Untuk menghindari zinah katanya, jadi lebih baik menikah muda."

Kebumen, Jawa Tengah (ANTARA News) - Cuaca di Karangsambung cukup panas meskipun desa itu berlokasi di perbukitan di kabupaten Kebumen.

Hawa panas itu rupanya juga dirasakan Apri Restuti. Dia bercerita sambil sesekali menyeka keringat di dahinya.

Apri, guru di SDN 03 Karangsambung, menceritakan tentang murid-muridnya yang sebagian besar terpaksa tidak melanjutkan pendidikan..

Beberapa tahun pertama dia lewati sebagai seorang guru dengan penuh rasa prihatin. Setiap menjelang masa kenaikan kelas, Apri selalu dirundung rasa cemas. Banyak murid yang setelah lulus sekolah dasar tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya.

"Pada tahun 2009, dari 34 anak sekolah dasar di satu kelas, yang melanjutkan hingga ke SMP hanya satu atau dua anak. Sedih sekali saya," tutur Apri saat dijumpai di Kantor Kepala Desa Karangsambung, Selasa.

Tidak hanya Apri, Usmayatuningsih yang merupakan salah satu remaja perempuan di Karangsambung juga ikut bercerita.

Di kampung itu, masih banyak anak perempuan yang baru lulus sekolah dasar sudah dikawinkan dengan pria pilihan orang tuanya.

Para orang tua kala itu beranggapan bahwa anak kampung, terutama anak perempuan, tidak perlu menimba ilmu setinggi langit .

"Anak perempuan itu tugasnya ya di dapur, urus suami dan anak," kata gadis berusia 16 tahun itu menirukan gaya bicara para orang tua tersebut.

Beruntung Usmayatuningsih bisa terus mengenyam pendidikan tidak seperti beberapa teman atau pun kerabatnya yang harus menuruti kemauan orang tua, untuk menikah di usia anak.

Hal ini tidak hanya berlaku untuk anak perempuan saja. Anak laki-laki pun mendapatkan perlakuan serupa.

Menurut para orang tua kala itu, percuma bila anak laki-laki sekolah tinggi namun akhirnya bernasib sama seperti orang tuanya yang tidak pernah mengenyam pendidikan.

Alhasil, saat baru lulus sekolah dasar, banyak anak laki-laki yang terpaksa mulai bekerja sebagai buruh tambang pasir, buruh batu, ataupun buruh tani. Selang beberapa tahun setelah akil balik, para remaja pria pun akhirnya menikah juga.

"Untuk menghindari zinah katanya, jadi lebih baik menikah muda," kata Usmayatuningsih.

Alasan lain yang memberatkan para orang tua untuk menyekolahkan anaknya adalah akses menuju sekolah yang sulit serta biaya transportasi yang mahal.

Maraknya pernikahan anak tidak hanya terjadi di Karangsambung. Di beberapa desa lain di Kabupaten Kebumen, seperti Logandu, Penimbun, Karanggayam, bahkan di beberapa daerah lain di Indonesia, pernikahan anak seperti sudah menjadi hal yang lazim terjadi.

Pernikahan anak ini jelas melanggar hak anak terutama bagi anak perempuan. Dalam beberapa kasus, pernikahan anak juga memberi dampak buruk bagi pelakunya.

Plan Indonesia, satu organisasi kemanusiaan yang terfokus pada perlindungan hak serta pemberdayaan anak, telah memaparkan hasil temuannya mengenai pernikahan anak.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Plan pada 2011, Plan mencatat bahwa 33,5 persen dari sekitar 2,5 juta anak usia 13-18 tahun pernah menikah. Rata-rata mereka menikah pada usia 15-16 tahun. Community Based Child Protection Specialist Plan Indonesia, Yuyum Fhahni Paryani, mengemukakan bahwa berdasarkan penelitian di lapangan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pernikahan anak.

"Banyak anak-anak di daerah tersebut yang hamil di luar nikah, itu adalah faktor utama penyebab pernikahan anak di desa," ujar Yuyum kepada ANTARA News, di Kebumen, Rabu.

Yuyum mengungkapkan, maraknya kasus kehamilan yang tidak dikehendaki di kalangan remaja desa, banyak diakibatkan karena rendahnya pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi. Akses informasi yang baik dan tepat mengenai kesehatan reproduksi masih sangat minim di beberapa tempat di Indonesia.

Selain itu, faktor tradisi atau budaya hingga faktor sosial-ekonomi, merupakan masalah klise yang sering menjadi alasan terjadinya pernikahan anak.

Lebih lanjut Yuyun menjelaskan bahwa para orang tua di desa yang sengaja menikahkan anaknya agar supaya terbebas dari beban ekonomi dan demi mendapatkan mahar.

Tidak hanya itu, di beberapa daerah ada tradisi yang mengharuskan anak perempuan untuk cepat menikah, supaya tidak menjadi perawan tua.

Khusus untuk kehamilan remaja yang akhirnya terpaksa membuat anak lalu menikah, Yuyum memaparkan tentang apa yang harus dilindungi.

"Struktur masyarakat sekitar mulai dari orang tua hingga sekolah harus dibenahi," jelas Yuyum.

Konotasi buruk mengenai kehamilan remaja dan pernikahan dini, justru akan memojokkan anak dan membuat anak merasa rendah diri, sehingga berisiko untuk melakukan aborsi hingga bunuh diri.

Oleh sebab itu, dukungan masyarakay sekitar sangat perlu untuk dibangun, demi melindungi anak tersebut. Selain akses kesehatan yang memadai, mereka juga membutuhkan dukungan moral dari sekitarnya.

"Hak anak untuk pendidikan juga tidak boleh diputus. Kenapa anak itu sampai tidak mau sekolah, tentu karena ada tekanan dari sekitarnya," tegas Yuyum.

Kendala lain berasal di Kantor Urusan Agama Kecamatan dan Kabupaten, yang memberikan dispensasi untuk para remaja bahkan anak-anak melakukan pernikahan. Bila ijin tidak diberikan, maka pernikahan secara agama atau yang kerap disebut 'nikah siri' yang lalu menjadi pilihan.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Plan pada 2011, sebanyak 44 persen anak perempuan yang melakukan pernikahan anak mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan tingkat frekuensi tinggi. Sementara sisanya ada 56 persen anak perempuan yang alami KDRT dalam rendah.

"Banyak anak yang lalu hamil di daerah sini yang alami pendarahan, keguguran, sampai kanker rahim," kata Apri. Apri benar, berdasarkan data dari United Nation Development Programme (UNDP), sembilan dari sepuluh kehamilan yang terjadi di usia anak akan membahayakan kesehatan reproduksi anak tersebut.

Pasalnya, rahim anak masih berkembang hingga sempurna di usia 20 tahun. Sehingga kehamilan sebelum usia tersebut akan membawa dampak buruk pada organ reproduksi yang mengakibatkan pendarahan, keguguran, bahkan kematian.

Secara psikologis, mental anak juga belum siap untuk menjadi orang tua. Berdasarkan buku panduan psikologi DSM IV-R, anak usia di bawah 20 tahun masih menjalani masa pencarian jati diri.

Pernikahan anak juga cenderung berujung pada perceraian, karena banyak anak yang belum siap menghadapi tantangan hidup berumah tangga, akibat mental yang masih tergolong labil.

"Saat anak menikah, terputusnya akses pendidikan juga menjadi ancaman. Sebagian besar pernikahan anak sebabkan mereka tidak mampu mencapai pendidikan yang lebih tinggi," imbuh Yuyum.

(M048)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013