Jakarta (ANTARA) - Pelaksanaan Merdeka Belajar 2023 ini memasuki tahun ke empat. Telah banyak perubahan yang dihasilkan di dunia pendidikan.

Setelah Kemendikbudristek meluncurkan 24 paket kebijakan sejak tahun 2019 hingga 2023, atmosfir pendidikan lebih kondusif, jarang menimbulkan kegaduhan yang berarti.

Ini berbeda dengan sebelum digulirkan program Merdeka Belajar, suasana dunia pendidikan banyak dihantui ketakutan para pemangku pendidikan, terutama orang tua dan para anak didik, menjelang pelaksanaan Ujian Nasional (Unas) yang seolah akan menghadapi hantu yang menakutkan atau semacam "kiamat lokal".

Suasana menjelang, hingga pelaksanaan Unas, keresahan di kalangan anak didik dan orang tua sangat khawatir nilainya jeblok dan tidak lulus.

Para siswa merasa seolah akan menghadapi sidang pengadilan. Kegalauan dan bahkan stres banyak menghantui para pelajar.

Banyak sekolah menggelar ritual, mulai doa massal, hipnotis massal, dan lainnya. Bahkan, suasananya mirip menghadapi perang karena banyak melibatkan aparat bersenjata, terutama untuk pengamanan soal agar tidak bocor. Itulah konsekuensi pilihan pendidikan menggunakan model top-down.

Setelah penerapan program Merdeka Belajar, suasana yang mencekam dan mengerikan itu sudah berkurang drastis, karena pendekatan pendidikan menjadi lebih longgar dibanding kurikulum sebelum Merdeka Belajar.

Target minimal Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim, Kurikulum Merdeka menciptakan pembelajaran yang menyenangkan cukup tercapai.

Pendekatan pendidikan yang longgar di merdeka belajar bisa dikategorikan pendidikan demokratis. Tapi sampai sekarang belum ada keterangan resmi bahwa pendidikan merdeka belajar mengacu ke model pendidikan demokratis atau malah justru liberal.

Model pendekatan apa yang mau dikembangkan program merdeka sudah seharusnya menjadi bahan evaluasi yang perlu dilakukan.

Walaupun 4 tahun program Merdeka Belajar sudah menghasilkan perubahan atmosfir pendidikan lebih nyaman, tapi tetap saja itu membutuhkan evaluasi, mana yang perlu dilanjutkan dan mana yang perlu dimodifikasi agar lebih baik lagi.

Melalui evaluasi akan diperoleh informasi tentang apa yang telah dicapai dan mana yang belum dan selanjutnya informasi ini digunakan untuk perbaikan dan peningkatan suatu program.

Sudut pandang ini menampilkan evaluasi dalam konteks program yang mana pelaksananya menuntut evaluator untuk mengetahui dan memahami betul program yang dievaluasi.

Evaluasi merupakan proses memperoleh, menyajikan, dan menggambarkan informasi yang berguna untuk menilai suatu alternatif pengambilan keputusan tentang suatu program.

Evaluasi merupakan suatu kebutuhan dimana evaluasi harus memberikan keputusan tentang informasi apa saja yang dibutuhkan, bagaimana informasi tersebut dikumpulkan, serta bagaimana informasi tersebut disintesakan untuk mendukung hasil yang diharapkan.

Masih banyak lagi definisi tentang evaluasi, namun semuanya selalu memuat masalah informasi dan kebijakan, yaitu informasi tentang pelaksanaan dan keberhasilan suatu program yang selanjutnya digunakan untuk menentukan kebijakan berikutnya.

Ditinjau dari cakupannya, evaluasi ada yang bersifat makro dan ada juga yang mikro. Evaluasi makro cenderung menggunakan sampel dalam menelaah suatu program dan dampaknya, sedangkan evaluasi yang bersifat makro sasarannya adalah program pendidikan, yaitu program yang direncanakan untuk memperbaiki bidang pendidikan.

Evaluasi mikro sering digunakan di tingkat kelas, khususnya mengetahui pencapaian belajar peserta didik.

Pencapaian belajar ini bukan hanya bersifat kognitif, tetapi juga mencakup semua potensi yang ada. Peserta didik menjadi sasaran evaluasi mikro adalah program pembelajaran di kelas dan yang menjadi penanggung jawab adalah pendidik untuk sekolah atau dosen untuk pendidikan tinggi.

Evaluasi pengajaran dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu formatif dan sumatif. Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir pembahasan suatu pokok bahasan/topik, dan dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana suatu proses pembelajaran telah berjalan sebagaimana yang direncanakan.

Pakar pendidikan WS Winkel menyatakan bahwa yang dimaksud dengan evaluasi formatif adalah penggunaan tes-tes selama proses pembelajaran yang masih berlangsung agar peserta didik dan guru memperoleh informasi mengenai kemajuan yang telah dicapai.

Evaluasi formatif bertujuan memperbaiki proses belajar mengajar hasil tes, seperti kuis, misalnya dianalisis untuk mengetahui konsep mana yang belum dipahami sebagian besar peserta didik, kemudian diikuti dengan kegiatan remedial, yaitu menjelaskan kembali konsep-konsep tersebut.

Evaluasi untuk perbaikan bisa dilakukan dengan membuat angket untuk peserta didik. Angket ini berisi tentang pertanyaan mengenai pelaksanaan pembelajaran menurut persepsi peserta didik. Hasilnya dianalisa untuk mengetahui aspek mana yang harus diperbaiki dan aspek mana yang diteruskan.

Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir satu satuan waktu yang di dalamnya tercakup lebih dari satu pokok bahasan dan dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana peserta didik telah dapat berpindah dari suatu unit ke unit berikutnya.

Winkel mendenifisikan evaluasi sumatif sebagai penggunaan tes-tes pada akhir suatu periode pengajaran tertentu yang meliputi beberapa atau semua unit pelajaran yang diajarkan dalam satu semester, bahkan setelah selesai pembahasan suatu bidang studi.

Evaluasi sumatif bertujuan untuk menetapkan tingkat keberhasilan peserta dalam kurun waktu tertentu yang ditandai dengan perolehan nilai peserta didik dengan ketetapan lulus atau belum.

Evaluasi sumatif bisa terdiri dari beberapa kegiatan pengukuran dan penilaian hal ini harus dijelaskan kepada peserta didik diawal pelajaran, yaitu tentang penentuan nilai akhir bobot nilai akhir diperoleh dari kriteria tugas, ujian harian, ujian tengah semester, dan ulangan akhir semester harus dijelaskan kepada peserta didik.

Jadi walaupun Merdeka Belajar memberi banyak keleluasaan para pemangku pendidikan dalam proses belajar mengajar, tapi tetap saja harus ada parameter penilaian capaian akademik bagi anak didik.

Jika tidak ada instrumen evaluasi, maka kemajuan dan kemunduran anak didik tidak diketahui pasti.

Merdeka Belajar akan banyak disalahpahami hanya sebagai kebebasan belajar tidak memiliki nilai tambah pengetahuan dan keterampilan bagi anak didik.

Upaya untuk menciptakan penilaian program Merdeka Belajar sebenarnya juga sudah dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan menerapkan kebijakan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter mulai tahun 2021 sebagai pengganti Ujian Nasional (UN) 2020.

Asesmen kompetensi minimum adalah kompetensi untuk memetakan sekolah-sekolah dan daerah-daerah berdasarkan kompetensi minimum.

Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) 2020 diubah bentuk dan format penilaiannya.

Perbedaan utama konsep "Merdeka Belajar":

1. Tahun 2020, USBN diganti dengan ujian (asesmen) yang diselenggarakan hanya oleh sekolah. Ujian untuk menilai kompetensi siswa dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis dan/atau bentuk penilaian lain yang lebih komprehensif, seperti portofolio dan penugasan, seperti tugas kelompok, karya tulis, dan lain sebagainya.
2. Guru dan sekolah lebih merdeka dalam menilai hasil belajar siswa.
3. Anggaran USBN dapat dialihkan untuk mengembangkan kapasitas guru dan sekolah guna meningkatkan kualitas pembelajaran.

Sementara untuk Ujian Nasional (UN), konsep sebelumnya memiliki sejumlah makna:

1. Materi UN terlalu padat, sehingga siswa dan guru cenderung menguji penguasaan konten, bukan kompetensi penalaran. UN menjadi beban bagi siswa, guru, dan orang tua karena menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu.
2. UN seharusnya berfungsi untuk pemetaan mutu sistem pendidikan nasional, bukan penilaian siswa. UN hanya menilai aspek kognitif dari hasil belajar, belum menyentuh karakter siswa secara menyeluruh.

Untuk konsep "Merdeka Belajar" memiliki sejumlah kekhususan:

1. Tahun 2020, UN dilaksanakan untuk terakhir kalinya.
2. Tahun 2021, UN diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
3. UN dilakukan pada siswa yang berada di tengah jenjang sekolah, misalnya kelas 4, 8, 11, sehingga mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran dan tidak bisa digunakan untuk basis seleksi siswa ke jenjang selanjutnya.
4. UN atau ujian nasional mengacu pada praktik baik pada level internasional, seperti PISA dan TIMSS.

Instrumen pengukuran nilai akademisi baru itu tentu merupakan ikhtiar untuk mencari inovasi penilaian pendidikan.

Tetapi para pemerhati pendidikan sekarang menunggu, di antaranya sejauh mana implikasi penerapan Merdeka Belajar berpengaruh dalam transformasi pengetahuan dan keterampilan anak didik.

Misalkan di bidang Bahasa Inggris, jika pada Kurikulum 2013 rata-rata pelajar SMA skor TOEFL-nya sekitar 450, maka setelah penerapan kurikulum Merdeka Belajar, rata-rata TOEFL Pelajar SMA Tetap 450 atau naik atau turun?

Jika turun tentu harus ada yang perlu dibenahi, tapi jika naik sudah sepatutnya metode utama program Merdeka Belajar diteruskan dan diperkuat.


M. Aminudin*) adalah peneliti senior pada Institute for Strategic and Development Studies (ISDS), pernah menjabat sebagai staf ahli Pusat Pengkajian MPR RI tahun 2005, staf ahli DPR RI 2008, Pengurus Pusat Ikatan alumni Unair, Entreneurship Depart


​​​​​​​

Copyright © ANTARA 2023