Jakarta (ANTARA News) - Komisi Yudisial (KY) khawatir pergantian tiga hakim adhoc pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam susunan majelis hakim yang menangani perkara suap di Mahkamah Agung (MA) menimbulkan kesan sebagai keinginan MA. "Yang dikhawatirkan, penetapan Ketua PN Jakarta Pusat itu menimbulkan kesan atau opini bahwa itu merupakan keinginan dari pimpinan MA," kata Ketua KY, Busyro Muqoddas di Gedung KY, Jakarta, Senin. Ia menambahkan dengan pergantian tiga hakim adhoc tipikor, Achmad Linoh, Dudu Duswara dan I Made Hendra Kusuma melalui penetapan Ketua PN Jakarta Pusat, Cicut Soetiarso, maka sulit ditampik adanya opini publik bahwa MA mengintervensi jalannya persidangan perkara suap tersebut. Busyro menilai penggantian tiga hakim adhoc tersebut sebagai sanksi, karena dua hakim karir, yaitu ketua majelis hakim Kresna Menon dan Sutiyono, tidak diganti. "Yang diganti hanya tiga hakim adhoc, maka tiga hakim ini yang dinilai bersalah. Penetapan ini tidak mengenai dua hakim karir. Kami melihat ini sebagai sanksi bagi tiga hakim adhoc itu," tuturnya. Ia juga menilai penetapan tersebut bersifat diskriminatif karena tidak mengenai dua hakim karir. "Itu bersifat diskriminatif. Kalau mau diganti, mengapa tidak diganti semua atau yang diganti hakim yang tidak patuhi hukum positif," ujar Busyro. Ketua PN Jakarta Pusat, Cicut Soetiarso, mengeluarkan penetapan penggantian majelis hakim yang menangani perkara Harini dan Pono Waluyo pada 12 Juni 2006. Kresna Menon dan Sutiyono tidak diganti, sedangkan tiga hakim adhoc tikpikor diganti oleh hakim adhoc yang baru dilantik Presiden pada 9 Juni 2006, yaitu Slamet Subagio, Ugo dan Sofialdi. Busyro mengatakan semua anggota KY terperanjat setelah mendengar penetapan tersebut. Ia menilai penetapan itu sebagai pukulan terhadap UU KY dan rekomendasi KY yang diberikan terhadap lima hakim perkara Harini. KY telah merekomendasikan Kresna Menon dihentikan selama satu tahun, Sutiyono mendapat teguran tertulis, sedangkan tiga hakim adhoc tidak dikenakan sanksi. KY menilai Kresna Menon bersalah tidak menerapkan hukum positif karena tidak mematuhi hukum acara, dan justru berpegang pada SEMA No 2 Tahun 1985 tentang seleksi saksi yang akan dihadirkan dalam persidangan. Menurut Busyro, penetapan Ketua PN Jakarta Pusat tersebut telah menggeser substansi masalah tanpa melihat sebab terjadinya kebuntuan persidangan di tipikor. "Awal posisi masalah terletak pada penolakan ketua majelis untuk bermusyawarah menyikapi permohonan jaksa untuk menghadirkan Bagir sebagai saksi. Jangan digeser permasalahannya kepada tiga hakim adhoc tipikor," ujarnya. Ia menambahkan penetapan itu dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpercayaan publik bahwa pengadilan tipikor jauh dari harapan untuk menyelesaikan perkara-perkara dugaan korupsi.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006