. Bahasa Inggris sendiri bukan merupakan suatu masalah besar bagi Anggie karena ia terbiasa bergaul dengan orang asing, hasil dari bergaul dengan rekan kerja ibunya yang berprofesi sebagai sekretaris di sebuah perusahaan asing. "Masalah dari penguasaan Bahasa Inggris di sini adalah kurangnya latihan saja. Murid-murid sekolah terlalu banyak berlatih Bahasa Inggris pasif, tidak diajak untuk berlatih menggunakannya," ujar Anggie beralasan. Anggie pun berkeliling ke sekolah-sekolah tersebut hampir tiap hari bersamaan dengan ia menyelesaikan pendidikan menengahnya. Profesi sebagai mentor dan motivator bagi teman-teman sebayanya itu dijalani Anggie selama dua tahun dan program yang disusunnya pun berkembang tidak hanya di jalankan di Jakarta, melainkan di seluruh Pulau Jawa.Awalnya Dicurigai Terjun ke dunia anak jalanan bagi Anggie menjadi sebuah tantangan yang lumayan besar. Pertama kali ia mengenalkan dirinya, ia harus menghadapi kecurigaan-kecurigaan penduduk setempat. "Aku langsung ditanya, dari mana? Dari partai apa?" tuturnya mengingat pengalaman "menegangkan" itu. Penuh pertimbangan, Anggie bahkan melepaskan jilbabnya untuk dapat diterima di antara komunitas anak jalanan. "Mereka punya satu traumatik yang sangat buruk terhadap religion (agama). Jadi dulu ada seorang yang datang atas nama agama tiba-tiba anaknya diambil, diculik dan dijual. Takut dong mereka. Jadi aku harus masuk ke sana sebagai seorang yang netral dan aku memang nggak membawa siapa-siapa, aku membawa nama diri sendiri," katanya. Untungnya kecurigaan itu akhirnya reda. Anggie pun dapat mengajar anak-anak itu belajar dengan tenang. Bantuan pun akhirnya berdatangan. Setelah ia terpaksa "menodong" rekan kerja ibunya untuk memberikan sumbangan bagi kegiatannya mengajar anak jalanan, kini Anggie dapat bernafas lega karena kegiatannya juga mendapatkan dukungan dari beberapa tokoh maupun selebritis. "Waktu itu saya juga sempat mendapat sumbangan dari artis cilik Giovanni dan Widi AB Three untuk peralatan belajar, sisanya dapat dari bantuan teman-teman," katanya. Selain bantuan berupa dana, Anggie juga mendapatkan dukungan dari sesama orang muda yang berminat. Salah satunya ketika ia akhirnya diundang dalam talk show salah satu stasiun radio swasta di mana ia menggunakan kesempatan itu untuk mencari relawan-relawan baru. "Ada enam orang yang menelpon dari acara itu tetap aktif sampai sekarang," kata Anggie penuh rasa terima kasih. Enam orang itulah yang bergantian mengajar jika kebetulan Anggie harus pergi ke luar kota karena pekerjaannya di salah satu perusahaan minyak asing. Sekolah Terbuka Ketika ditanya mengenai cita-citanya, gadis yang sedang berjuang menyelesaikan pendidikannya di program ekstensi Universitas Indonesia itu langsung menjawab bersemangat. "Sekarang yang ingin aku kejar adalah membangun sekolah terbuka. Aku ingin banget buka sekolah terbuka. Masalahnya sekolah terbuka itu tidak terlalu populer di Indonesia, padahal sekolah terbuka itu ada dan gampang," katanya antusias. Masalah perizinan disebut Anggie menjadi kendala dari cita-citanya ini, selain soal dana. "Perizinannya `mandeg-mandeg`, gak selesai-selesai," katanya. Selain mendirikan sekolah terbuka, Anggie juga menyatakan niatnya untuk membuat sebuah "rumah tinggal" bagi anak-anak jalanan. "Orang-orang kan bikin rumah singgah, itu baik, tapi kalo dengan rumah tinggal mungkin lebih baik lagi, khusus untuk anak-anak aja, mereka nantinya tinggal di sana dan disekolahkan. Nggak banyak kok ternyata biayanya," katanya. Namun impiannya ini masih harus menunggu karena Anggie menyatakan bahwa ia masih membutuhkan dukungan untuk mewujudkannya. "Kendalanya adalah belum ada yang mau ngerjain sama-sama. Kalau aku sendiri gak mungkin dong?" tanyanya retorik. Bukan popularitas atau nama besar yang dicari Anggie ketika ia memutuskan untuk melakukan semua itu. "Aku cuma mau coba untuk bilang, `Haloo? Kita tidak hidup sendirian. Ada banyak orang di luar sana yang butuh bantuan," katanya. "Tapi memang aku juga gak mau muluk-muluk juga. Aku gak bisa muluk-muluk bahwa semua anak ini akan `disekolahin`, terus anak ini akan hidup baik nantinya. Aku cuma kerja sendiri," katanya. Anggie pun semakin bersemangat ketika akhirnya perjuangannya itu mendapatkan perhatian masyarakat dan lebih lanjut mendapatkan dukungan seperti yang selalu diharapkannya. Ketika dijumpai ANTARA News di acara Sunsilk`s Girls Day di Sasana Budaya Ganesha, Bandung, Sabtu (10/6) lalu di mana ia diundang untuk menjadi motivator, Anggie sedang meneliti para calon relawan bagi kegiatannya mengajar anak jalanan. "Sudah ada sekitar 200 orang yang mendaftar dan aku harap bisa bertambah lagi," katanya bersemangat. Baginya, semakin banyak yang peduli, semakin baik. (*)
Oleh Oleh Arie Novarina
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006