Jakarta (ANTARA) - Pembangunan Puskesmas Glodok, beberapa waktu terakhir santer dibicarakan publik, karena adanya penolakan sebagian warga, di balik adanya sejumlah dukungan terkait rencana pembangunan sarana kesehatan tersebut.
Di satu sisi, pemerintah dengan segala perhitungan anggaran, regulasi, dan kebutuhan masyarakat kemudian merencanakan pembangunan Puskesmas tersebut, di sisi lain masyarakat berupaya mendefinisikan kebutuhannya sendiri.
Lahan yang menjadi target pembangunan puskesmas adalah fasilitas olahraga bagi masyarakat Glodok. Mereka menyatakan lebih membutuhkan fasilitas olahraga dari pada puskesmas jika dibangun di lahan tersebut.
Pada saat yang sama, ada juga kelompok masyarakat yang setuju dengan pembanguan puskesmas tersebut, sehingga ada kepentingan berbeda secara horizontal yang timbul di masyarakat, selain masalah vertikal antara masyarakat dengan pemerintah.
Pada ranah publik yang lebih luas, muncul pertanyaan-pertanyaan seperti, mengapa saat daerah lain ingin ada puskesmas di daerahnya, warga Glodok malah menolak? Jika memang mereka tidak membutuhkan puskesmas, mengapa tidak dibangun di daerah lain saja yang lebih membutuhkan fasilitas puskesmas tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang muncul secara spontan tanpa menggunakan kacamata kebutuhan masyarakat urban dan juga regulasi yang digunakan pemerintah. Apa yang sebenarnya terjadi di tengah kontradiksi tersebut?
Dalam perencanaan sebelumnya, puskesmas tersebut akan dibangun pada fasilitas olahraga masyarakat di Jalan Gadjah Mada Nomor 189, RT 02, RW 01 Kelurahan Glodok, Jakarta Barat.
Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta mengupayakan warga Glodok, Tamansari, Jakarta Barat, bisa lebih dekat berobat ke fasilitas kesehatan (faskes) tingkat 1 atau puskesmas kelurahan yang sedang diupayakan tersedia di kawasan tersebut.
Dari hasil kajian yang dibahas dalam rapat kerja bersama Komisi E DPRD Provinsi DKI Jakarta di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (29/3), terungkap umumnya warga Glodok berobat ke Puskesmas Kecamatan Tamansari dan Puskesmas Tambora, lantaran belum ada puskesmas di kelurahan itu. Untuk mencapai dua puskesmas tersebut, warga harus mengeluarkan biaya transportasi hingga Rp30 ribu untuk satu kali jalan ke puskesmas yang ada.
Senada dengan pernyataan tersebut, Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat, jumlah penduduk Kecamatan Taman Sari lebih dari 129 ribu dan luasnya 4,36 km persegi. Tiga kelurahan, yakni Kelurahan Pinangsia, Glodok, dan Tangki, itu berdekatan dan tidak memiliki puskesmas kelurahan.
Didirikannya puskesmas di Kelurahan Glodok, salah satu pertimbangannya untuk memfasilitasi kebutuhan masyarakat di wilayah tersebut terkait layanan kesehatan.
Karena itu, Pemerintah menilai wilayah tersebut membutuhkan puskesmas dan keberadaan fasilitas itu sangat penting bagi masyarakat, namun sebagian warga justru ada yang menolak.
Penolakan pembangunan puskesmas oleh warga Glodok beralasan jika di fasilitas olahraga mereka dibangun fasilitas kesehatan atau puskesmas, mereka mempertanyakan dimana kelak warga akan berlahraga. Warga RT 02, RW 01 Kelurahan Glodok, biasa berolahraga taichi (bela diri), senam, dan lainnya di lokasi tersebut. Mereka yang menolak tidak setujua jika fasilitas olahraga yang selama ini digunakan kemudian ditiadakan.
Ketua RT 02, RW 01 Kelurahan Glodok Boek menyatakan bahwa masalah itu tergantung pada kemauan warga. Setidaknya, untuk saat ini warga masih lebih membutuhkan fasilitas olahraga ketimbang fasilitas kesehatan atau puskesmas.
Bahkan, Hendrik, seorang warga di RT 02, RW 01, menyatakan setuju dengan pembangunan puskesmas, tetapi tidak dibangun di lahan yang mereka gunakan sebagai tempat olahraga.
Saling menguntungkan
Merespons rencana pembangunan Puskesmas dan penolakan dari masyarakat Glodok, Wali Kota Jakarta Barat, Uus Kuswanto menawarkan solusi yang bisa menjadi solusi saling menguntungkan, yakni bisa mengakomodasi pembangunan puskesmas, sekaligus tetap memenuhi kebutuhan warga Glodok akan lahan olahraga.
Puskesmas itu merupakan kebutuhan masyarakat akan fasilitas kesehatan, begitu juga dengan olahraga. Jadi untuk perencanaan pembangunan bisa saja disesuaikan dengan keinginan masyarakat, dengan menyuguhkan kemungkinan ada puskesmas dan ada juga fasilitas olahraga.
Uus mengatakan, rencana pembangunan puskesmas di lokasi tersebut tetap akan berjalan sebab merupakan layanan kesehatan yang seharusnya menjadi prioritas bagi pemerintah untuk hadir memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dikatakannya, rencana pembangunan sudah ada pada proses di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta dan anggarannya sudah ada.
Jadi pihaknya menawarkan solusi yang bisa mengakomodasi pembangunan puskesmas dan juga kebutuhan masyarakat akan lahan olahraga.
Dalil pernyataan Uus tersebut juga jelas. Sebagian masyarakat Glodok juga ada yang mendukung pembangunan Puskesmas tersebut. Makanya ia menawarkan solusi yang masih dalam tahap "perencanaan" tersebut.
Solusi dari ahli
Ahli planologi dari Universitas Trisakti Nirwono Yoga memberi alternatif sintesis lain terkait rencana pembangunan puskesmas dan juga kebutuhan masyarakat akan fasilitas olahraga. Ia menggarisbawahi beberapa poin dalam kontradiksi tersebut.
Pemerintah DKI Jakarta atau Pemerintah Kota Jakarta Barat dapat mengevaluasi/mengaudit kebutuhan puskesmas di Jakarta Barat. Jika sudah mencukupi fasilitas kesehatannya dan ada masalah keterbatasan lahan, maka sebaiknya pembangunan puskesmas di fasilitas olahraga masyarakat Glodok tidak dilanjutkan.
Sebagai konsekuensi dari keputusan untuk membatalkan pembangunan puskesmas pada fasilitas olahraga masyarakat tersebut, puskesmas dapat dibangun menyatu/bersebelahan dengan kantor kelurahan/kecamatan. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan mengoptimalkan fasilitas kesehatan yang sudah ada/tersedia di sekitar kawasan Glodok, yakni Puskesmas Taman Sari atau Puskesmas Tambora.
Pemerintah Kota Jakarta Barat justru berkewajiban untuk merevitalisasi lapangan yang ada menjadi ruang terbuka hijau (RTH) multifungsi untuk kegiatan warga agar tetap sehat. Hal itu justru merupakan pilihan yang jauh lebih baik.
Menurut Nirwono, Kawasan Glodok itu membutuhkan lebih banyak RTH untuk menampung kegiatan olahraga fisik dan mental masyarakat, seperti rekreasi, karena di daerah itu sudah sangat padat bangunan. Ia percaya bahwa membangun warga yang sehat itu jauh lebih efektif dan bermanfaat.
Selain itu, ia berpendapat membangun fasilitas kesehatan berdampingan dengan fasilitas olahraga itu kurang efektif. Olahraga masyarakat menjadi tidak maksimal karena bertabrakan dengan kebutuhan atmosfer puskesmas yang khusus dan mobilitas puskesmas yang terganggu akibat aktivitas olahraga masyarakat.
Disarankan agar tidak dilakukan pembangunan fasilitas olahraga dan puskesmas yang berdampingan, karena akan mengurangi efektivitas fungsi dari kedua fasilitas tersebut. Sebaliknya, ia menyuarakan agar mengaplikasikan RTH multifungsi pada lahan olahraga masyarakat tersebut.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023