Kulon Progo (ANTARA News) - Tim gabungan Kantor Lingkungan Hidup Kulon Progo dan Badan Lingkungan Hidup Daerah Istimewa Yogyakarta mengambil sampel air yang diduga tercemar limbah cair sisa pewarnaan industri batik di daerah itu.
Kasubid Penaatan Lingkungan Badan Lingkungan Hidup (BLH) DIY, Ruruh Haryata di Kulon Progo, Senin, mengatakan, sampel yang diambil dari beberapa titik, berupa limbah cair langsung dari lokasi industri batik serta di sungai.
"Untuk melihat potensi pencemaran yang mungkin terjadi karena melihat secara fisik ada dugaan limbah belum dikelola dengan baik. Hasilnya dua minggu sampai satu bulan," kata Ruruh.
Dia mengatakan, dari hasil uji laboratorium yang dilakukan oleh BLH DIY akan menjadi bahan pertimbangan pemerintah Kabupaten Kulon Progo untuk segera membangun Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL).
Industri batik, kata dia, merupakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang baru berkembang dan bangkit setelah sempat stagnan.
"Untuk itu, menurut kami pemerintah kabupaten segera mencarikan solusi yang cepat untuk mengatasi pembuangan limbah industri batik ini," katanya.
Dia mengatakan, seluruh pabrik batik di DIY memiliki IPAL, khususnya di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Namun, industri batik yang paling bermasalah di Kabupaten Kulon Progo.
"Hampir seluruh pabrik di DIY, kecuali Kulon Progo memiliki IPAL. Ini harus menjadi perhatian pemerintah Kulon Progo untuk segera dicarikan masalah. Sejauh ini, kami belum mendapatkan adanya laporan dari masyarakat terkait pencamaran limbah industri batik," katanya.
Kepala KLH Kulon Progo Heri Purnomo mengatakan bahwa indikasi terjadinya pencemaran lingkungan sampai ke sungai dari limbah industri batik di Kecamatan Lendah tersebut berdasarkan adanya laporan masyarakat.
Ada sekitar lima warga yang mengalami iritasi gatal-gatal di bagian kaki setelah mencari rumput di Sungai Rowo Jembangan.
"Diduga karena limbah batik, airnya cokelat-coklat, juga ditemukan ada ikan mati yang ususnya keluar. Warga yang gatal-gatal itu kemudian meminta dilakukan penelitian di perairan itu," katanya.
Menurut Heri, dalam industri batik, pewarna yang mengandung zat-zat kimia memang sering kali digunakan, seperti adanya kandungan HCL, Nitrit, dan soda kostik. Bahkan dikhawatirkan ada juga kandungan logam berat yang bisa membahayakan kesehatan, seperti menyebabkan kanker.
"Secara peraturan seharusnya setiap pengusaha yang menggunakan zat kimia wajib berizin. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah memiliki IPAL. Akan tetapi, di sini semua belum berizin, juga belum mempunyai IPAL," katanya. (STR/D007)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013