Mataram (ANTARA News) - Dewa Sutama (43), guru Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), divonis lima tahun penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Kamis, karena terbukti mencabuli tujuh muridnya yang berusia 11-12 tahun.

Sidang putusan kasus pencabulan itu dipimpin Hj Hera Kartiningsih SH MH sebagai Ketua Majelis Hakim, dibantu dua orang hakim anggota masing-masing Erry Iriawan SH, dan Nurul Hidayat SH MH.

Sidang dengan agenda pembacaan putusan majelis hakim itu hanya dihadiri seorang Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni I A K Yustika Dewi SH. Sementara terdakwa didampingi dua orang penasihat hukum.

Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan, Dewa Sutama terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembuatan cabul terhadap sejumlah murid yang berusia 11-12 tahun, yang dilakukan pada September 2011 dan 2012.

Sutama terbukti melanggar pasar 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA), junto pasal 65 ayat 1 KUHP tentang perbuatan cabul.

Pasal 82 itu menyatakan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Dalam UUPA, batas usia dewasa adalah 18 tahun.

Dalam pasal itu, pelakunya dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat tiga tahun dan denda paling banyak Rp300 ratus juta dan paling sedikit Rp60 juta.

Namun, dengan berbagai pertimbangan majelis hakim menjatuhi vonis lima tahun penjara, dan denda sebesar Rp60 juta, subsidier empat bulan kurungan. Majelis hakim juga memerintahkan terpidana ditahan.

Putusan majelis hakim itu, lebih tinggi dari tuntutan JPU pada sidang sebelumnya, yakni empat tahun penjara.

Disebutkan dalam vonis itu, hal-hal yang memberatkan yakni yang bersangkutan tidak mengakui perbuatannya, dan merupakan guru atau tenaga pendidik, yang melanggar norma susila dan norma agama, selain aturan hukum yang berlaku.

Hal-hal yang meringankan, hanya yang bersangkutan belum pernah dihukum atas suatu tindak pidana.

"Saudara sudah mendengar putusannya, silahkan mengajukan banding jika keberatan, atau hendak pikir-pikir dalam tujuh hari ke depan," ujar Ketua Majelis Hakim Hera Kartingsih sebelum mengetuk palu tanda sidang berakhir.

Terpidana tidak langsung menanggapi putusan hukum itu, namun ketika ia mendekati posisi duduk tim penasehat hukum usai persidangan itu, ia disarankan salah satu penasehat hukumnya untuk mengajukan banding.

Suasana menjadi tegang ketika sidang berakhir, karena sejumlah pengunjung sidang terutama kaum wanita berteriak histeris mengutuk pelaku pencabulan itu.

Aparat kepolisian bergerak cepat membentuk pagar betis melindungi terpidana dan tim penasehat hukumnya, dari kemungkinan amukan massa.

Saat berjalan keluar dari ruang sidang, sejumlah warga hendak menyerang terpidana kasus pencabulan itu, namun dihalau aparat kepolisian.

Terpidana kemudian dibawa dengan kendaraan tahanan menuju Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Mataram, dan pengunjung sidang membubarkan diri.

Sejak kasus itu bergulir di pengadilan terdakwa tidak ditahan, atau diberlakukan tahanan kota, dengan dalih yang bersangkutan masih dibutuhkan tenaganya untuk mengajar anak didik di salah satu Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) jenjang SD di Kota Mataram itu.

Kasus pencabulan itu terjadi di lingkup sekolah dan sudah berlangsung lama, namun orangtua dan sanak keluarga korban baru mengadukan hal itu ke Polsek Mataram hingga dilimpahkan ke Polres Mataram, pada 11 September 2012.

Jumlah korban dilaporkan mencapai belasan orang, namun baru enam orang korban yang dilaporkan orangtua atau sanak keluarganya ke polisi, hingga masalah tersebut disidangkan di pengadilan.

(*)

Pewarta: Oleh Anwar Maga
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013