Kita bisa belajar sejarah dari perangko,"

Jakarta (ANTARA News) - Bagi orang awam yang buta dunia filateli, membeli perangko masa lalu dengan harga jutaan rupiah terasa buang-buang uang. Apalagi di masa sekarang ketika etalase toko dipenuhi aneka ragam komoditas penunjang gaya hidup eksklusif.

Mengeluarkan uang senilai tiga juta rupiah, yang bisa ditukar sebuah perangkat selular macam Black Berry atau netebook, bagi kebanyakan orang lebih masuk akal dibanding untuk selembar kertas berukuran tiga kali empat sentimeter berwujud perangko lawas.

Tapi bagi Muchammad Sadji, 62 tahun, dunia digital tidak memberikan pesona berarti dibanding sederet perangko bersejarah. Itu sebabnya, pensiunan karyawan PT Pertamina itu tak menghentikan perburuannya terhadap perangko lawas di Kantor Pos Pasar Baru, di lingkungan perhimpunan filateli, di tempat-tempat pameran perangko dalam dan luar negeri.

"Kegemaran mengumpulkan perangko sudah saya pupuk sejak sekolah dasar," tutur lulusan Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) bidang Manajemen itu.

Dia bertutur, saat sekolah dasar dia sudah suka memburu perangko kapan pun dan di mana pun. Kalau ada kenalan yang mendapat surat lewat pos, sang kenalan itu selalu dibujuknya agar merelakan perangko yang menempel di amplop surat itu.

"Begitu menginjak sekolah menengah pertama (SMP), saya berkorespondensi dengan para sahabat pena, baik di nusantara maupun mancanegara," tambah pria kelahiran dusun Klampok, Benjeng, Kabupaten Gresik itu.

Ada perkembangan menarik di dunia filateli. Pada dasawarsa 70-an, kolektor perangko kebanyakan mencopot perangko dari amplop surat dan mengumpulkannya dalam album perangko.

Lalu terjadi tren baru, sang kolektor mengoleksi perangko tetap menempel di amplop surat sebagaimana adanya. Lalu untuk kepentingan kolektor, kantor-kantor pos di seluruh dunia memproduksi perangko khusus untuk kolektor sehingga tak perlu dikoleksi setelah digunakan dalam korespondensi.

Sebagai pengagum Bung Karno, koleksi perangko Sadji yang bergambar Presiden Pertama RI itu mencapai ratusan lembar. Dia tak sempat menghitung jumlah keseluruhan perangko miliknya tapi "tak kurang dari tiga ribu buah," katanya.

Di masa sekolah tingkat menengah, yang dijalaninya di Sekolah Teknik Menengah (STM) Semen Gresik, Sadji banyak memperoleh perangko dari berbagai kedutaan besar negara sahabat yang berkantor di Jakarta.

Koleksi perangkonya sebagian tersimpan dengan rapi di lima almari kaca berukuran 2 meter X 3 meter, di rumahnya di Komplek Jati Kramat Indah I Bekasi Jabar.

Sebagian tersimpan dalam tumpukan koleksi buku-buku, majalah dan koran yang memenuhi tiga kamar yang khusus untuk penyimpanan koleksi pribadinya.

"Kita bisa belajar sejarah dari perangko," katanya. Perangko, tambahnya, juga menumbuhkan daya estetika seseorang. Koleksi perangko Sadji merambah berbagai ranah kehidupan seperti flora dan fauna, teknologi, budaya, politik dan lingkungan.

Dia selalu mengenalkan koleksi perangkonya pada siapa saja yang berminat. Cita-citanya suatu hari dia akan berpameran untuk semua perangko koleksi pribadinya.

"Sampai saat ini, niat itu belum terlaksana karena kesibukan," kata pensiunan perusahaan minyak nasional yang kini bekerja di perusahaam impor minyak itu.

Bagi Sadji, meski korespondensi surat lewat jasa pos sudah tergantikan oleh surat elektronik dan layanan pesan singkat, dunia perangko tak akan mati.

Mungkin peminatnya berkurang, tapi eksotisme perangko akan tetap mempesona. Perangko akan menjadi sejarah atau barang antik dan sebagai komoditas langka dan kuno, nilainya bisa semakin tinggi, katanya.

Di seluruh dunia, para pengoleksi perangko tetap eksis. Pameran-pameran perangko selalu digelar di seluruh dunia. Jasa pos di seluruh dunia juga masih memproduksi perangko-perangko baru dengan konteks kekinian.

Sebagai contoh, ketika Lembaga Kantor Berita Antara berulang tahun, lembaga milik negara itu bekerja sama dengan PT Pos Indonesia menerbitkan perangko Ulang Tahun Antara.

Perangko sebagai produk peradaban modern akan selalu terjaga kelestariannya. Sayangnya, pengenalan dunia perangko kepada anak-anak di usia dini belum merupakan bagian dari agenda negara.

Mestinya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ikut membangun kecintaan siswa terhadap dunia filateli. Caranya: antara lain menyelenggarakan lomba desain perangko untuk siswa dengan hadiah yang menggiurkan. Pamera-pameran perangko perlu diprakarsai oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Menggemari filateli adalah bagian dari pemupukan cita rasa estetika manusia. Untuk itu, kenalkanlah siswa pada dunia filateli, demikian imbauan kolektor perangko yang pernah belajar ilmu perminyakan di Akamigas Cepu itu.

(M020/Z002)

Oleh Mulyo Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013