Jakarta (ANTARA) - Lebih dari 50 tahun yang lalu, seorang presiden Amerika Serikat pernah berkata kepada pemimpin China bahwa tulisan dari pemimpin China tersebut menggerakkan bangsa dan telah mengubah dunia.
Mendengar pujian itu, pemimpin China tersebut menanggapinya dengan bersikap rendah hati dan mengatakan bahwa dia belum mampu mengubah dunia, tetapi hanya dapat mengubah beberapa tempat di Beijing dan sekitarnya.
Setelah berbincang-bincang dengan hangat, bahkan mendekati akhir dari pertemuan dengan suasana akrab tersebut, Presiden AS meyakini bahwa baik negaranya maupun China adalah negara besar yang tidak ingin mendominasi dunia.
Bahkan, lanjut sang Presiden kala itu, karena sikap yang sama itu baik AS maupun China disebut tidak mengancam wilayah masing-masing.
Pembicaraan seperti dituturkan di atas bukanlah khayalan di siang bolong, tetapi merupakan transkrip yang telah dideklasifikasi dari pertemuan antara Presiden AS saat itu, Richard Nixon, dengan pemimpin China semasanya, Mao Zedong.
Pertemuan yang terjadi di kediaman Mao di Beijing, China, 21 Februari 1972, antara lain merupakan hasil dari kebijakan pemerintahan AS pada masa itu yang ingin mengurangi ketegangan di era Perang Dingin.
Kunjungan Presiden Nixon ke kediaman Pemimpin Mao di China itu dinilai merupakan sebuah peristiwa yang menyimbolkan era baru hubungan AS-China dan menghapus China sebagai musuh Perang Dingin AS.
Bahkan, berbagai pihak juga menganggap bahwa membaiknya hubungan AS dengan China (selain dengan Uni Soviet) sebagai salah satu prestasi diplomatik paling sukses dalam masa kepresidenannya.
Pada saat ini, kemungkinan Presiden Nixon lebih dikenal dengan skandal Watergate yang otomatis menodai masa akhir kepresidenannya, serta Mao lebih dikenal sebagai sosok yang mengubah China menjadi sepenuhnya negeri komunis.
Layak direnungi
Namun, jalinan diplomasi antara Nixon dan Mao pada sekitar setengah abad yang lalu tampaknya masih layak direnungi pada saat ini, terlebih dengan munculnya banyak sekali peristiwa ketegangan yang saat ini terjadi antara AS dan China.
Misalnya saja pada bulan-bulan awal 2023, di mana ada insiden balon di suatu ketinggian yang dioperasikan China yang ditembak jatuh di ruang udara Amerika Utara.
Menurut pihak militer AS dan Kanada, balon tersebut adalah untuk pengawasan atau dugaan sebagai balon untuk memata-matai, tetapi pemerintahan China menyebut balon itu sebagai balon cuaca yang menyimpang dari jalur penerbangannya.
Penembakan balon China tersebut berdampak ke meningkatnya ketegangan, yang selama beberapa tahun ini juga terindikasi terus menaik, di antaranya dengan Menlu AS Antony Blinken yang menunda jadwal kunjungannya ke China.
Sedangkan baru-baru ini, satu kapal perang China seperti informasi dari pejabat militer AS, mendekati kapal AS jenis perusak dalam jarak 137 meter di Selat Taiwan dengan "cara yang tidak aman".
Sebagaimana dikutip dari kantor berita Reuters, Kapal China itu memotong lintasan kapal perusak milik AS, USS Chung-Hoon, yang bersenjata rudal ketika Angkatan Laut AS dan AL Kanada sedang berlatih bersama pada Sabtu (3/6) di selat yang memisahkan pulau Taiwan dengan daratan China tersebut.
Menurut pernyataan Komando Indo-Pasifik AS, USS Chung-Hoon terpaksa mengurangi laju untuk menghindari tabrakan.
Sementara itu, Menteri Pertahanan AS Llyod Austin saat berbicara di forum keamanan di Singapura beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa keengganan Beijing untuk berdialog bisa merusak upaya untuk menjaga perdamaian di kawasan.
Seperti diketahui, Menteri Pertahanan China Li Shangfu, yang sejak 2018 dijatuhi sanksi oleh AS terkait pembelian pesawat tempur dan senjata dari Rusia, menolak undangan untuk bertemu Austin pada forum tersebut.
Tentu saja, jalur diplomatik terus dikerahkan agar adanya dialog antara kedua pihak, dan Departemen Luar Negeri AS juga melaporkan adanya sejumlah pejabat senior AS dan China yang menggelar pembicaraan yang "bebas dan produktif" di Beijing pada Senin (5/6)
Juru Bicara Keamanan Nasional Gedung Putih John Kirby menyebut pertemuan yang melibatkan Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik Daniel Kritenbrink itu sebagai upaya untuk "membuat kemajuan dalam hal membuka jalur komunikasi tambahan."
Sebagaimana dikutip dari kantor berita Kyodo, pembicaraan itu terjadi setelah para pejabat AS pekan lalu mengakui bahwa William Burn, Direktur Badan Intelijen Pusat AS dan salah satu orang kepercayaan Presiden Joe Biden, mengunjungi China pada Mei.
Sedangkan pihak Kementerian Luar Negeri China pada Selasa (6/3) mengatakan kedua pihak mengadakan "komunikasi yang bebas, membangun dan bermanfaat" untuk perbaikan hubungan antara kedua negara.
China mengklarifikasi "posisi resmi terhadap Taiwan" dan isu-isu prinsip utama lainnya serta kedua negara sepakat untuk melanjutkan komunikasi, kata kementerian itu.
Hal itu juga selaras dengan Menteri Pertahanan China Li Shangfu yang dalam KTT Keamanan Asia di Singapura, Minggu, mengatakan bahwa negaranya mengutamakan dialog ketimbang konfrontasi.
Senada dengan itu, Penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan mengatakan dalam wawancara dengan CNN pada Minggu bahwa AS berusaha menjaga "dinamika yang stabil antara China dan Taiwan" dan menghindari konflik "yang dapat menghancurkan ekonomi global."
Tuntutan ekonomi
Terkait dengan perekonomian, kantor berita Xinhua juga melaporkan laporan dari situs berita AS Axion pada 3 Juni yang menyatakan bahwa tuntutan kondisi ekonomi saat ini membuat banyak CEO terus berdatangan ke China dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi di AS.
Contohnya, CEO Tesla Elon Musk pekan lalu mengunjungi Beijing dan mengatakan bahwa AS dan China saling terkait seperti halnya kembar siam, sebut laporan itu. Selain itu, CEO JPMorgan Jamie Dimon juga berada di Shanghai setelah melipatgandakan jumlah karyawan bank itu di China selama empat tahun terakhir.
Sementara Tim Cook dari Apple mengatakan di Beijing pada Maret lalu bahwa kehadiran di China sangat berarti bagi dirinya, mengingat hubungan simbiosis yang dimiliki perusahaannya dengan negara tersebut.
"China merupakan pasar terbesar atau terbesar kedua bagi banyak perusahaan multinasional AS, tidak hanya Apple dan Tesla, tetapi juga perusahaan-perusahaan seperti GM, Starbucks, McDonald's, dan Nike. Hal itu juga mencerminkan potensi pertumbuhan yang jauh lebih besar daripada yang dapat ditawarkan AS," ujar laporan tersebut.
Suara dari kalangan pebisnis itu mengungkap bahwa sangat penting untuk menjaga stabilitas di antara kedua negara perekonomian terbesar di dunia tersebut.
Tidak hanya dari kedua negara yang menjadi pelaku utama, banyak pihak lainnya di luar AS dan China juga menginginkan meredanya ketegangan di antara keduanya.
Contohnya adalah Menteri Pertahanan RI Prabowo saat menjadi pembicara dalam forum International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue 2023 di Singapura, Sabtu (3/6).
Dalam acara tersebut, Menhan Prabowo menyoroti persaingan global antara Amerika Serikat (AS) dengan China sebagai kekuatan baru dan meyakini pemimpin kedua negara itu bisa bersikap bijak demi menjaga perdamaian dunia.
Dia optimistis bahwa pemimpin kedua kekuatan besar akan menemukan kebijaksanaan melalui pemahaman atas sejarah panjang peradaban mereka.
Tentu saja, suara dari Prabowo sepertinya juga dimiliki oleh banyak tokoh lainnya yang menginginkan perdamaian dan kestabilan internasional.
Untuk itu, sepertinya perlu pula diingat kalimat bijak yang dilontarkan Presiden AS Nixon kepada pemimpin China Mao Zedong pada 1972, yaitu "we can find common ground, despite our differences, to build a world structure in which both can be safe to develop in our own way on our own roads."
("Kita dapat menemukan titik temu, terlepas dari perbedaan kita, untuk membangun struktur dunia di mana keduanya dapat berkembang dengan aman dengan cara kita sendiri, di jalan kita masing-masing.")
Copyright © ANTARA 2023