Yogyakarta (ANTARA News) - Dusun Kaliadem di kawasan selatan kaki Gunung Merapi (2.965 mdpl) kini tidak lagi berhawa dingin. Awan panas dari gunung itu menjadi penyebabnya. Luncuran awan panas Merapi yang Rabu (14/6) siang hingga petang menerjang jurang Kali Gendol, di utara Kaliadem, memberi kiriman material vulkanik berupa pasir halus dan abu, sehingga menimbun dusun yang jaraknya hanya 5,5 km dari puncak Merapi. Taman Wisata dan Bumi Perkemahan Bebeng di kawasan Kaliadem tak luput dari guyuran pasir dan abu material vulkanik berbau belerang yang menyengat. Kawasan ini sekarang berubah wujud menjadi hamparan pasir halus dan abu berwarna putih pekat. Rumah penduduk di sekitarnya banyak yang terkubur material vulkanik, dan hanya tampak sebagian gentengnya. Dusun di wilayah Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kini menjadi salah satu `saksi bisu` keganasan awan panas dari aktivitas Merapi. Berawal dari awan panas besar yang terjadi secara beruntun yang meluncur dari puncak gunung itu sejauh sekitar tujuh kilometer ke lereng selatan, yaitu ke Kali Gendol, Rabu siang. Menjelang sore hingga petang awan panas masih terus terjadi, bergulung-gulung meluncur dari puncak ke lereng sampai kaki gunung tanpa henti. Kali Gendol di utara Kaliadem menjadi penampung endapan awan panas tersebut. Seperti dikatakan Kepala Seksi Gunung Merapi Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, Subandriyo, Kamis, semua material vulkanik dari awan panas Merapi yang terjadi terus menerus pada Rabu (14/6) dari pukul 11.33 hingga 15.15 WIB tertampung di Kali Gendol. Ia mengatakan pihaknya langsung mengecek kondisi di wilayah Kaliadem, setelah luncuran awan panas besar mereda. "Semua pelataran di Taman Wisata Kaliadem dipenuhi material awan panas," ujarnya. Dikatakannya, BPPTK Yogyakarta yang kemudian menyebut kejadian itu sebagai peristiwa `Darurat Merapi`, kronologisnya dimulai pada pukul 08.14 WIB, Rabu (14/6), saat terjadi awan panas. Kemudian berlanjut pada pukul 11.33 WIB terjadi awan panas secara beruntun. Melihat kondisi yang semakin membahayakan, BPPTK pada pukul 12.00 WIB meminta sirene dibunyikan. Selanjutnya dilakukan evakuasi terhadap warga Kaliadem dan Kalitengah atau sektor Gendol, untuk secepatnya diungsikan ke tempat yang aman. Pada pukul 14.00 WIB ditetapkan status `awas` untuk sektor Gendol, yang disampaikan melalui telepon oleh Subandriyo ke Posko Utama Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (Satlak PBP) Kabupaten Sleman, yang diterima Sekretaris II Widi. Sejak pukul 14.00 hingga 14.51 WIB evakuasi penduduk terus dilakukan, bersamaan dengan bunyi sirene untuk kedua kalinya. Tidak lama kemudian, yakni pada pukul 15.15 WIB luncuran awan panas Merapi mencapai `klimaksnya`. Menurut Subandriyo, luncuran awan panas tersebut mengarah ke Kali Gendol dengan jarak luncur mencapai tujuh kilometer. Terjadi hujan abu di semua wilayah Pos Pengamatan Merapi dengan ketebalan abu tertinggi mencapai lima milimeter di Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang (Jawa Tengah). "Pada Kamis dinihari terjadi awan panas enam kali dengan jarak luncur maksimum empat kilometer mengarah ke hulu Kali Gendol," katanya. Berdasarkan perkembangan aktivitas Merapi tersebut, BPPTK tetap menyerukan agar kawasan aliran Kali Krasak, Bedog, Boyong dan Kali Gendol dalam radius delapan kilometer dari puncak gunung itu serta yang berjarak 300 meter dari tebing sungai tetap dikosongkan, karena masih berpotensi terancam awan panas. Dua korban terjebak di bunker Bencana awan panas besar Merapi yang melanda Kali Gendol dan kawasan Kaliadem menyebabkan dua orang relawan terjebak di dalam `bunker` (ruang berlindung bawah tanah). Mereka adalah Warjono (32) dan Sudarwanto yang tak sempat berlari saat awan panas menerjang kawasan itu. Perkembangan terakhir hingga Kamis (15/6) petang, evakuasi atau pertolongan terhadap keduanya terpaksa untuk sementara dihentikan, karena kondisi yang tidak memungkinkan. Suhu udara yang sangat panas di tempat itu, serta luncuran awan panas Merapi yang masih terus terjadi, menghambat evakuasi. Bahkan ketika terjadi awan panas besar pada Kamis sore, sejumlah petugas dan personil tim SAR serta beberapa wartawan berlarian untuk menyelamatkan diri dari kemungkinan terlanda awan panas. Mereka akhirnya menumpang sekitar 20 unit kendaraan roda empat untuk menjauh dari kawasan tersebut, sementara sejumlah sepedamotor terpaksa ditinggal di Kaliadem. Salah seorang saksi mata, Solahudin, wartawan suratbakar harian Suara Merdeka menuturkan, saat berlari menyelamatkan diri, ia sempat melihat awan panas sudah membentur Bukit Kendil di utara Kaliadem. Ketika itu ada pengumuman melalui alat pengeras suara dari seorang petugas bahwa menurut Pos Pengamatan Gunung Merapi, awan panas yang lebih besar masih akan terus terjadi, dan karena itu diimbau semua orang yang berada di kawasan Kaliadem segera turun menjauh ke selatan. Wartawan ANTARA yang berada di lokasi evakuasi melaporkan, salah satu pintu dari dua pintu `bunker` berhasil ditemukan, setelah dilakukan penggalian dengan menggunakan alat manual, karena alat berat tidak lagi dibutuhkan. Pada sekitar pukul 17.10 WIB evakuasi dihentikan, karena suhu udara di dalam `bunker` sangat panas, dan kondisi keamanan kawasan setempat yang terus menerus diterjang awan panas. Komandan Korem 072 Pamungkas Kolonel CZI Langgeng Sulistyono didampingi Dandim Sleman Letkol Infanteri Mursal yang memimpin langsung evakuasi mengatakan, `bunker` tertutup material vulkanik berupa pasir dan abu setebal satu meter dari permukaan `bunker` atau tiga meter dari lubang pintu `bunker`. Di depan pintu `bunker` yang berhasil dibuka tim penolong, didapati dua batu besar setinggi sekitar 75 cm. Kemudian beberapa batu lagi serta gundukan pasir juga ada di dekat pintu di bagian dalam `bunker`. Digambarkan oleh Danrem, suhu udara di dalam `bunker` sekitar 217 derajat Celcius. "Ketika ada kayu ditempelkan di salah satu batu di tempat itu, kayu tersebut langsung terbakar," sambungnya. Lorong `bunker` lebarnya satu meter, dan alat manual kemampuannya sangat terbatas untuk mengeruk material vulkanik yang menimbun ujung lorong `bunker`. Kata dia, evakuasi akan dilanjutkan pada Jumat (16/6) pagi ketika matahari sudah terang. Sementara itu, Imam salah seorang petugas Proyek Merapi yang ikut membantu evakusi mengatakan suhu udara di luar `bunker` akibat pengaruh awan panas sekitar 200 derajat Celcius. "Dan kemungkinannya di dalam bunker lebih panas lagi, sehingga peluang korban untuk bisa hidup 50-50," sambungnya. Korban kemungkinan bisa memanfaatkan air mimum dari air kamar mandi yang ada di dalam `bunker`. "Sedangkan persediaan gas oksigen di dalam `bunker` ada 10 tabung, yang dulu disiapkan untuk 50 orang selama lima hari," ujar Imam. Ada warga bertahan Dari pemantauan ANTARA, kawasan Kaliadem tampak rata tertimbun material vulkanik berupa pasir dan abu warna putih. Warung-warung yang tertimbun material itu hanya kelihatan sebagian gentengnya. Bau belerang sangat menyengat di kawasan setempat. Menurut informasi dari salah seorang warga, di Kaliadem masih ada beberapa warga yang bertahan tetap tinggal di rumahnya, bahkan ada yang tinggal bersama seorang anaknya yang masih berusia 17 bulan. Sementara itu ada warga Kaliadem yang mengungsikan ternaknya ke Kabupaten Boyolali (Jawa Tengah) dengan menggunakan truk. Kabut tebal bercampur abu material vulkanik hingga Kamis malam masih menyelimuti kawasan Kaliadem dan sekitar Gunung Merapi. Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan seluruh warga di Dusun Kinahrejo dan Kaliadem sudah turun, kecuali Mbah Maridjan juru kunci Gunung Merapi. "Tidak apa-apa, tugas Mbah Maridjan memang menjaga Gunung Merapi," kata Sultan di Kraton Yogyakarta, Kamis, ketika ditanya wartawan tentang Mbah Maridjan yang tidak turun mengungsi. Menurut Sultan, apa yang dilakukan Mbah Maridjan saat ini merupakan kewajibannya yang tidak bisa ditinggalkan, meskipun ia harus berkorban dengan nyawanya. Mbah Maridjan dikabarkan masih bertahan di rumahnya di Kinahrejo, meskipun luncuran awan panas yang terjadi sangat menakutkan bagi warga di kawasan kaki Merapi. Namun, untuk warga lain, Sultan kembali mengajak penduduk yang masih berada di kawasan Kaliadem untuk segera turun mengungsi ke barak atau tempat pengungsian yang telah ditetapkan. "Nanti kalau lokasi pengungsian dirasakan tidak aman lagi, kemungkinan akan dipindah ke bawah sejauh sepuluh kilometer dari Merapi," ujarnya. Mengenai keputusan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi yang dinilai oleh beberapa kalangan terlalu terburu-buru menurunkan status aktivitas Merapi dari `awas` menjadi `siaga`, ia mengatakan keputusan tersebut tidak bisa dikatakan terburu-buru atau tidak. "Kita ini orang awam, tidak akan pernah tahu tentang Gunung Merapi yang sebenarnya. Namun yang penting sekarang kita melakukan antisipasi bahwa kondisi Merapi saat ini jauh lebih berbahaya dibanding beberapa waktu lalu," tegas Sultan. Sementara itu, Kepala BPPTK Yogyakarta Dr Ratdomo Purbo membantah adanya tudingan bahwa penurunan status aktivitas Merapi dari `awas` ke `siaga` terlalu tergesa-gesa. "Keputusan penurunan status itu berdasarkan data aktivitas Merapi yang terus menurun," ujarnya, Kamis. Menurut dia, awan panas yang terjadi sepanjang hari Rabu (14/6) lalu merupakan tipe aktivitas Merapi yang sewaktu-waktu dapat berubah dengan cepat. "Apalagi awan panas dapat meluncur cepat ke hulu Kali Gendol, karena tidak ada lagi hambatan setelah kubah `Geger Boyo` (kubah lava 1911) runtuh beberapa waktu lalu," sambungnya. Ia mengatakan, dengan terjadinya luncuran awan panas pada Rabu (14/6) lalu, sebenarnya BPPTK telah memberikan peringatan dini kepada warga sekitar Merapi untuk segera mengungsi. "Maka tidak benar jika dinyatakan terlambat memberikan peringatan dini," tandasnya. Ratdomo Purbo mengatakan saat ini Bukit Kendil di utara Kaliadem telah dipenuhi material vulkanik dari guguran lava pijar serta endapan awan panas Merapi, sehingga meluap sampai Kaliadem. "Luncuran awan panas menerjang Kaliadem melalui aliran Kali Gendol, sehingga dikhawatirkan jika terjadi awan panas yang lebih besar lagi, akan meluncur lebih jauh lagi," ujarnya. Kejadian awan panas pada Rabu (14/6) itu, menurut dia, sebenarnya sama seperti yang terjadi pada 22 November 1994. Saat itu status aktivitas Merapi diturunkan, namun beberapa saat kemudian terjadi peningkatan aktivitas dengan luncuran awan panas yang menyebabkan jatuh korban jiwa manusia cukup banyak. "Kami mengimbau masyarakat setempat tetap waspada, karena sewaktu-waktu awan panas dapat terjadi lagi dengan jarak luncur yang lebih jauh," katanya. (*)
Oleh Masduki Attamami
Copyright © ANTARA 2006