Phnom Penh (ANTARA) - "Ayoo, ndook! Yakin, ndoook! Bisa, bismillah!" Islahuzzaman berteriak-teriak lantang di pinggir lapangan.

Bola mata di balik kaca bundar milik gadis yang baru beranjak dewasa itu melirik ke papan skor dengan angka 5-5. Dari tengah lapangan, dia melihat waktu pertandingan yang semakin berkurang. Bulir-bulir keringat bermunculan di dahinya, tanda kecemasan yang sedang menggelayuti perasaan perempuan yang duduk di kursi roda itu.

Tangannya mengambil dan mengeluarkan bola merah dari keranjang yang menempel di kursi roda berwarna biru muda. Tidak, dia kembalikan lagi bola merah itu ke dalam keranjang. Memejamkan kedua matanya yang tersembunyi di balik bingkai bundar kaca mata, kemudian menggeleng-gelengkan kepala.

Mulutnya komat-kamit. Gadis itu seperti sedang berbicara pada diri sendiri untuk melawan segala ketakutan. Sesungguhnya dia sedang bertarung dengan dirinya sendiri, bukan dengan lawannya yang juga duduk pada kursi roda, sekitar empat langkah di sebelah kanan dia.

Setelah selesai dengan dirinya, gadis itu kembali membuka mata. Dengan lunglai tangannya mengambil kembali bola merah yang ada di keranjang. Ekspresi wajahnya seakan mengutuk dirinya sendiri yang terus melakukan kesalahan dalam melempar bola.

Tangan kirinya dengan mantap menggenggam bola merah. Dia mengunci gerakan roda di kursinya agar tidak bergeser, sedikit merunduk dari tempat duduknya, dan mengayunkan tangan kirinya yang membentuk sudut 90 derajat tepat di persendian siku. Tangan itu tidak bisa membentang lurus karena cerebral palsy, karunia "keistimewaan" yang diberikan Tuhan padanya.

Setelah diayun beberapa kali, bola merah itu dilemparkan ke arah bola putih. Sangat disayangkan, bola itu tidak mengenai sasaran dan malah terlewat melintasi bola putih.

Gadis itu mendorong punggungnya ke sandaran kursi roda. Matanya kembali tertutup sambil kepalanya sedikit mendongak. Pasrah.

Keenam bola merah di keranjangnya sudah dilempar, dan hanya satu bola merah yang menempel pada bola sasaran bernama bola jack berwarna putih, yang berarti satu poin. Kelima bola lainnya, melantur ke mana-mana.

Asisten wasit di lapangan menarik kursi rodanya ke belakang. Kini giliran Nguyen Nhat Uyen, wanita berambut bob hitam asal Vietnam yang maju ke depan bersiap melempar bola.

Di keranjang pada kursi rodanya, bola biru Nguyen masih tersisa lima. Wajahnya sangat tenang melihat bola putih sasaran begitu terbuka dengan hanya sedikit halangan. Ia sadar kemenangan sudah di depan mata. Sementara di belakangnya, gadis berbaju merah dengan logo garuda di dada hanya bisa duduk pasrah di atas kursi roda biru muda miliknya. Tak ada lagi yang bisa dia perbuat. Dia sudah berusaha semampunya, giliran Tuhan yang menyelesaikan sisanya.

Nguyen dengan mantap melempar bola biru. Di kesempatan pertama, bola biru itu tidak sampai mendekati bola putih. Bola biru keduanya, melenggang melewati bola putih, keluar garis batas permainan.

Begitu juga bola ketiga dan bola keempat, Nguyen gagal mendekatkan bola miliknya ke bola jack berwarna putih. Wajah Nguyen yang awalnya tenang menjadi tegang. Bola biru terakhirnya dilempar, dan lagi-lagi gagal dengan hanya menabrak bola biru lainnya.

Sontak, Islahuzzaman beserta orang-orang berbaju merah dengan garuda di dada yang memenuhi pinggir lapangan basketball hall Stadion Olimpiade Nasional di Phnom Penh, Kamboja, bersorak lepas, sekeras-kerasnya, seraya bangkit dari tempat duduknya.

"Woooeeeee!!"

Di tengah lapangan, di atas kursi roda biru muda, gadis itu, Gischa, menangis terisak setelah wasit memastikan kemenangan untuknya dengan skor 6-5.

Gischa Zayana, gadis 18 tahun, atlet peraih medali emas cabang olahraga Boccia nomor individu putri klasifikasi BC2, dalam ajang ASEAN Para Games ke-12 di Kamboja tahun 2023.

Emas ini adalah emas pertamanya setelah hanya mendapat perak pada ASEAN Para Games ke-11 di Solo tahun 2022.

Islahuzzaman Nur Yadin, Kepala Pelatih Boccia Indonesia, menyebut emas Gischa adalah mukjizat.

"Itu adalah mukjizat, kun fayakun. Saya sampaikan kepada anak-anak bahwasanya Allah itu maha kuasa, untuk sesuatu yang nggak mungkin bisa menjadi mungkin, ya di boccia ini," kata Islahuzzaman yang memeluk erat Gischa berkali-kali usai pertandingan, dalam perbincangan dengan ANTARA.

Dia bak seorang bapak yang sangat menyayangi Gischa, bahkan memanggilnya ndok (panggilan dalam Bahasa Jawa yang berarti anak untuk perempuan).

Selepas merayakan kemenangan bersama rekan dan para pelatih, Gischa pergi shalat, yang merupakan momen dia mengucapkan terima kasih kepada Yang Maha Memberikan Hidup.

Wajah Gischa berubah berseri-seri. Tidak ada bekas sedih, kecemasan, atau tangis. Setitik pun tidak. Semuan berganti senyum lebar yang menghiasi parasnya.

"Ini memang impian saya, jadi harus bisa," kata dia yang sangat bahagia dengan emas pertamanya.

Salah seorang wartawan Indonesia iseng bertanya mengenai bonus medali emas mau dibelikan apa nantinya.

Dia menjawab untuk membeli hewan kurban, sembari tersenyum.

Pada ajang ASEAN Para Games 2023 di Kamboja, tim Boccia Indonesia meraih dua medali emas, dua perak, dan tiga perunggu.


Tak sia-sia

"Udiiiiinnnn, semangat diiiin! Udiiiiin ayo diiiin! Udiiiiin!" Tiwa berseru di pinggir lapangan kepada Nasrodin yang berlari sejauh 5.000 meter, di Stadion Nasional Morodok Techo Phnom Penh.

Setiap Nasrodin berlari di depannya dalam satu putaran, Tiwa selalu berteriak hal yang sama. Sampai pada akhirnya Nasrodin hanya finis di urutan ketiga dengan kelelahan luar biasa, Tiwa mengatakan hal lain.

"Nggak sia-sia, diiinnn. Nggak sia-sia," kata Tiwa, sambil merekam momen Nasrodin menyentuh garis finis.

Nasrodin sama dengan Tiwa, atlet para-atletik tunagrahita yang sama-sama berjuang di ASEAN Para Games Kamboja.

Sebelumnya, Tiwa berlomba pada nomor 400 meter putri klasifikasi T20, atau klasifikasi kelemahan intelektual. Dia mendapatkan finis kedua pada perlombaan itu.

Tiwa berlari sprint satu putaran lintasan penuh bersama dengan rekan senegaranya, Elvin Elhudia Sesa yang mendapatkan perunggu.

Berlari cepat sepanjang satu putaran penuh sungguh sangat menyesakkan dada mereka. Elvin Sesa, terbaring di lintasan, usai menyelesaikan perlombaan. Dua tim medis memberikan penanganan pada kakinya yang kram. Dia berteriak-teriak, menangis sejadi-jadinya menahan sakit.

Bahkan, Elvin tidak mampu berdiri dan melangkah untuk menepi ke pinggir lintasan. Dia harus dipapah oleh dua orang tim medis. Elvin adalah peraih emas pada nomor lari 1.500 meter putri T20.

Sementara Tiwa, yang sebelum pertandingan sangat lama mengangkat kedua tangannya, khusyu berdoa, juga tumbang usai menyentuh finis. Tiwa bersujud di garis akhir, kemudian dia bangun berlutut, dan menjatuhkan badannya yang terkulai ke samping.

Tiwa menyumbangkan dua perak, dan satu perunggu untuk Indonesia yang menyelesaikan ASEAN Para Games 2023 dengan status juara umum, lewat torehan 159 emas, 148 perak, dan 94 perunggu.

Benar kata Tiwa. Setiap perjuangan tidak ada yang sia-sia.

"Lo kok juara dua terus sih? Kemarin juara dua, sekarang juara dua," kata pewarta foto Indonesia Zabur Karuru berkelakar padanya di lintasan.

"Gini deh bang, kamera lo gua pegang, sekarang lo lari 400 meter! Kalo kamera lo rusak, gua ganti bang," kata Tiwa menimpali dengan terengah-engah.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023