Jakarta (ANTARA News) - Di sebuah ruangan kelas komputer berukuran 6x6 meter, Ghani Rehman (27) duduk menghadap layar komputer. Sorot matanya tajam menatap kertas kerja di hadapannya.
Enam orang lainnya duduk berderet di sebelah Ghani. Mereka berseragam atasan putih sedengkul, bercelana panjang warna gelap, mengenakan topi khas Pakistan berbentuk bulat terbuat dari bahan wol.
Suasana hening di ruang itu berubah ramai ketika rombongan wartawan Indonesia yang mengunjungi Pakistan, didampingi beberapa aparat militer, menghampiri mereka.
Ghani tersenyum menyambut tamunya itu. Berbahasa Inggris terbata-bata, dia menjelaskan gambar pada komputernya. Ia menggambar pegunungan Swat, bendera Pakistan, dan tulisan berbahasa Urdu tentang seruan damai.
"Sedang belajar tentang komputer," ujarnya seraya tersenyum.
Ketika pasukan Taliban menguasai Distrik Swat pada 2007-2009, Ghani adalah satu diantara ribuan warga desa yang pernah direkrut Taliban.
Mereka dipaksa bergabung dengan kelompok radikal dan menentang pemerintah.
Kini, setelah Taliban dipukul mundur dari Distrik Swat oleh militer Pakistan, ia diikutsertakan dalam program pendidikan Mishal De-radicalisation Centre, di Swat.
Di situ mereka dididik nasionalisme, bela negara dan keterampilan agar kelak bisa kembali kepada keluarga dan masyarakat sebagai warga negara yang baik.
"Tujuannya adalah mengubah pola pikir radikal dan membawa perubahan pada perilaku mereka dalam menghadapi kehidupan yang lebih modern dan menyampaikan ajaran-ajaran yang benar tentang agama Islam," ujar Kolonel Junaid, penanggungjawab Mishal De-radicalization Program.
Peserta program juga mendapat pendidikan keterampilan sesuai minat mereka. Kursus komputer, otomotif, reparasi alat rumah tangga, peternakan lebah, pertukangan dan menjahit diajarkan di sini.
"Pengajarnya adalah guru dan dosen dari berbagai sekolah dan universitas di Pakistan. Mereka kami undang ke sini untuk berbagi ilmu dan memberi motivasi kepada para peserta program," katanya.
Kembali ke masyarakat
Semangat nasionalisme selalu ditanamkan di pusat rehabilitasi yang terletak di desa Gilibagh ini. Poster dan selebaran berisi dorongan semangat dan menumbuhkan kepercayaan diri, dipasang di hampir setiap koridor ruangan.
Junaid mengungkapkan program deradikalisasi ini berlangsung sejak Agustus 2010, yang sampai Januari 2013 telah menghasilkan sembilan angkatan dan meluluskan 1.066 orang. Kini mereka telah kembali ke masyarakat dan menerapkan pendidikan keterampilan yang diperolehnya.
"Ada juga beberapa orang yang kami rekrut untuk bekerja di sini. Mereka diberi kepercayaan untuk membantu mengajar peserta baru," ujar Junaid.
Ia menjelaskan, pada periode Januari-April 2013, ada 63 peserta mengikuti program ini. Sebanyak 28 peserta adalah petani, 24 buruh, dan sisanya pelajar, penjahit, tukang pipa dan montir listrik.
"Dari 63 peserta, 32 orang buta huruf sementara sisanya pernah bersekolah," katanya.
Junaid menuturkan, sebelum masuk program ini, mereka wajib diwawancarai psikolog tentang keterlibatan mereka, mengapa mereka bergabung, bagaimana latar belakang keluarganya, apa yang mereka rasakan sekarang, dan apa harapannya.
Salah seorang psikolog, Muhammad Chamkai, mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting untuk mengetahui bagaimana kondisi psikologis mereka.
"Ada tiga tahap wawancara. Pertama, tentang alasan bergabung dengan kelompok militan. Wawancara kedua dilakukan di tengah program berjalan terkait masalah psikologis yang mereka hadapi, dan wawancara terakhir setelah mengikuti keseluruhan program adalah tentang kesiapan mereka untuk kembali ke masyarakat dan keluarga," kata Chamkai.
Apabila dari wawancara itu mereka belum percaya diri dan belum merasa mampu kembali ke lingkungannya, maka mereka masih dapat tinggal dua bulan lagi.
Junaid mengungkapkan setelah program berakhir, para lulusan ini akan dimonitor kembali mengenai bagaimana kondisi mereka setelah terjun di masyarakat.
"Harapannya setelah mengikuti program ini, mereka bisa kembali ke masyarakat dengan percaya diri dan memulai kehidupan baru bersama keluarga yang lebih baik, serta tidak kembali mengikuti ajaran radikal atau bergabung dengan kelompok militan," demikian Junaid.
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013