Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur Ridho Syaiful Ashadi mengatakan kasus kerusakan lingkungan hidup sebagai dampak industri pertambangan seperti semburan lumpur yang naik ke permukaan tanah di Sidoarjo, bukanlah yang pertama kali terjadi di Jawa Timur. Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Syaiful Ashadi saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Senin (12/6), terkait kasus semburan gas disertai lumpur panas yang terjadi di sekitar kawasan lokasi pengeboran gas PT Lapindo Brantas di Banjar Panji (BJP) 1 di Desa Siring, Porong, Sidoarjo. "Untuk lumpur panasnya memang baru kali ini, tetapi untuk hidrosulfidanya sudah pernah ada di Desa Rahayu Kecamatan Suko, Tuban pada 2001 ada 26 petani sekarat akibat kebocoran hidrosulfida dari sebuah pertambangan di sana," katanya. Menurut dia, sejumlah warga di sekitar lokasi semburan lumpur Sidoarjo juga masuk ke rumah sakit karena menghirup hidrosulfida. Beberapa tahun sebelumnya, kata dia, sempat terjadi sejumlah kasus, seperti luberan minyak di sekitar lokasi pengeboran migas Ujung Pangkah, Gresik pada sekitar tahun 2002. Menurut Syaiful Ashadi, pengalaman itu hendaknya memberikan pelajaran bagi pemerintah untuk memberikan ruang kepada masyrakat untuk memberikan akses dan kontrol atas industri. Informasi yang diperoleh ANTARA dari warga Kelurahan Siring, Desa Renokenongo, dan Desa Jatirejo (kecamatan Porong), Minggu (11/6), menyebutkan bahwa ketinggian semburan lumpur dari dalam permukaan dasar lahan sawah itu membuat warga cemas dan sebagian merasa sesak napas. ANTARA mencatat setiap hari lumpur panas yang menyembur itu setiap harinya mencapai rata-rata 5.000 meterkubik. Jadi, sejak peristiwa 29 Mei lalu hingga 10 Juni ada 65.000 meterkubik lumpur yang tumpah ruah. Bahkan, kejadian itu membuat jalan tol Gempol-Sidoarjo dan arah sebaliknya ditutup pada 10 Juni lalu, sehingga arus lalu lintas dialihkan lewat pasar Porong dan Japanan yang menimbulkan kemacetan sekitar 3-4 kilometer. Sementara itu siaran pers yang diterima ANTARA, Minggu (11/6) dari Divisi Humas Lapindo Brantas Inc menyebutkan bahwa pada 29 Mei 2006 telah terjadi semburan lumpur alami ke permukaan dengan radius sekitar 150-200 kilometer di luar lubang sumur eksplorasi Lapindo Brantas. Peristiwa itu diduga karena semburan liar di bawah tanah yang keluar melalui patahan-patahan di sekitar lokasi pengeboran. Sumur Lapindo, menurut keterangan pers tersebut berada dalam keadaan aman, tidak ada semburan dari lubang sumur itu, keluarnya lumpur alami dan air di luar area Lapindo masih diselidi penyebabnya. Sesaat setelah kejadian, dibentuk tim terpadu yang melibatkan Lapindo Brantas, BP Migas dan seluruh unsur/instansi terkait Pemda Sidoarjo, aparat keamanan dan ESDM Propinsi Jawa Timur untuk melakukan tindakan pengamanan dan memberikan bantuan yang dibutuhkan, antara lain melakukan persiapan evakuasi ke lokasi, mendirikan posko di tig atempat yaitu Desa Siring, Renokenongo dan Jatirejo, mendirikan dapur umum, dan mendatangkan tim medis. Di samping tindakan penanggunalangan yang telah dilaksanakan dengan membuat tanggul-tanggul di sekeliling luapan juga sedang dilakukan pengolahan luapan di permukaan (water management0 dengan membuat sistem tampungan-tampungan pengendapan. Sedangkan untuk penanggulangan di bawah permukaan, Lapindo merencanakan membuat sumur bor untuk mengatasi sumber keluarnya lumpur alami atau air. Hasil uji laboratorium yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Propinsi Jawa Timur menunjukkan lumpur alami tidak mengandung logam berat. Hal tersebut menguatkan hasil uji laboratorium yang dilakukan oleh laboratorium Bogor bahwa lumpur tidak membahayakan kesehatan.(*)
Copyright © ANTARA 2006