Untuk itu sebagai pembuat kebijakan dan pelaku usaha, kita bisa menangkal informasi salah dengan membuat konten edukasi yang benar di media sosial

Jakarta (ANTARA) - Akademisi yang juga Pakar Media dari Universitas Tarumanegara Budi Utami menyatakan pelaku usaha maupun pembuat kebijakan bisa menangkal hoaks atau mis-informasi tentang obat lewat edukasi yang benar di media sosial.

"WHO menyebutkan pada masa COVID-19, selain pandemi, hal yang menjadi ancaman lain adalah infodemic yakni kesalahan informasi yang terus berkembang di masyarakat dan diyakini benar, padahal itu salah. Untuk itu sebagai pembuat kebijakan dan pelaku usaha, kita bisa menangkal informasi salah dengan membuat konten edukasi yang benar di media sosial," kata Budi Utami di Jakarta, Jumat.

Data bahwa Indonesia menempati lima besar negara yang paling banyak menyebarkan informasi yang keliru, kata dia, menyebabkan penting bagi pihak-pihak yang memproduksi obat untuk menggunakan media sosial secara optimal demi menangkal hoaks.

"Banyak juga produk-produk kesehatan yang sebenarnya promosi produk, tetapi untuk meyakinkan masyarakat, dia akan coba menyebut sudah teruji di Amerika misalnya, atau testimoni dari tokoh, padahal kita tidak tahu kebenarannya. Ini perlu diwaspadai," ujarnya.

Hasil studi, lanjutnya, menyebutkan ada 40 persen masyarakat di dunia yang mencari informasi kesehatan di media sosial dan membagikannya pada pengguna lain. Namun, hampir 60 persen responden di media sosial tidak peduli dari mana informasi didapatkan dan siapa penulisnya.

Ia menuturkan tantangan yang dihadapi oleh industri obat saat ini mengembalikan kepercayaan publik pasca kasus obat batuk sirup yang menyebabkan gagal ginjal pada anak.

Baca juga: Rakornas BPOM susun strategi tangkal hoaks produk obat dan makanan

"Tantangan industri obat saat ini adalah mengembalikan kepercayaan publik pasca-kasus gagal ginjal kepada anak, yang kita tahu korbannya sudah mencapai 200 hingga 300 jiwa," ujarnya.

Selain itu ia juga resah akan maraknya iklan programatik yakni iklan yang muncul secara tiba-tiba saat mengakses media sosial.

"Pernah nggak misal kita merasa sakit di bagian perut, lalu kita browsing, dua jam berikutnya ada iklan obat sakit perut, itulah iklan programatik. Namun, karena itu sesuai dengan yang kita butuhkan, jadi kita nikmati dan klik, itu yang kita mesti coba bendung, karena misinformasi banyak terjadi lewat situ," katanya.

Untuk mengatasi mis-informasi tersebut, pelaku industri obat bisa menjalankan fungsi clearness yakni menjelaskan informasi yang benar kepada masyarakat melalui konten media sosial.

Selain itu ia menyampaikan beberapa cara lain yang dapat dilakukan industri obat untuk memberikan informasi yang benar.

Pertama, penyampaian informasi melalui tenaga kesehatan, baik itu dokter atau bidan. Kedua, melalui pihak farmasi atau apoteker, dan ketiga melalui media luar ruang dan informasi melalui pusat layanan kesehatan.

Baca juga: Misinformasi! Air kelapa bakar dapat bersihkan paru-paru
Baca juga: Misinformasi! Ramuan obat gosok dan soda kue bunuh nyamuk dalam semenit

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2023