Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Atnike Nova Sigiro menilai mekanisme yudisial tetap penting dan harus selalu dikedepankan untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Atnike menjelaskan mekanisme yudisial mendorong akuntabilitas hukum dan menunjukkan komitmen negara menghapus impunitas, serta memberikan efek jera sehingga pelanggaran HAM berat tidak lagi terulang.
"Komnas HAM memandang penting untuk terus mendorong tanggung jawab negara dalam penyelesaian pelanggaran HAM yang berat melalui mekanisme yudisial dengan alasan sebagai berikut: 1. Mendorong akuntabilitas hukum dan komitmen negara untuk menghapus impunitas; 2. Pengadilan HAM merupakan mekanisme yang sah dan konstitusional; 3. Memfasilitasi harapan korban dan memberikan detterent effect (efek jera, red.) agar tidak terjadi keberulangan," kata Atnike saat membuka acara diskusi di Jakarta, Kamis.
Dalam acara diskusi bertajuk "Memutus Rantai Impunitas, Pentingnya Pengadilan HAM dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat di Indonesia", Ketua Komnas HAM menyampaikan korban-korban pelanggaran HAM berat masih menginginkan kasus-kasus dan kejahatan yang mereka alami diselesaikan lewat pengadilan.
"Maka, tanggung jawab negara memenuhi hak-hak dari warga negara dan hak-hak korban tersebut," ujar Atnike.
Baca juga: Semendawai: Komnas HAM-LPSK penting dalam pemajuan perlindungan HAM
Baca juga: Meninjau komitmen Jokowi selesaikan kasus pelanggaran HAM berat
Dia menjelaskan korban-korban pelanggaran HAM berat memiliki sejumlah hak yang harus dipenuhi negara, yaitu hak mengetahui kebenaran, hak atas keadilan, hak atas reparasi, dan hak atas jaminan ketidakberulangan.
"Kalau kita bicara pengadilan, maka kita bicara pada dimensi hak atas keadilan, bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk menuntut keadilan. Para pelaku harus dapat dituntut dan diajukan ke pengadilan, dan para korban dapat pemulihan dan ganti rugi," kata dia.
Hak atas keadilan itu juga menuntut negara untuk menyelidiki peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat, sekaligus menangkap dan mengadili pelaku.
"Jika kesalahan mereka terbukti, (negara berkewajiban) untuk menghukum mereka, serta memastikan reparasi tersedia bagi korban," imbuh Atnike Nova Sigiro.
Dia memahami Presiden RI Joko Widodo memang membuka jalan penyelesaian non-yudisial untuk pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat.
Akan tetapi, Komnas HAM berpendapat dua opsi penyelesaian itu tidak saling bertentangan, dan keduanya dapat ditempuh untuk memberi keadilan bagi korban.
Baca juga: Pemerintah sebut 39 korban pelanggaran HAM terasing bukan pengkhianat
"Pilihan penyelesaian pelanggaran HAM berat tidak bersifat tunggal, dan tidak saling menegasikan antara mekanisme yudisial dan non-yudisial," ujar Atnike.
Presiden RI Joko Widodo pada 11 Januari 2023 mengakui adanya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat terjadi pada masa lalu. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu, yaitu Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari di Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, Peristiwa Penghilang Orang Secara Paksa 1997-1998, dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.
Kemudian, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999, Peristiwa Wasior Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.
"Saya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban," kata Presiden Jokowi saat mengumumkan peristiwa pelanggaran HAM berat itu di Istana Merdeka, Jakarta.
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023