Jakarta, 14/2 (ANTARA) - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tetap akan konsisten menata kembali pola pembangunan kelautan dan perikanan dengan mengadopsi konsep pembangunan berkelanjutan yang lebih menekankan pada konsep Ekonomi Biru. Konsep Blue Economy akan bertumpu pada pengembangan ekonomi rakyat secara komprehensif guna mencapai pembangunan nasional secara keseluruhan. Demikian penegasan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, seusai membuka seminar nasional yang bertemakan “Penguatan Industrialisasi dan Penerapan Konsep Blue Economy dalam Pembangunan Perikanan Tangkap yang Maju dan Berkelanjutan untuk Kesejahteraan Masyarakat”.

Menurut Sharif, konsepsi pembangunan berkelanjutan (sustainable development) seperti konsep blue economy saat ini telah menjadi arus utama dalam kebijakan pembangunan ekonomi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Bahkan Presiden RI dalam berbagai forum internasional telah menjadi pelopor dalam mempromosikan penerapan konsep-konsep pembangunan yang berkelanjutan. Menindaklanjuti hal tersebut, KKP yang bergerak di sektor kelautan dan perikanan harus berada di garis terdepan untuk mempromosikan dan melaksanakan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan. “Pada dasarnya semua pihak sangat berkepentingan dengan pembangunan yang tidak mengorbankan masa depan. Apa yang kita lakukan sekarang tidak hanya untuk hari ini saja, tetapi juga harus menjadi warisan yang lebih baik bagi generasi mendatang,” jelasnya.

Sharif menegaskan, prinsip blue economy harus diimplementasikan dalam berbagai kebijakan KKP, terutama dalam program percepatan industrialisasi kelautan dan perikanan. Blue economy merupakan prinsip-prinsip yang harus dipegang dan kemudian dioperasionalkan dalam industrialisasi kelautan dan perikanan. Konsep ini selain mampu menciptakan industri kelautan dan perikanan yang ramah lingkungan, juga dapat melipatgandakan pendapatan, menciptakan kesempatan kerja dan menggerakan perekonomian masyarakat sekitar. “Untuk itu, KKP akan terus mendorong para pemangku kepentingan, baik itu pemerintah daerah, dunia usaha, perguruan tinggi maupun masyarakat luas untuk terus menggali peluang penerapan blue economy dan strategi operasional dalam industrialisasi kelautan dan perikanan,” jelasnya.

Sharif menambahkan, dalam upaya menggali lebih dalam konsepsi dan peluang penerapan blue economy dalam industrialisasi kelautan dan perikanan, KKP telah mengadakan serangkaian diskusi, baik di lingkup internal maupun melibatkan para pakar dan ahli dari luar KKP. Di antaranya dengan mengundang pemrakarsa blue economy, yakni Gunter Pauli yang dikenal dengan bukunya The Blue Economy: 10 years, 100 innovations, and 100 million jobs. Dari rangkaian diskusi yang telah dilaksanakan tersebut telah berhasil menggali berbagai informasi, prospek, dan peluang penerapan prinsip-prinsip blue economy untuk diterapkan di sektor kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. “Seminar nasional seperti ini diharapkan dapat semakin melengkapi konsepsi dan rencana kerja implementasi prinsip-prinsip blue economy dalam industrialisasi kelautan dan perikanan, khususnya pada industri perikanan tangkap,” ujarnya.

Nilai Tambah Perikanan Tangkap

Sharif menandaskan, pengembangan industrialisasi perikanan tangkap perlu disinergikan dengan penerapan blue economy. Pola ini diharapkan dapat melakukan transformasi untuk meningkatkan daya saing, produktivitas, dan nilai tambah dari sub sektor perikanan tangkap secara berkelanjutan. Apalagi saat ini produksi perikanan tangkap mencapai angka 5,5 juta ton per tahun. Tentunya bukan hanya volume produksinya saja yang meningkat, tapi nilai tambahnya dan memberi dampak bagi peningkatan kesejahteraan rakyat antara lain melalui penciptaan lapangan kerja.”Kami berupaya untuk mendorong agar usaha perikanan tangkap bergairah, di mana salah satunya adalah agar para pelaku usaha memanfaatkan potensi perikanan yang ada di ZEE dan laut lepas,” katanya.

Sharif menjelaskan, untuk mendukung program tersebut KKP telah mengundangkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di WPP-NRI. Sebagaimana kita ketahui, usaha perikanan tangkap di laut lepas meliputi wilayah Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dan dapat dilakukan dengan menggunakan kapal perikanan dengan ukuran di atas 30 GT dengan ketentuan harus didaftarkan oleh Pemerintah pada organisasi pengelolaan perikanan regional. “Dengan Permen ini diharapkan kegiatan penangkapan ikan di laut lepas dapat meningkatkan hasil tangkapan yang berdampak pada meningkatnya ekspor hasil perikanan,” jelasnya.

Pemerintah, tandas Sharif akan memberikan kemudahan untuk mendukung usaha penangkapan ikan di laut lepas. Di antaranya, ikan hasil tangkapan di laut lepas dapat langsung didaratkan di pelabuhan luar negeri, dengan ketentuan menyampaikan laporan kepada pelabuhan pangkalan di Indonesia dan menyampaikan bukti pendaratan ikan di luar negeri. Kebijakan ini dilakukan dalam rangka pendataan sumber daya dan untuk mengantisipasi kegiatan penangkapan ikan yang melebihi kuota yang telah ditetapkan organisasi internasional. “Mereka juga dapat melakukan transhipment dari kapal penangkap ikan ke kapal pengangkut ikan baik di tengah laut maupun di pelabuhan negara lain yang menjadi anggota Regional Fisheries Management Organisation (RFMO) pada wilayah RFMO yang sama,” jelasnya.

Menurut Sharif, Permen Nomor PER.30/MEN/2012 ini, memiliki keunggulan dibanding peraturan sebelumnya. Di antaranya, mempercepat industrialisasi perikanan tangkap, dengan aturan yang membolehkan pengadaan kapal perikanan baru dan bukan baru dari dalam negeri dan luar negeri dengan ukuran yang memadai atau lebih besar. Kedua, mengoptimalkan pemanfaatan dan produksi hasil penangkapan ikan di ZEEI di luar 100 mil. Selain itu, Permen ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat perikanan, melalui aturan kewajiban usaha perikanan tangkap terpadu dan pemilik kapal kumulatif di atas 200 GT untuk mengolah ikan hasil tangkapan pada unit pengolahan ikan di dalam negeri. “Sesuai dengan konsep Blue Economy, Permen ini sangat mendukung pengelolaan sumber daya ikan yang bertanggung jawab. Terutama melalui pendataan statistik dan pelaporan hasil tangkapan yang lebih baik,” jelasnya.

Ditambahkan, Permen Nomor PER.30/MEN/2012 secara langsung akan memberikan kemudahan lain bagi para pelaku usaha. Di mana, persyaratan perizinan lebih disederhanakan dan pemeriksaan fisik kapal hanya dilakukan pada saat permohonan awal dan apabila terjadi perubahan. Selain itu, masa waktu pembayaran pungutan pengusahaan perikanan (PPP) dan pungutan hasil perikanan (PHP) lebih diperpanjang yang semula 5 (lima) hari menjadi 10 (sepuluh) hari. Kemudahan lain, pengusaha yang telah memiliki SIUP di Laut Lepas dapat digunakan juga di WPP-NRI, begitupun sebaliknya. “Pemerintah juga akan memberikan insentif bagi pelaku usaha yang melakukan pengembangan usaha pengolahan ikan maupun pelaku usaha yang melakukan pengembangan usaha penangkapan ikan,” tambahnya.

Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Indra Sakti, SE, MM, Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (HP. 0818159705)

Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2013