Jakarta (ANTARA) -
Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono mengungkapkan bahwa sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional terbuka masih layak digunakan dalam Pemilu 2024.

"Sistem proporsional terbuka masih merupakan sistem yang baik untuk digunakan pada Pemilu 2024," ujar Arfianto dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu.

Hal ini menyusul pernyataan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Denny Indrayana mengeklaim bahwa memperoleh informasi mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal sistem pemilu legislatif yang akan kembali ke sistem proporsional tertutup.

Meski begitu, Arfianto mengatakan bahwa pelaksanaan sistem ini masih memerlukan perbaikan partai politik dalam menjalankan peran dan fungsinya.

Menurut dia, perbaikan yang penting dilakukan yaitu pertama, terkait rekrutmen politik. Pasalnya, saat ini perekrutan politik menjadi tersentralisasi di tangan elite partai di tingkat pusat.

“Para elite di sekitar orang-orang kuat biasanya menjadi pintu masuk kandidat untuk mencari rekomendasi partai," katanya.

Kemudian, hal lain yang sangat penting untuk dilakukan dalam rekrutmen yaitu partai politik menghindari rekrutmen instan dengan memunculkan calon “karbitan” yang hanya disiapkan jelang pemilu.

Untuk itu, sambung Arfianto, partai politik ke depannya harus membangun sistem yang transparan dan berbasis prestasi. Lalu, proses pencalonan yang akuntabel harus menjadi dasar utama partai dalam melakukan rekrutmen politik.

Selain terkait dengan partai politik, dia juga menyoroti praktik politik uang di masyarakat yang terjadi dalam sistem proporsional terbuka ini. Penyelenggara pemilu juga perlu memperkuat sisi pencegahan, pengawasan dan penindakan praktik politik uang.

“Hal ini sangat penting untuk menekan praktik politik uang pada pemilu 2024 nanti. Sehingga menjadikan demokrasi kita menjadi lebih berkualitas,” tutup dia.

Sebelumnya, Denny Indrayana membantah isu bocornya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada perkara Nomor: 114/PUU-XX/2022 terkait gugatan terhadap sistem proporsional terbuka pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

​​​​​​​"Tidak ada putusan yang bocor karena kita semua tahu memang belum ada putusannya," kata Denny dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (30/5).

Denny menjelaskan bahwa dirinya memilih frasa "mendapatkan informasi" dan bukan "mendapatkan bocoran". Selain itu, dia mengklaim bahwa dirinya menulis "MK akan memutuskan".

"Masih 'akan', belum diputuskan," tambahnya.

Denny menegaskan bahwa tidak ada pembocoran rahasia negara dalam pesan yang dia sampaikan kepada publik.

Dia menegaskan bahwa rahasia putusan MK tentu ada di lembaga tersebut, sementara informasi yang ia peroleh bukan dari lingkungan MK, bukan dari hakim konstitusi maupun elemen lain di MK.

Dalam penjelasannya, Denny sempat menyinggung cuitan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD yang menggunakan frasa "info A1".

Denny meluruskan bahwa ia tidak menggunakan istilah "informasi dari A1" karena frasa tersebut mengandung makna informasi rahasia yang sering dari intelijen.

Melalui penjelasannya itu, Denny menyampaikan harapan agar putusan MK tidak mengembalikan sistem pemilu proporsional menjadi tertutup. Menurut dia, pilihan sistem pemilu legislatif bukan wewenang proses persidangan di MK, melainkan ranah proses legislasi di parlemen.

Baca juga: KPU sebut putusan MK soal sistem pemilu tak ganggu tahapan Pemilu 2024

Baca juga: Pengamat nilai proporsional tertutup berdampak negatif bagi masyarakat

Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2023