Hal ini didasari kondisi dan permasalahan TKI bahwa sebagian besar Calon TKI/TKI berpendidikan rendah dan tidak memiliki ketrampilan serta kemampuan TKI untuk melindungi diri sendiri masih lemah,"

Jakarta (ANTARA News) - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengusulkan persyaratan waktu pelatihan minimum bagi TKI ditambah hingga dua kali lipat yaitu dari 200 jam menjadi 400 jam.

Usulan itu disampaikan dalam pembahasan RUU mengenai perlindungan TKI yang baru, kata Menakertrans seusai Rapat Kerja dengan Pansus RUU Tentang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) DPR RI di Jakarta, Selasa.

"Hal ini didasari kondisi dan permasalahan TKI bahwa sebagian besar Calon TKI/TKI berpendidikan rendah dan tidak memiliki ketrampilan serta kemampuan TKI untuk melindungi diri sendiri masih lemah," katanya.

Selain menambah waktu pelatihan, Muhaimin juga mengusulkan agar pemerintah memberikan subsidi pembiayaan pelatihan TKI demi peningkatan kualitas dan kompetensi TKI.

Pemerintah dan DPR RI sepakat membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk membahas lebih lanjut RUU PPILN yang merupakan revisi dari UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.

"Ada beberapa pasal yang harus dibetulkan dalam RUU PPILN ini. Yang pertama menyangkut sistem perlindungan TKI yang lebih komprehensif beserta sanksi-sanksi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip perlindungan," kata Muhaimin mengenai alasan adanya revisi.

Selain itu, Muhaimin juga menambahkan dalam RUU PPILN itu perlu ada penyesuaian dengan ratifikasi konvensi perlindungan buruh migran dan keluarganya serta membedakan antara TKI PLRT, TKI Mandiri dan TKI Profesional.

Dalam paparannya depan DPR, Muhaimin menyampaikan tujuh usulan pemerintah terkait RUU PPILN yaitu kelembagaan, perwakilan BNPPILN di luar negeri, tugas dan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah, perlindungan keluarga TKI serta pelatihan dan sanksi.

Untuk poin kelembagaan, Pemerintah berpendapat pembentukan lembaga baru tidak diperlukan tetapi bisa dilakukan dengan mengoptimalkan keberadaan BNP2TKI yang berada di bawah koordinasi dan pengawasan Kemnakertrans.

BNP2TKI disebut Muhaimin dapat ditempatkan sebagai pelaksana kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri dan sebagai pelaksana penempatan TKI ke luar negeri secara G to G dan G to P (berbadan hukum).

"Selama ini, Undang-undang 39 itu tidak detail mengatur peran BNP2TKI. Undang-undang yang baru ini ini harus detail lagi sehingga tidak multitafsir terhadap peran BNP2TKI dan keberadaanya tidak tumpang tindih dengan dinas dalam hal penempatan dan perlindungan TKI," kata Muhaimin.

Sedangkan bagi tugas dan wewenang kementerian tidak perlu diatur dalam RUU karena telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri (UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kementerian Negara) namun tugas dan fungsi badan yang ada diintegrasikan dengan tugas dan fungsi pemerintah daerah sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 38 Tahun 2007.

Menakertrans mengatakan Perwakilan BNPPILN tidak perlu dibentuk di luar negeri karena tugas dan fungsi akan tumpang tindih dengan keberadaan Atase Ketenagakerjaan di Perwakilan RI yang memang bertanggungjawab terhadap hal tersebut.

Sementara terkait dengan perlindungan TKI, bila ada anggota keluarga yang ikut serta menjadi TKI maka berlaku ketentuan yang diatur dalam UU ini serta pihak keluarga yang berada di Indonesia akan diberi akses komunikasi dan informasi terkait dengan hak-hak sebagai keluarga TKI.

Terkait penerapan sanksi yang bakal diatur dalam PPILN ini, Muhaimin mengatakan diperlukan pengaturan sanksi bagi pelaksana penempatan TKI yang melaksanakan penempatan di negara yang dinyatakan moratorium dan bagi TKI yang bersangkutan termasuk yang bekerja secara perseorangan/mandiri.

"Memang harus ada sanksi pidana terutama sebagai antisipasi pelanggaran penempatan moratorium. Sanksi pidana dibutuhkan untuk pelanggaran yang lain juga tetapi sebelumnya akan diselesaikan sesuai prosedur yaitu sanksi administrasi, pencabutan izin. Selama ini belum ada sanksi yang bersifat pidana," kata Muhaimin.

(A043/N002)

Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013