Meningkatnya defisit transaksi berjalan disebabkan meningkatnya defisit neraca perdagangan migas sementara surplus neraca perdagangan nonmigas menurun.

Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) mengungkapkan defisit neraca transaksi berjalan kuartal IV-2012 semakin melebar dan tercatat mencapai 7,8 miliar dolar AS atau 3,6 persen dari produk domestik bruto (PDB)

Meningkatnya defisit transaksi berjalan disebabkan meningkatnya defisit neraca perdagangan migas sementara surplus neraca perdagangan nonmigas menurun.

Di sektor non migas, walaupun pertumbuhan permintaan global sedikit membaik dan pertumbuhan permintaan domestik melambat, kesenjangan di antara keduanya masih cukup lebar sehingga kenaikan ekspor relatif tidak signifikan dibandingkan dengan kenaikan impor.

Sedangkan di sektor migas, kenaikan ekspor juga tidak dapat mengimbangi kenaikan impor karena konsumsi BBM untuk keperluan transportasi terus meningkat.

Sementara itu dibandingkan dengan kuartal III-2012, BI mencatat defisit transaksi berjalan Indonesia hanya mencapai 5,3 miliar dolar AS atau minus 2,4 persen dari PDB.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti menilai pemerintah harus membatasi impor yang berhubungan dengan konsumsi agar dialihkan ke sektor-sektor produktif dalam rangka mengatasi defisit transaksi berjalan.

"Impor yang berhubungan dengan konsumsi harus dibatasin agar menjadi lebih selektif dan dialihkan ke sektor-sektor yang produktif," kata Destry Damayanti saat ditemui, di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, defisit transaksi berjalan semakin melebar disebabkan neraca perdagangan terutama impor yang meningkat seiring dengan pertumbuhan perekonomian Indonesia.

"Neraca perdagangan defisit mengakibatkan transaksi berjalan defisitnya semakin melebar, karena biasanya defisit di sektor jasa, pendapatan dan sebagainya itu bisa diatasi dengan surplus neraca perdagangan," ujar dia.

Ia mengatakan kalau melihat impor migas, terutama minyak memang beberapa tahun terakhir selalu mengalami defisit.

"Karena impor kita lebih besar daripada ekspor minyak, ditambah distorsi harga yang sangat besar di domestik, menyebabkan kondisi impor minyak semakin kebobolan. Itu mengakibatkan inefisiensi di dalam penggunaan atau konsumsi dari minyak itu sendiri," ujar dia.

Sementara itu, lanjutnya, neraca perdagangan Indonesia di sektor gas juga tidak bagus, karena harus mengimpor banyak dari luar karena gas di domestik tidak bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri.

"Kebanyakan gas kita ekspor dan sudah terikat dengan kontrak dan sebagainya. Akibatnya kebutuhan domestik naik tidak bisa dipenuhi, mau tidak mau harus impor, jadi ini semakin memperburuk neraca perdagangan kita," ujarnya.

Ia mengatakan dengan perkembangan nilai komoditas yang turun dan stagnan selama satu tahun terakhir, sepertinya susah mengharapkan surplus di neraca perdagangan karena ekspor masih melambat

"Dari sisi ekspornya memang menurun jauh, defisit impornya juga semakin melebar, karena memang secara alami ekonomi nasional itu tumbuh dan juga adanya inefisiensi dalam penggunaan minyak," kata dia.

Selain itu diperburuk lagi dengan kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara khususnya yang berkaitan dengan subsidi BBM. Diperkirakan akan menembus target yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu subsidi energi sekitar Rp250 triliun.

Karena itu selain pembatasan energi yang berhubungan dengan konsumsi, ia menegaskan, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang solid, jelas, dan dapat diimplementasikan.

"Sebenarnya dari pelaku pasar harga BBM harus dinaikkan, tapi apakah itu bisa dilakukan karena ada subsidi BBM terkait kebijakan politis. Sebenarnya dari sisi ekonomi sudah jelas tidak bisa karena menjual BBM dibawah setengahnya dibanding harga pasaran," ujar dia.

Dengan kondisi tersebut membuat tekanan rupiah tinggi sekali, dan pada akhirnya Bank Indonesia harus memakai cadangan devisanya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

"Permasalahannya sebenarnya bukan di permasalahan moneter, tapi permasalahannya di sektor riil, jadi ini yang juga harus dipahami oleh kita semua, bahwa dengan kondisi seperti ini jangan harap rupiah bisa menguat, atau kembali ke level-level yang sebelumnya seperti 9.000 maupun 9.300. Itu berat dan tidak mungkin," ujar dia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Bidang Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI Dody Budi Waluyo mengatakan kinerja transaksi berjalan pada 2012 yang mengalami defisit sebesar 24,18 miliar dolar AS atau 2,7 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto), dapat mempengaruhi nilai tukar rupiah.

"Pelemahan nilai tukar salah satunya karena faktor memburuknya kinerja transaksi berjalan," kata dia

Namun, kata dia, seandainya nilai tukar melemah, menaikkan suku bunga bukan merupakan langkah yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut.

"Kebijakan nilai tukar yang dilakukan selama ini melalui DHE, term deposit valas, relaksasi hedging dan intervensi valas merupakan pilihan yang paling tepat," ujar Dody.


Jangka Panjang

Destry mengatakan arus modal masuk ke dalam negeri yang cukup kencang memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya, besarnya investasi bisa menyerap tenaga kerja dan menurunkan pengangguran.

"Tapi kekurangannya kita tidak bisa memanfaatkan investasi secara optimal kalau masih bergantung pada barang impor," ujar dia.

Jika hal tersebut dibiarkan, lanjutnya, neraca transaksi berjalan akan terus defisit karena defisit neraca perdagangan yang semakin melebar.

Ia mengatakan kebutuhan investasi yang semakin tinggi mendorong peningkatan impor barang bahan baku, bahan modal, dan bahan penolong.

"Jadi ada suatu permasalahan struktur perekonomian Indonesia, dimana ekonomi domestik tumbuh tapi tidak punya pendukungnya dari domestik," ujarnya.

Sehingga pemerintah perlu menjalankan kebijakan yang mendorong industri hulu serta penyediaan infrastruktur juga harus memadai.

"Itu harus dimulai dari sekarang karena investasi besar yang tidak diimbangi pengembangan industri hilir justru akan membuat impor membesar," ujar dia.

Kepala Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengatakan dalam beberapa tahun terakhir ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 6 persen per tahun. Kondisi ini diperkirakan masih akan berlanjut di tahun-tahun mendatang.

Ia mengatakan dengan potensi sebesar ini, maka arus investasi masih akan tinggi.

Karena itu, pemerintah harus segera membenahi struktur industri dengan mendorong pengembangan industri hulu dan memperbaiki iklim usaha di dalam negeri.

"Sebab, kalau kondisi saat ini dibiarkan, maka akan membebani impor. Jika impor besar, maka potensi pertumbuhan ekonomi yang besar bisa berkurang," katanya.

Sebenarnya, lanjut dia, pemerintah telah memiliki beberapa instrumen untuk mendorong industri hulu. Salah satunya dengan memberikan insentif berupa keringanan pajak.

"Hanya saja pemerintah perlu melakukan sosialisasi yang baik, sehingga investor mau mengembangkan industri hulu di dalam negeri," ujar dia.

Sementara itu, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan revilitasi dan hilirisasi industri dengan peningkatan nilai tambah yang dihasilkan oleh industri manufaktur dan aktivitas ekonomi lainnya yang saling berkaitan, secara keseluruhan akan meningkatkan produksi total dalam suatu negara atau daerah.

"Sehingga dapat mendorong peningkatan laju pertumbuhan ekonomi," ujarnya.

Menurut dia, kelangsungan proses produksi dan aktivitas perdagangan yang ditimbulkan oleh industri manufaktur akan memperluas lapangan pekerjaan sehingga dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor industri terutama pada kelompok industri yang bersifat padat karya.

Selain itu, kata dia, jika proses produksi sektor industri berlangsung secara efisien akan dapat mendorong peningkatan produktivitas dan daya saing produk di pasar domestik serta internasional.

"Hal tersebut pada gilirannya akan mendorong peningkatan ekspor berbagai produk industri manufaktur," kata dia.

(ANT)

Oleh Azis Kurmala
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013