Berlin (ANTARA News) - Kalau anda bosan makan roti dan ayam ala masakan cepat saji, di Berlin -- salah satu kota penyelenggara pertandingan Piala Dunia 2006 -- ada beberapa restoran masakan Indonesia yang dapat membunuh kejenuhan tersebut. "Tidak usah takut kehilangan masakan Indonesia, di kota ini ada sejumlah restoran yang menyajikan masakan Indonesia," kata Sekretaris Tiga Kedutaan Besar Indonesia di Berlin Rio Budi Rahmanto, Senin (12/6), sehari menjelang pertandingan antara Brazil dan Kroasia di stadion Olimpiade. Nama restoran yang menyajikan masakan Indonesia itu tidak melulu berbau Indonesia. Ada restoran Tuk-Tuk (diambil dari nama angkot di Thailand), Mabuhai (diambil dari bahasa Tagalog yang berarti selamat datang), restoran Good Friends, dan Good Time. Nama rumah makan bercirikan Indonesia antara lain Aneka Rasa yang berlokasi di jalan Dietzgen Strasse dan Restoran Lombok di jalan Schliemannstrase. Di Restoran Lombok, anda bisa memesan nasi rawon, nasi goreng Lombok, rendang spesial, cah kangkung, bahkan bakso pun ada jika anda menginginkannya. "Selain masakan Indonesia, kami juga menyediakan masakan Thailand dan China," kata Lalu Suhandi, pemilik restoran yang juga dilengkapi dengan kafe dan bar itu. Berawal pada 2003, setelah mengumpulkan uang dari hasil menabung selama menjadi koki di restoran China di Berlin, lelaki kelahiran kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, itu memberanikan diri membuka restoran Indonesia. "Dengan modal sekitar 120 ribu euro, saya bersama istri membuka restoran ini," katanya yang beristrikan wanita Jerman yang dinikahinya 12 tahun lalu. Selain dari segi dana, modal yang membuat dia berani mengembangkan usaha makanan itu adalah karena pada tahun yang sama dia meraih penghargaan Gastro Award untuk kategori masakan Asia. Gastro Award adalah penghargaan yang diberikan oleh perkumpulan restoran dan rumah makan di Berlin. Uang sebesar 120 ribu euro itu digunakannya untuk merombak disain ruangan, membeli mebeler, dan berbagai perlengkapan lainnya yang berkaitan dengan usaha rumah makan, kafe, dan bar. Selain itu juga digunakan untuk menyewa ruangan bawah apartemen, yang setiap bulan dikenakan 2.700 euro. Restoran yang dibuka setiap hari itu, perlahan tapi pasti mampu menarik pelanggan. "Sekarang setiap hari, Senin hingga Kamis, kami mampu menggaet 35 pengunjung. Dan khusus hari Jumat, Sabtu, dan Minggu, pengunjung bisa mencapai 80 orang, sesuai dengan jumlah tempat duduk kami," ucap istri Lulu Suhardi, Anja Scholz, menimpali. Omset restoran yang seringkali menampilkan musik hidup itu sekitar 500 euro per hari dengan biaya produksi rata-rata 300 euro per hari. Sedang pada akhir pekan omset mereka bisa mencapai lebih dari 1.000 euro. `Hanya` perlu mengeluarkan uang sekitar 35 euro, anda sudah bisa makan dengan dua teman anda dengan menu dua nasi goreng lombok, satu nasi rawon, ditambah air mineral, kopi, dan teh. "Tapi khusus selama Piala Dunia ini, jumlah pengunjung pada hari biasa meningkat. Bisa mencapai 50 orang," kata Lalu, pria lulusan SMA 1 Mataram itu. Di restoran ini memang disediakan televisi layar lebar sehingga pengunjung bisa menyaksikan pertandingan kejuaaran dunia bergengsi empat tahunan itu. Mereka tidak perlu takut kehilangan momen bersejarah dalam cabang olahraga tersebut. Lalu dan adiknya siap melayani pesanan tamu, yang diorder melalui pramusajinya yang semua gadis-gadis Jerman. "Saya harus terjun sendiri, jika banyak pesanan. Saya dan adik saya yang memasak makanan agar rasa Indonesianya terasa di lidah orang sini," katanya dan menambahkan bahwa orang Jerman senang masakan pedas. Semua bumbu dan bahan baku masakan dibeli di Berlin, sepertii jahe, kunyit, bawang merah dan bawang putih, merica, cabai, selada, terong, tauge, sayur kangkung, tempe, dan tahu. Bahan baku itu umumnya tersedia di toko Asia. Restoran yang mendapatkan penghargaan sebagai restoran kedua terbaik kategori Asia di Berlin itu (peringkat satu direbut restoran India: Ayuveda) dibuka setiap hari. Kalau lagi musim panas dibuka mulai pukul 13.00 dan tutup pukul 24.00, sedang pada musim dingin dibuka mulai pukul 17.00. "Tapi untuk bar, kami buka hingga pagi. Maklumlah orang sini senang duduk-duduk dan mengobrol hingga pagi sambil minum," katanya yang memiliki satu putri berusia tujuh tahun. Ketika ditanya apakah ada pesaing, lelaki yang pernah membuka restoran bernama Borobudur di Gilitrawang, Nusa Tenggara Barat, sebelum bertemu Anja Scholz, itu mengatakan saat ini saingan mereka adalah restoran Jepang. "Orang-orang Jerman mulai senang masakan Jepang. Tapi itu tidak menjadi soal, selama kami masih bisa menyajikan masakan yang bisa memenuhi selera tamu," katanya. Selain restoran Lombok, di kawasan Prenziauer itu terdapat pula restoran Thailand, China, dan Jepang. Margaretha Lurssen, seorang tamu di restoran itu, mengatakan ia kerap ke restoran Lombok karena dia menyukai masakan Indonesia. Masakan Indonesia, menurut karyawan biro perjalanan di kota Berlin berusia 34 tahun itu, cocok dengan selera orang Jerman yang suka rasa pedas. "Kalau saya lagi malas masak, sepulang dari kantor, saya bersama teman mampir di sini untuk makan nasi goreng atau nasi pakai rendang dengan sayur kangkung," katanya. Untuk nasi goreng dengan air mineral, dia mengeluarkan uang sekitar 10 euro. Kalau makan nasi dengan rendang ditambah segelas air mineral dia dikenakan 12 euro. "Untuk ukuran kami, harga itu tidak mahal," ucapnya tersenyum.(*)

Oleh Oleh Irmanto
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006