“Ketika COVID-19 di tahun 2020-2021 terjadi, kita jadi punya waktu, punya kesempatan membatasi (kunjungan ke Borobudur). Tapi yang paling penting juga ada waktu untuk meneliti tingkat kerusakan yang terjadi,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid dalam Taklimat Katadata Insight Center (KIC) yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Hilmar bercerita sebenarnya pemerintah sudah sejak lama ingin melakukan pembatasan agar wisatawan tidak naik ke tiap teras candi sebagai salah satu upaya untuk memperpanjang usia candi dan memeliharanya.
Hanya saja belum ditemukan waktu yang tepat karena untuk menyosialisasikan hal itu, diperlukan waktu yang cukup panjang termasuk bagaimana menggali lebih dalam temuan-temuan lain di lapangan.
Baca juga: Borobudur kekurangan atraksi lain untuk hibur wisatawan
Dengan adanya pandemi COVID-19, Hilmar mengaku cukup terbantu karena pemerintah melalui jajarannya bersama para ahli bisa memiliki waktu untuk memperkuat temuan-temuan pada Borobudur serta memberikan candi waktu untuk beristirahat.
Banyak pula cerita dari relief yang bisa diteliti lebih dalam untuk melengkapi kisah budaya Indonesia di masa lalu.
Sebab sebelum adanya pembatasan, Borobudur yang menjadi salah satu destinasi wisata dan ikon sejarah itu harus dipijak oleh ribuan orang dalam waktu yang bersamaan, dengan alasan ingin berfoto di tiap teras candi atau melihat relief pada dinding.
Barulah setelah pembatasan ditentukan, hanya 1.200 orang per hari yang boleh naik ke atas candi, dengan catatan dilakukan secara bergantian yakni 150 orang tiap regunya.
“Sebetulnya kalau kita perhatikan di banyak tempat di dunia, bukan hanya di Indonesia, banyak cagar budaya penting apalagi dengan situs warisan dunia, mereka pasti memberlakukan hal yang sama,” katanya.
Lebih lanjut Hilmar menekankan adanya kebijakan terkait pembatasan akses untuk naik ke atas teras dan dinaikkannya harga tiket sudah dikaji terlebih dahulu dengan berbasiskan bukti yang ada di lapangan, bukan atas permintaan atau mendengar persepsi sebagian orang saja.
“Sebelum membuat kebijakan ini kita juga ingin mendengar persepsi publik seperti apa karena Dirjen Kebudayaan ini bekerja berbasiskan data, berbasiskan bukti yang ada di lapangan. Jadi kita tidak bisa membuat kebijakan hanya karena kata orang, atas persepsi sebagian orang seperti apa, kita ingin buat kebijakan berbasis bukti (yang baik bagi keberlanjutan Candi Borobudur di masa depan),” ucap Hilmar.
Baca juga: TWC: Ruwat Rawat Borobudur jaga spiritualitas Candi Borobudur
Baca juga: 83 persen masyarakat setuju Candi Borobudur harus dirawat dan dijaga
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023