di tangan sembilan anggota hakim konstitusi yang akan menentukan perjalanan sejarah kepemiluan di Tanah Air.
Semarang (ANTARA) - Perubahan sistem pemilihan umum seyogianya berlaku pada pemilu berikutnya, atau pada Pemilu 2024 tetap menerapkan proporsional terbuka, baru pada Pemilu 2029 dan seterusnya menggunakan sistem pemilu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Apakah tetap menerapkan sistem proporsional (terbuka atau tertutup), sistem pluralitas/mayoritas, atau sistem campuran? Itu semua bergantung pada Mahkamah Konstitusi karena tidak ada institusi lain yang berwenang menafsirkan konstitusi kecuali MK.
Lembaga tinggi negara inilah yang menjaga gawang konstitusi agar norma-norma kepemiluan tetap dalam koridor Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Lebih khusus, di tangan sembilan anggota hakim konstitusi yang akan menentukan perjalanan sejarah kepemiluan di Tanah Air. Merekalah yang akan menolak atau mengabulkan pemohon dalam Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022.
Jika ditolak, pelaksanaan Pemilu 2024 tetap menerapkan proporsional terbuka. Sebaliknya, apabila dikabulkan, terdapat dua kemungkinan: pemberlakuan (proporsional tertutup atau sistem pemilu lainnya) pada Pemilu 2024 atau Pemilu 2029 dan seterusnya.
Sebelumnya, lembaga tinggi negara ini pernah memutuskan terkait dengan aturan kepemiluan melalui putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 23 Desember 2008.
Hakim konstitusi menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Pasal 214 UU No. 10/2008 menyebutkan bahwa penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari partai politik peserta pemilu didasarkan pada perolehan kursi parpol peserta pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan:
a. calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30 persen dari bilangan pembagi pemilihan (BPP);
b. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30 persen dari BPP;
c. dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30 persen dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100 persen dari BPP;
d. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut; dan
e. dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30 persen dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.
Semula pemohon mengajukan uji materi Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU No. 10/2008 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, khususnya Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2).
Uji materi dipertanyakan
Sempat muncul pertanyaan dari sejumlah kalangan kenapa MK tidak langsung menolak permohonan uji materi terkait dengan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), 353 ayat (1) huruf b, 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), dan Pasal 426 ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Mereka yang mengajukan permohonan itu, yaitu Demas Brian Wicaksono (warga Banyuwangi, Jawa Timur); Yuwono Pintadi dan Fahrurrozi, keduanya warga Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu); Ibnu Rachman Jaya (warga Kota Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta); Riyanto (warga Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah); dan Nono Marijono (warga Kota Depok, Provinsi Jawa Barat).
Seperti diketahui bahwa kali pertama amendemen terhadap UUD NRI Tahun 1945 melalui Sidang Umum MPR RI pada tanggal 14—21 Oktober 1999. Amendemen kedua sampai keempat UUD NRI Tahun 1945 melalui Sidang Tahunan MPR RI, yakni amendemen kedua pada tanggal 7—18 Agustus 2000, amendemen ketiga pada tanggal 1—9 November 2001, dan amendemen keempat pada tanggal 1—11 Agustus 2002.
Dengan demikian, sejak putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 23 Desember 2008 hingga sekarang konstitusi bangsa ini tetap sama, atau tidak mengalami perubahan ketika pemohon mengajukan uji materi terkait dengan sistem pemilu pada tanggal 16 November 2022.
Padahal, dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 24C ayat (1) menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD. Nah, kenapa masih diuji lagi?
Mahkamah Konstitusi tentunya punya pertimbangan sendiri terkait dengan pengujian sejumlah pasal dalam UU No. 7/2017 terhadap Pasal 1 ayat (1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22E ayat (3), Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Pasal 1 ayat (1): Negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk republik.
Pasal 18 ayat (3): Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
Pasal 19 ayat (1): Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dipilih melalui pemilihan umum.
Pasal 22E ayat (3): Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah partai politik.
Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Apabila sembilan hakim konstitusi mengubah sistem dari proporsional terbuka menjadi tertutup atau sistem pemilu lainnya, kemudian memberlakukan pada Pemilu 2024, memang masih ada waktu parpol untuk mengajukan kembali bacaleg pada masa pengajuan perbaikan dokumen persyaratan bakal calon, mulai 26 Juni hingga 9 Juli 2023.
Tahapan berikutnya, verifikasi administrasi perbaikan dokumen persyaratan bakal calon, mulai 10 Juli hingga 6 Agustus 2023. Pada saat ini KPU tengah melakukan verifikasi administrasi dokumen persyaratan bakal calon. Verifikasi ini mulai 15 Mei hingga 23 Juni 2023.
Akan tetapi, sistem pemilu yang berlainan akan menghasilkan konversi perolehan suara menjadi kursi legislatif berbeda pula. Belum tentu partai politik yang jumlah suaranya lebih banyak daripada peserta pemilu lainnya jumlah kursinya juga lebih banyak.
Hasil Pemilu 2019, misalnya, partai peraih suara terbanyak kedua, Gerindra, meraih 78 kursi DPR RI, sementara Partai Golkar (yang berada di urutan ketiga perolehan suara) tercatat 85 kursi. Padahal, Partai Gerindra memperoleh sebanyak 17.594.839 suara (12,57 persen), sedangkan Partai Golkar sebanyak 17.229.789 suara (12,31 persen).
Begitu pula PKB meraih 13.570.097 suara (9,69 persen). Setelah dikonversi, jumlah kursi DPR RI partai ini sebanyak 58, sementara Partai NasDem sebanyak 59 kursi DPR RI. Pada Pemilu 2019, NasDem meraih 12.661.792 suara (9,05 persen).
Belum lagi implikasi lain yang tampaknya perlu diperhitungkan dengan cermat oleh sembilan hakim konstitusi. Misalnya, sistem pemilu proporsional tertutup yang akan ditetapkan. Muncul kekhawatiran sejumlah parpol bahwa caleg yang berada di nomor urut bawah tidak akan ikut berkampanye, bahkan mereka bakal mengundurkan diri dari pencalonan. Hal ini berpotensi merugikan partai politik peserta pemilu.
Kader yang loyal, tentunya mereka tetap mengampanyekan program serta visi dan misi partainya meski di nomor urut bawah. Keikutsertaan dalam pemilu ini menunjukkan bahwa mereka mengamalkan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila ke-4, secara riil.
Copyright © ANTARA 2023