Jakarta (ANTARA News) - Limbah bijih besi untuk bahan baku baja (slag) tetap dinyatakan sebagai bahan beracun dan berbahaya (B3) sesuai dengan Undang-Undang mengenai Lingkungan Hidup yang berlaku di Indonesia. Hal itu dinyatakan Dirjen Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka(ILMTA) Deperin Anshari Bukhari di Jakarta, Senin, menanggapi soal slag yang digugat kalangan industri besi baja karena dinyatakan B3. Diakuinya bahwa di dunia internasional, melalui Konvensi Bassel, slag tidak dianggap sebagai B3, namun undang-undang mengenai lingkungan hidup di Indonesia menyatakan slag sebagai B3. "Dalam ketentuan Konvensi Bassel, kalau suatu negara sudah menyebutkan itu (slag) B3 maka itu (slag) bisa B3," katanya. Oleh karena itu, di Indonesia slag tetap dianggap B3. Ia juga menegaskan pemerintah tidak akan mengubah UU Lingkungan Hidup tersebut. "Slag itu bukan sesuatu yang tidak bisa ditangani. Pencemarannya tidak besar. Intinya bagaimana slag di-`reuse` (bisa dipakai kembali) dan `recycle` (daur ulang), bukan dicabut undang-undangnya," ujar Anshari Untuk itu, kata dia, Deperin akan memfasilitasi agar limbah besi baja itu bisa diangkut dan dimanfaatkan oleh industri lain yang membutuhkan sebagai bahan baku, yaitu industri semen. "Kita sedang mendorong keduanya (industri besi baja dan industri semen) saling bekerjasama," katanya. Hal itu penting untuk mengurangi dampak negatif pencemaran limbah B3. Slag baja merupakan limbah dari hasil peleburan baja yang bila digiling (grinding) dapat menjadi bahan baku industri semen. Kantor Kementerian lingkungan Hidup sendiri telah membuat peraturan mengenai ijin penyimpanan, pengangkutan, dan pemanfaatan limbah yang dikategorikan B3.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006