Dari enam saja sudah bisa diperkirakan mencapai Rp11 triliun
Jakarta (ANTARA News) - Menteri BUMN Dahlan Iskan mengatakan telah meminta badan usaha milik negara bidang pangan untuk tidak bergantung kepada tender di Kementerian Pertanian terkait praktik kartel pangan yang terus terjadi.
"Instruksi itu jelas saya lakukan tahun lalu. Waktu itu saya sudah mencium adanya praktek-praktek yang tidak sehat di Kementerian Pertanian," kata Dahlan seusai menghadiri peluncuran buku "Surat Dahlan" di Jakarta, Minggu.
Saat tender, Dahlan mengaku melihat gejala-gejala tidak baik sehingga menginstruksikan BUMN pangan untuk tidak lagi bergantung pada proyek Kementan saat itu. Meski demikian, dia menolak berkomentar mengenai tindakan kartel yang rawan terjadi di Kementerian Pertanian.
"Nggak tahu, saya baru satu tahun jadi menteri," katanya.
Sebelumnya Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan potensi kartel pangan nasional mencapai Rp11,3 triliun dari total impor pangan sebesar Rp90 triliun. Nilai tersebut, menurut Wakil Ketua Umum Bidang Pemberdayaan Daerah Tertinggal/Bulog Natsir Mansyur, didapat jika perusahaan mengambil keuntungan minimal, yakni sekitar Rp1.000 per kilogram.
"Kita highlight ada di enam komoditas pangan yang berpotensi punya praktik kartel, yakni daging sapi, ayam, gula, kedelai, jagung dan beras. Dari enam saja sudah bisa diperkirakan mencapai Rp11 triliun," kata Natsir.
Peluang impor yang terbuka luas disinyalir membuat praktik kartel mendapat keuntungan besar. Natsir memperkirakan, keuntungan importir pangan rata-rata mencapai 15 hingga 30 persen dari nilai impor.
Potensi keuntungan praktik kartel pangan yang besar itu, menurut peneliti Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Ina Primiana, mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan.
Pemerintah, katanya, perlu membuat regulasi untuk membatasi jumlah importir produk pangan utama yang hanya terkonsentrasi pada beberapa pengusaha.
"Caranya adalah dengan menggunakan mekanisme tender terbuka atau jika harus ada kuota, perlu dilakukan secara transparan," katanya. Cara itu, menurut dia, sesuai dengan UU nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2013