Jakarta (ANTARA) - Shafaq kerap mengenang kehidupannya yang damai di rumahnya dahulu di Dara'a, Suriah, di mana pemandangan alamnya begitu indah dan bahan pangan didapatkan dari hasil mengolah lahan di dekat tempat tinggalnya.
Namun, perang saudara di Suriah mengakibatkan keluarga remaja putri berusia 14 tahun itu terpaksa pergi dari rumah tersebut dan memulai perjalanan mereka sebagai pengungsi, hingga terdampar di Lebanon.
Shafaq tertinggal dua tahun di sekolah karena kerap berpindah-pindah tempat tinggal.
Kisah Shafaq merupakan salah satu dari cerita yang dibagikan oleh Middle East Children's Alliance (MECA) dan dituturkan dalam situs resmi Global Giving, lembaga nirlaba yang menyediakan platform penggalangan dana untuk berbagai proyek amal di seluruh dunia.
Dalam situs tersebut, terdapat berbagai kisah lainnya, seperti Noorkin (40) dan anak lelakinya, Yacob (10), yang kabur setelah desa tempat tinggal mereka di Myanmar dibakar oleh massa dan mereka terpaksa menjalani kehidupan selama beberapa hari tanpa makanan.
Kedua pengungsi yang merupakan etnis Rohingya dari Myanmar itu kini tinggal di kamp pengungsian di Cox's Bazar di Bangladesh.
Krisis pengungsi di berbagai belahan dunia saat ini dapat disebut sebagai "bom waktu" dari beragam permasalahan yang perlu untuk segera ditangani, terlebih mengingat jumlah pengungsi yang terus melesat.
Menurut berbagai kajian, pada akhir Perang Dunia Kedua di 1945, setidaknya ada sekitar 40 juta orang di seluruh dunia yang terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Pada saat ini, menurut laporan dari Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) pada Rabu (14/6), jumlah penduduk dunia yang terpaksa bermigrasi dari tempat tinggal mereka meningkat drastis menjadi 108,4 juta orang sampai akhir 2022, naik sebanyak 19,1 juta orang dibandingkan dengan setahun sebelumnya.
35,3 juta pengungsi
Laporan UNHCR itu menunjukkan bahwa dari angka tersebut, sebanyak 35,3 juta adalah para pengungsi.
Terungkap pula dari laporan tersebut bahwa negara-negara berpendapatan rendah dan menengah di seluruh dunia menampung sebagian besar pengungsi.
Berdasarkan data dari www.unhcr.org/refugee-statistics/, disebutkan bahwa negara yang paling banyak menampung pengungsi saat ini adalah negara Turki dengan jumlah 3,6 juta pengungsi, dan disusul secara berurutan yaitu Iran (3,4 juta), Kolombia (2,5 juta), Jerman (2,1 juta), dan Pakistan (1,7 juta).
Mereka yang telantar dari rumahnya adalah dampak dari perang, penganiayaan, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Meski angka pengungsi menembus yang tertinggi sepanjang sejarah, Komisioner Tinggi UNHCR Filippo Grandi menyatakan bahwa masyarakat di seluruh dunia terus menunjukkan penerimaan yang luar biasa tinggi kepada pengungsi dengan memberikan perlindungan dan bantuan kepada berbagai pihak yang membutuhkan.
Namun, Grandi, dalam laporan UNHCR tersebut mengingatkan bahwa saat ini masih perlu adanya dukungan internasional yang lebih besar serta pembagian tanggung jawab yang lebih adil, terutama bagi negara-negara yang menampung sebagian besar pengungsi di dunia.
Grandi juga menekankan bahwa hal terpenting pada saat ini adalah memperbesar upaya guna mengakhiri konflik dan menyingkirkan hambatan, sehingga para pengungsi di seluruh dunia memiliki pilihan realistis untuk kembali ke rumah mereka secara sukarela, aman, dan terhormat.
Tiga negara
Diketahui dari data UNHCR terkini, sekitar 52 persen dari para pengungsi diperkirakan hanya berasal dari tiga negara, yaitu dari Suriah sebanyak 6,8 juta orang, kemudian dari Ukraina dan Afghanistan, masing-masing sekitar 5,7 juta pengungsi.
Ketiga negara yang baru disebut itu, tentu saja telah lama menghiasi pemberitaan di berbagai media massa global, seperti Suriah yang telah mengalami kondisi perang saudara sejak 2011.
Ukraina, merupakan negara yang selama 15 bulan terakhir telah diinvasi oleh Rusia, sedangkan konflik di Afghanistan telah berlangsung selama beberapa dekade, dan belum tampak tuntas sepenuhnya hingga kini.
Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa konflik merupakan sumber utama yang dapat mengakibatkan jutaan orang, dari sebelumnya hidup tenang dan bahagia bersama anggota keluarga mereka, terpaksa menjadi pengungsi yang telantar dan menderita di berbagai belahan dunia.
Pengungsi, terutama pada abad ke-21 ini, tidak hanya terbatas dalam satu kawasan atau benua tertentu, tetapi sudah merambah beragam lokasi.
Konflik yang paling banyak disorot akhir-akhir ini di benua Afrika adalah di Sudan, yang menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), tercatat ada lebih dari 2,2 juta orang telah mengungsi sejak konflik meletus antara tentara Sudan dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) pada pertengahan April 2023.
Dalam pernyataannya yang dirilis Rabu (14/6), IOM mengatakan sebanyak 1.670.991 orang mengungsi di dalam negeri Sudan dan 528.147 orang melarikan diri ke negara tetangga.
Di benua Amerika, UNHCR mencatat adanya sebanyak 5,45 juta pengungsi asal Venezuela yang membutuhkan perlindungan internasional pada akhir 2022, jumlah pencari suaka asal Venezuela meningkat 186 persen dibanding tahun lalu menjadi 264.000 di tengah krisis ekonomi di negara tersebut yang dimulai sejak 2014.
Berdasarkan informasi UNHCR, hal itu menyebabkan banyak keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar dan menimbulkan lonjakan besar pengungsi di Amerika Serikat.
Menurut catatan UNHCR, negara tujuan utama para pengungsi itu adalah AS, Kosta Rika, dan Meksiko.
Sementara Kuba, yang masih mendapat sanksi perdagangan dari AS dan mengalami krisis bahan bakar, mencatat jumlah pengungsi terbanyak kedua di benua Amerika, yaitu sebesar 197.700 orang, disusul Nikaragua (165.800), Kolombia (90.500), Honduras (79.700) dan Haiti (73.500).
Beban besar
Semakin banyaknya pengungsi tersebut tentu saja menimbulkan beban yang begitu besar bagi berbagai lembaga yang menangani para pengungsi.
Misalnya, Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Tengah (UNRWA) berada di ambang kehancuran finansial, seperti diperingatkan kepala UNRWA Philippe Lazzarini, Senin (12/6), dikutip dari Kantor Berita Anadolu.
Lazzarini mengatakan kepada awak media di Wina, Austria, bahwa pihaknya selama tiga tahun terakhir telah mencoba berbagai cara untuk mengatasi masalah tersebut, namun belum mendapat hasil yang diperlukan.
Ia mengemukakan perlunya mobilisasi politik dan tekad untuk mencegah badan tersebut benar-benar kolaps, serta agar hak-hak pengungsi Palestina juga tidak berkurang.
Lazzarini mengungkapkan bahwa UNRWA mengalami defisit keuangan hampir 200 juta dolar AS (sekitar Rp2,97 triliun), serta menekankan pentingnya bantuan makanan untuk Gaza.
Dia mengatakan bahwa diperlukan sebesar 75 juta dolar AS (sekitar Rp1,11 triliun) untuk melanjutkan bantuan makanan ke wilayah tersebut, terutama ke Jalur Gaza, tempat Program Pangan Dunia telah mengurangi aktivitasnya.
UNRWA telah dibentuk pada 1948, setelah ratusan ribu warga Palestina diusir dari rumah dan lahan mereka setelah Israel berdiri.
Badan tersebut terus membantu jutaan warga Palestina di Jalur Gaza yang diblokade dan Tepi Barat yang diduduki Israel dengan berbagai layanan, seperti pendidikan, makanan, dan pekerjaan.
Kebijakan pemerintah
Tidak hanya beban lembaga kemanusiaan yang semakin berat, terkadang sejumlah pemerintahan resmi juga melakukan sejumlah langkah kebijakan yang tidak membantu upaya kemanusiaan.
Misalnya, Kantor Berita Anadolu memberitakan bahwa PBB pada Selasa (13/6) mendesak junta Myanmar untuk membuka kembali akses untuk bantuan kemanusiaan ke wilayah-wilayah yang dilanda Topan Mocha.
Topan Mocha telah menghancurkan sebagian besar tempat penampungan sementara bagi para pengungsi di wilayah utara Myanmar. Curah hujan yang lebih tinggi diperkirakan akan terjadi dan dapat meningkatkan risiko banjir dan tanah longsor.
PBB menuding pihak berwenang di negara itu menghambat bantuan kemanusiaan yang penting bagi masyarakat setempat.
“Kami mendesak Dewan Administrasi Negara (Myanmar) untuk mempertimbangkan lagi keputusan ini dan kembali ke persetujuan awal terhadap rencana distribusi bantuan dan transportasi,” kata juru bicara Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), Jens Laerke.
Sebulan setelah Mocha melanda Negara Bagian Rakhine di Myanmar, Dewan Administrasi Negara telah menangguhkan akses kemanusiaan sehingga melumpuhkan distribusi bantuan penting, seperti makanan, air minum, peralatan berlindung, dan bantuan lain kepada masyarakat terdampak, kata Laerke.
Berbagai pihak, terutama mereka yang memiliki wewenang untuk membuat kebijakan, sudah selayaknya menyadari bahwa saat ini jumlah pengungsi semakin lama semakin meningkat, terutama dari konflik yang sebagian besar disebabkan oleh kebijakan politik dari sejumlah pemerintahan di dunia ini.
Padahal, yang diinginkan para pengungsi, seperti Shafaq, Noorkin, dan Yacob, adalah masa depan yang jelas dan bermartabat bagi mereka.
Semua impian tersebut, tentu tidak akan dapat tercipta bila para pengambil kebijakan di berbagai negara masih berkutat dengan konflik dan mengabaikan proses perdamaian yang tulus dan dilandasi itikad baik.
Copyright © ANTARA 2023