Jakarta (ANTARA News) - Indonesia memerlukan arsitektur keuangan yang menyeluruh agar akses terhadap lembaga keuangan dapat lebih luas menjangkau masyarakat dan lembaga keuangan mikro lebih mudah berkembang. "Perkembangan lembaga keuangan mikro di Indonesia tergantung arsitekturnya kalau semua bermain di sektor yang sama maka yang jadi korban yang kecil, makanya penting untuk bangun arsitekturnya," kata Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Iman Sugema, usai peluncuran dan diskusi buku "Access for All: Building Inclusive Financial Systems", di Jakarta, Selasa. Menurut dia, yang terpenting adalah arsitektur itu tidak mengatur siapa bermain apa tetapi siapa bermain di mana. "Itu penting karena sebenarnya yang jadi masalah selalu itu. Misalnya BPR (Bank Perkreditan Rakyat--red) dengan bank besar tidak bisa berdampingan, walaupun marketnya berbeda segmen,"ujarnya. Di negara maju pun, lanjut dia, jarak antara bank yang kecil dan besar setidaknya sejauh 200 meter. Menurut dia, sekarang seolah-olah bank dan BPR berkompetisi di ladang yang sama sedangkan peraturannya dan kapasitas dua lembaga itu tidak sama. "Itu harus distrukturkan dan dipetakan biar perannya dalam konteks perekonomian sekarang bisa jelas," ujar Iman. Buku yang diluncurkan itu ditulis oleh Brigit S. Helm, dibuat berdasarkan penelitian selama 10 tahun dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran bagaimana lembaga keuangan mikro dapat membantu kelompok miskin menjadi bagian dari aliran pendanaan. Kepala bidang keuangan mikro dari CGAP (Centre Group to Assist the Poor--bagian dari Bank Dunia--red) itu menawarkan visi bagaimana mendapatkan sistem finansial yang pada akhirnya memberikan akses ke lembaga keuangan untuk semua orang. Buku setebal 163 halaman itu menggambarkan pengalaman sistem keuangan di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan yang menunjukkan bahwa penyedia jasa internasional dan domestik, pemerintah, dan penyedia jasa keuangan memberikan komitmen mereka terhadap visi sistem keuangan yang inklusif maka hasilnya akan mengagumkan. Di Kamboja, 15 tahun lalu lembaga keuangan mikro terganggu dengan adanya konflik internal, namun sekarang telah memiliki 17 bank (asing, domestik, swasta dan badan usaha milik negara) termasuk bank keuangan mikro yang terkenal di dunia (Bank Asosiasi Badan-badan Pengembangan Ekonomi Daerah/ ACLEDA). Lembaga-lembaga tersebut telah melayani hampir 400ribu klien dari kalangan miskin. Equity Bank di Kenya, telah membuka 18 ribu rekening untuk kaum miskin setiap bulan. ICICI Bank di India, melalui kemitraan dengan institusi keuangan dan organisasi non pemerintah telah menambah 1,2 juta klien keuangan mikro dalam tiga tahun. General Manager International Finance Corporation (IFC-PENSA), Chris Richards, mengatakan sistem yang menyeluruh seperti yang dipaparkan Brigit memang penting agar pengaruh lembaga keuangan mikro dapat dirasakan dalam jangka waktu yang lebih lama. "Yang saya temukan menarik dalam pandangan Brigit adalah sistem yang holistik, bukan hanya `micro finance` tapi bagaimana semua unsur bisa bekerjasama termasuk legislatif, pemerintah. Kita tidak akan membuat kemajuan jika hanya bekerja untuk mengembangkan satu institusi micro finance saja," katanya. Dalam pengembangan institusi keuangan mikro, lanjut dia, pemerintah harus dapat menyeimbangkan kontrol dan aturan yang ada.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006