Jakarta (ANTARA News) - Delegasi Komisi I DPR RI didampingi Dubes RI untuk Australia Hamzah Thayeb, Rabu, bertemu dengan Direktur Center for Democratic Institute (CDI) Dr. Benjamin Reilly di Canberra untuk menjajaki kerjasama peningkatan kemampuan para tenaga ahli dan staf Sekretariat DPR, khususnya Komisi I melalui berbagai pelatihan. "CDI juga akan membantu parlemen dan partai politik untuk meningkatkan kemampuan legislasi dan pengawasan yang efektif dalam tugasnya," kata anggota Komisi I DPR dari Partai Golkar Yuddy Chrisnandi di Canberra. Delegasi DPR-RI ke Australia dipimpin AS Hikam (FPKB) dengan anggota Yusron Ihza Mahendra (PBB), Yuddy Chrisnandi (Golkar), Boy W Saul (Demokrat), dan Fadloli Hazaimi (PPP). CDI adalah lembaga yang dibentuk pemerintah Australia untuk membantu proses demokrasi di kawasan Asia Pasifik. CDI berupaya menciptakan hubungan antar parlemen antar negara di kawasan Pasifik dan Asia Tenggara. Menurut Benyamin Reilly, CDI siap mendukung aspek-aspek mekanisme kerja parlemen. CDI ingin memberikan dukungan pelatihan terhadap DPRD/MRP di Papua, serta memperkuat kemampuan kesekretariatan DPR khususnya Komisi I. Delegasi Komisi I menyambut gembira hal tersebut. Yuddy menjelaskan bahwa proses demokrasi di Indonesia tengah berjalan dengan baik, yang tentunya masih memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Bertempat di Australian National University, delegasi juga bertemu dan berdiskusi dengan para pakar Indonesianis asal Australia diantaranya Greg Fealy, Edward Aspinall, Harold Crouch, Robert Cribb, Chris Ballard, Chris Manning, Ross Mcleod, Hal Hill, Amrih Widodo, George Quin, Terry Hull, Kathryn Robinson, Sharon Luise Bessel, dan John Monfries. Di awal diskusi, AS Hikam menjelaskan bahwa masalah Papua adalah masalah sensitif bagi bangsa Indonesia yang memerlukan pengertian Australia. "Pemberian suaka kepada 42 WNI asal Papua oleh Australia tidak didasarkan pada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai klaim sepihak adanya pelanggaran HAM maupun genocida terhadap para pencari suaka," tegas Hikam. Yuddy Chrisnandi menambahkan bahwa melihat sejarah diplomasi hubungan Indonesia-Australia, sejak awal kemerdekaan, sikap Australia menentang masuknya Irian Barat ke dalam Indonesia. "Sehingga cukup beralasan bila kebijakan Australia memberikan suaka (TPV) bagi pencari suaka asal Papua dapat dicurigai sebagai adanya agenda terselubung atas Papua," kata Yuddy. Tindakan tersebut, lanjutnya, mengorek luka lama kasus Timor-Timur di mana peran Australia atas lepasnya Timor-Timur menjadi kenangan pahit bangsa Indonesia. Ia mengharapkan agar ke depan Australia dapat menjadi Negara sahabat yang baik bagi Indonesia dalam upaya memajukan kawasan Asia Pasifik. Harold Crouch berpendapat bahwa pemberian TPV sama sekali tidak dimaksudkan untuk mendukung OPM atau gerakan separatisme. Lebih pada pertimbangan alasan individu sesuai immigration law yang berlaku di Australia. Ia mencontohkan alasan Herman Wanggai lari dari Papua, karena yang bersangkutan mengibarkan bendera bintang kejora dan dihukum, artinya ada alasan HAM disana. Chris Manning menambahkan bahwa pada dasarnya masyarakat dan pemerintah Australia tidak menghendaki perpecahan di Indonesia maupun lepasnya Papua dari Indonesia, hanya saja pemerintah Indonesia harus mampu mengatasi persoalan internalnya di Papua. Edward Aspinall berpendapat agar masalah issue Papua tidak perlu dibesar-besarkan dan ditanggapi secara panas oleh para pejabat di Indonesia, karena hal itu akan lebih mencuatkan kembali persoalan Papua ke publik Australia. Pemerintah Indonesia dan DPR seharusnya lebih tenang dan tidak over reaksi menyikapi masalah Papua, kata Aspinall. Kathryn Robinson mengatakan bahwa hubungan bilateral Indonesia dan Australia bermakna sangat strategis bagi stabilitas kawasan Asia Pasific, masalah papua adalah isu yang seharusnya dapat di atasi secara Internal Indonesia daripada pengaruh eksternal. "Meningkatkan hubungan bilateral yang lebih intens dalam bentuk berbagai kerjasama, jauh lebih penting bagi kedua Negara," katanya.Menlu bayangan Delegasi Komisi I juga bertemu dengan Menlu bayangan partai oposisi (Partai Buruh) Kevin Rudd di Parliament House, Canberra. Delegasi kembali menegaskan sikapnya agar kedua Negara lebih sensitif memperhatikan isu yang menyangkut hubungan bilateral. Pendekatan politik perlu dijadikan pertimbangan yang lebih dibandingkan pendekatan legal dalam pemberian TPV, sebagaimana dikatakan AS Hikam. Kevin Rudd yang mewakil pimpinan oposisi parlemen Kim Beazley mengatakan bahwa sikap Partai Buruh bertentangan dengan rencana pemerintah mengamandemen UU Imigrasi dikarenakan konsistensinya sejak tahun 2001 melakukan hal yang sama dan tidak ada kaitannya dengan pemberian TPV terhadap pencari suaka asal Papua. Rudd juga menegaskan bahwa partai buruh selama ini memiliki sejarah hubungan yang sangat dekat dengan pemerintah Indonesia serta mendukung sepenuhnya NKRI dan kedaulatan Indonesia terhadap Papua. Ia juga menyoroti pembebasan Abu Bakar Baasyir (ABB), masyarakat Australia pada umumnya kecewa dan sangat menentang dibebaskannya ABB karena dinilai terlibat terhadap bom Bali 2002 serta kegiatan yang memusuhi bangsa Barat. Ia mengharapkan pemerintah Indonesia dapat melakukan pengawasan ketat terhadap Abu Bakar Basyir dan menutup peluangnya dalam menebarkan kebencian, permusuhan dan kegiatan yang mengarah pada kekerasan. Menanggapi pernyataan Rudd tentang ABB, AS Hikam dan Yuddy menyatakan bahwa hal itu sepenuhnya merupakan proses hukum pengadilan di Indonesia yang harus dihormati oleh Australia dan Negara manapun sebagaimana Indonesia menghormati aturan hukum yang berlaku di Australia. Pesan dan perasaan masyarakat Australia yang disampaikan Kevin Rudd tentunya akan diteruskan kepada para anggota DPR dan kalangan pemerintah di Jakarta. Khusus mengenai permintaan agar pemerintah Indonesia tidak segan menutup kegiatan Pesantren yang dipimpin Basyir bila melakukan kegitan yang mengarah pada tindakan radikalisme dan terorisme, Yuddy menolak bila hal itu digeneralisir. Yuddy tidak sependapat bila ada anggota pesantren atau siswa yang terlibat kemudian seluruh siswa atau sekolah dicap sebagai hal yang sama. Selanjutnya, delegasi menyambut baik ajakan Kevin Rudd untuk melakukan kunjungan bersama parlemen Indonesia ke Papua untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas dan menyamakan persepsi tentang Papua. Delegasi juga melakukan pertemuan dengan Lowy Institute Sydney, yakni Malcolm Cook, Direktur Program Asia Pasifik; Allan Dupont, Senior Fellow;Allan Gyngell, Executive Direktur; dan Rodd Mc Gibbon, research fellow; di KBRI Canberra. Malamnya Delegasi Komisi I akan melakukan pertemuan dengan The Joint Standing Committee on Foreign Affairs, Defence and Trade di Parlement House Canberra. Badan ini adalah padan dan mitra kerja Komisi I dari Australia.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006