The Stone Roses memberi rasa baru dalam setiap pertunjukan merekaJakarta (ANTARA News) - Setelah sempat bubar selama 15 tahun, band asal Manchester, Inggris, The Stone Roses, berkumpul lagi dan memutuskan untuk menggelar tur reuni.
Sinyal tersebut tak lama ketika dua ikon The Stone Roses, Ian Brown (vokal) dan John Squire (gitar) kembali saling berbicara setelah sempat "saling diam" sejak Squire hengkang.
Pengumuman reuni The Stone Roses dengan formasi paling sukses yakni Ian Brown (vokal), John Squire (gitar), Gary "Mani" Mounfield (bass), dan Alan "Reni" Wren (drum) tentu saja menggemparkan fans setia mereka. Apalagi band pionir gerakan Madchester - jenis musik yang berkembang di Manchester pada akhir 1980-an hingga awal 1990an - itu juga berencana menggarap album ketiga.
Maka pada konser reuni perdana di kampung halaman mereka, di Heaton Park, Manchester, Inggris pertengahan 2012, The Stone Roses menciptakan sejarah rekor penjualan tiket; sebanyak 220 ribu tiket ludes hanya dalam 68 menit.
Euforia itu pun tidak hanya menyerang Inggris tetapi juga belahan Eropa serta Asia, termasuk Indonesia. Penampilan Ian Brown cs di Lapangan D, Senayan, Jakarta, Sabtu (23/2) malam berhasil memukau ribuan fans yang sudah menanti sejak belasan tahun silam.
Kehadiran band dewanya kaum indie yang sempat bubar belasan tahun dan akhirnya reuni kembali itu bagaikan mimpi menjadi kenyataan. Meskipun masing-masing personel tetap eksis dengan karier solo masing-masing, tetapi tampilnya The Stone Roses secara utuh tentu saja menjadi kebahagiaan tersendiri.
"Ini tuh seperti mimpi jadi kenyataan. Mereka datang saja sudah alhamdulillah, dan ternyata penampilannya begitu, keren banget. Saya puas banget," kata Mika.
Mika merupakan salah satu dari penggemar yang sebelumnya telah menikmati reuni The Stone Roses di Singapura, 22 Juli tahun lalu. Meskipun begitu, menurut Mika penampilan 1,5 jam The Stone Roses di Jakarta tetap tak bisa dibandingkan. Ia tetap dibuat terpukau dengan kejutan set list dan aransemen yang berbeda.
"The Stone Roses memberi rasa baru dalam setiap pertunjukan mereka. Di sini mereka lebih natural, seperti main pakai hati," ujar Mika yang juga memuji habis-habisan penampilan sang gitaris, Squire.
The Stone Roses memang berhasil memecah malam itu dengan 16 tembang-tembang mereka yang abadi. Aksi mereka pun masih memesona layaknya The Stone Roses di era 1990-an yang berjiwa muda meskipun kini mereka sudah hampir menginjak usia 50 tahun.
Aksi The Stone Roses
"Selamat datang. Terimakasih," teriak Ian Brown sesaat memasuki panggung. Penonton yang sudah menanti sejak sore pun langsung teriak histeris.
Kemudian mereka langsung memanjakan penonton dengan salah satu hits mereka, "I Wanna Be Adored" yang diiringi koor penonton. Dua layar di kanan kiri panggung serta layar besar di latar panggung membuat konser tersebut semakin "wah".
Layar besar tersebut menampilkan secara detail para personel bagai sebuah video klip yang kadang diselingi gambar visualisasi yang indah, terutama gambar potongan jeruk lemon yang menjadi cover di album pertama mereka, "The Stone Roses" sekaligus menjadi ikonik band tersebut. Ditambah lagi dengan tata lampu warna warni yang tak kalah mewah.
Band yang dbentuk tahun 1983 itu pun sukses menjaga emosi penonton dengan pilihan tempo lagu yang tepat. Konser semakin memanas dengan deretan lagu-lagu "Mersey Paradise", "Sugar Spun Sisters", "Sally Cinnamon", dan "Ten Storey Love Song".
Ian Brown, yang bak komposer, kerap mengacungkan kedua tangannya yang memegang tamborin. Pria yang dijuluki "King Monkey" itu pun bergoyang dengan khas, mengangkat kedua tangannya lalu beraksi bagaikan seorang binaragawan.
Sepanjang konser, Brown begitu irit bicara. Namun, tingkahnya selalu mengundang perhatian. Tiba-tiba saja ia mengelap keringat Mani di atas panggung. Penonton pun langsung tertawa.
Saat lagu "Where Angels Play" dibawakan, Squire, Mani, dan Reni pun unjuk kebolehan sementara Brown masih tak berhenti joget ala "King Monkey". Permainan gitar Squire membuat penonton terkagum-kagum. Namun sayang, Mani tidak dapat total memamerkan kemampuannya karena sound bass yang kurang bagus.
Lagu "Fools Gold" pun mengalun, salah satu lagu The Stone Roses yang paling populer dan membawa band itu semakin meroket pada zamannya. Tanpa diduga, aransemen lagu tersebut menjadi berbeda dari aslinya dengan warna sedikit nge-punk. Penonton hampir dibuat terpukau selama 10 menit lewat suguhan tersebut.
Squire pun lagi-lagi mencuri perhatian penonton dengan aksi permainan gitarnya. Tak heran memang karena Squire terpilih sebagai gitaris terhebat ke-13 dalam kurun waktu 30 tahun terakhir lewat survey nasional BBC tahun 2010 silam. Ketika lagu habis tepat saat permainan Squire usai, penonton tak berhenti bertepuk tangan.
"Apakah kalian baik-baik saja di sana?" lontar Brown. "Apakah ada permintaan lagu?" lanjutnya.
Brown dan kawan-kawan sepertinya langsung mengerti lagu apa yang masih ditunggu-tunggu penonton. Maka, "Waterfall" pun menghentak panggung diikuti penonton yang kompak bernyanyi sambil bertepuk tangan.
Konser masih berlanjut dengan lagu-lagu "Made Of Stone", "This is The One", "Love Spreads", dan "She Bangs the Drums".
Selanjutnya giliran "I am The Resurrection" yang dimainkan sekaligus sebagai penutup konser malam itu. Konser tersebut ditutup dengan manis lewat berbagai tingkah personel The Stone Roses.
Saat Squire sedang asik mengulik-ulik senar gitarnya, Brown tiba-tiba turun panggung. Penonton pun berebut ingin menggapainya. Brown lalu melempar satu persatu tamborinnya dan mengambil salah satu kaos dari penonton. Lalu ia berjoget dengan membiarkan kaos tersebut menutupi kepalanya.
Aksi Brown belum berhenti, sambil membuat gerakan tangan dan menunjuk-nunjuk penonton - tanpa bicara, ia kemudian mengusung bendera salah satu klub asal Inggris, Manchester United (MU). Brown yang memang dikenal sebagai pendukung setia MU itu lantas mencium-cium bendera tersebut, sengaja secara berlebihan.
Sontak pendukung MU pun bersorak gembira sementara sebagian pun berteriak "wuuu". Reni yang memakai baju kuning ala kiper lalu turun dari singgasana drum-nya. Ia melempar stik drum ke arah penonton kemudian menyuruh Brown berhenti beraksi, seolah-olah membela penonton yang anti MU.
Aksi teatrikal yang sangat menghibur itu pun sekaligus mengakhiri konser The Stone Roses. Squire dan Mani bergabung dengan Brown dan Reni. Keempatnya saling berpelukan satu persatu dengan begitu akrab. Kemudian mereka tak lupa melambaikan tangan kepada penonton yang masih terus berteriak "We Want More".
"Adios!" teriak Brown sambil berlalu, diikuti kawan-kawannya.
Konser pun usai. Meskipun baru menelurkan dua album sebelum akhirnya bubar ("The Stone Roses", 1989 dan
"Second Coming", 1994), The Stone Roses menunjukkan pesona dan hits mereka yang tak lekang oleh waktu.
Dan satu persatu penonton meninggalkan lapangan D yang becek itu, walaupun masih ada yang belum puas karena hits lain seperti "Elephant Stone" dan "Bye Bye Badman" tak dimainkan.
(M047)
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2013