Jakarta (ANTARA) - Pengamat Pasar Uang Ariston Tjendra menyatakan rupiah masih berpotensi menguat terhadap dolar AS pada Selasa ini karena ekspektasi Bank Sentral AS yang jeda menaikkan suku bunga pada Juni 2023
"Data ekonomi AS yang dirilis semalam menunjukkan pertumbuhan di bawah ekspektasi pasar seperti data aktivitas sektor jasa dan pesanan pabrik. Survei CME Fed Watch Tool menunjukkan kenaikan probabilitas bahwa Bank Sentral AS akan melakukan jeda di Juni ini dari 74,75 persen menjadi 77,1 persen," ujar dia ketika ditanya Antara, Jakarta, Selasa.
Secara berkala, CME disebut mengadakan survei ke pelaku pasar mengenai probabilitas penetapan suku bunga acuan AS pada rapat moneter yang akan berlangsung. Saat ini, suku bunga tetap memiliki probabilitas lebih besar dibandingkan probabilitas kenaikan 25 bp.
Baca juga: BI optimistis nilai tukar rupiah menguat Rp14.600-Rp15.100 pada 2024
Selain karena faktor di atas, persetujuan terkait penyelesaian batas utang AS mendorong pelaku pasar berani masuk ke aset berisiko.
"Dari dalam negeri, penurunan kenaikan inflasi yang membuat inflasi Indonesia masih di dalam target juga meningkatkan keyakinan pelaku pasar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dan ini mendukung rupiah," ungkap Aris.
Di sisi lain, pasar perlu mewaspadai sentimen pasar pagi ini yang tidak terlalu bullish untuk aset berisiko. Indeks saham Asia bergerak beragam dan nilai tukar regional bergerak sedikit melemah terhadap dolar AS.
"Potensi penguatan ke arah Rp14.850 (per dolar AS), dengan potensi pelemahan ke arah Rp14.950 (per dolar AS)", ucapnya.
Baca juga: Analis ungkap amunisi rupiah untuk hadapi dolar AS
Pada Selasa pagi, nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank menguat 0,47 persen atau 70 poin menjadi Rp14.820 per dolar AS dari sebelumnya Rp14.890 per dolar AS.
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2023