Kolombo (ANTARA News) - Sekretaris Jendral Persemakmuran Kamalesh Sharma memulai pembicaraan di Sri Lanka, Minggu, dengan mendorong kemerdekaan pengadilan di negara pulau tersebut, sementara Kanada memperbarui seruan boikot pertemuan puncak kelompok itu di Kolombo akhir tahun ini.
Sharma mengadakan pembicaraan dengan para pemimpin Sri Lanka di Kolombo mengenai aturan hukum dan pemisahan wewenang setelah negara itu membangkang seruan internasional dan memecat ketua mahkamah agung pada Januari, kata blok itu, lapor AFP.
Kunjungan empat hari Sharma ke Sri Lanka dilakukan ketika Kanada mendesak negara-negara lain di Persemakmuran yang beranggotakan 54 negara agar tidak mengikuti Pertemuan Kepala Pemerintah Persemakmuran (CHOGM) pada November yang diadakan di Kolombo.
Kanada melaporkan Sri Lanka ke Persemakmuran atas tuduhan pelanggaran nilai-nilai demokrasi blok itu dengan mengabaikan dua putusan pengadilan dan memecat Ketua Mahkamah Agung Shirani Bandaranayake bulan lalu.
Hakim wanita itu mengeluarkan putusan-putusan yang dianggap tidak menguntungkan bagi pemerintah Presiden Mahinda Rajapakse, yang juga dituduh gagal menyelidiki dugaan kejahatan perang terhadap prajurit-prajurit Sri Lanka yang mengalahkan pemberontak Macan Tamil pada 2009.
"Sharma diperkirakan membahas antara lain pilihan-pilihan untuk memajukan nilai-nilai dan prinsip Persemakmuran, termasuk kemerdekaan pengadilan dan permisahan wewenang," kata Persemakmuran dalam sebuah pernyataan.
Menurut pernyataan itu, Sharma juga membahas persiapan bagi pertemuan puncak November yang akan tetap berlangsung meski Kanada berkeberatan.
Perdana Menteri Kanada Stephen Harper telah memperingatkan, ia mungkin tidak menghadiri pertemuan puncak itu kecuali jika Sri Lanka menangani tuduhan mengenai kekejaman selama tahap akhir perang dengan pemberontak separatis Tamil pada 2009.
Pasukan Sri Lanka meluncurkan ofensif besar-besaran untuk menumpas kelompok pemberontak Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE) pada 2009 yang mengakhiri perang etnik hampir empat dasawarsa di negara tersebut.
Namun, kemenangan pasukan Sri Lanka atas LTTE menyulut tuduhan-tuduhan luas mengenai pelanggaran hak asasi manusia.
Pada September 2011, Amnesti Internasional yang berkantor di London mengutip keterangan saksi mata dan pekerja bantuan yang mengatakan, sedikitnya 10.000 orang sipil tewas dalam tahap final ofensif militer terhadap gerilyawan Macan Tamil pada Mei 2009.
Pada April 2011, laporan panel yang dibentuk Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon mencatat tuduhan-tuduhan kejahatan perang yang dilakukan kedua pihak.
Sri Lanka mengecam laporan komisi PBB itu sebagai "tidak masuk akal" dan mengatakan, laporan itu berat sebelah dan bergantung pada bukti subyektif dari sumber tanpa nama.
Sri Lanka menolak seruan internasional bagi penyelidikan kejahatan perang dan menekankan bahwa tidak ada warga sipil yang menjadi sasaran pasukan pemerintah. Namun, kelompok-kelompok HAM menyatakan, lebih dari 40.000 warga sipil mungkin tewas akibat aksi kedua pihak yang berperang. (M014)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013