Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengingatkan pemerintah untuk konsisten memastikan kecukupan gizi tiap warga, terutama anak-anak dan balita demi mencegah gangguan pertumbuhan pada anak akibat kekurangan nutrisi (stunting).
Dia menyampaikan jika anak-anak generasi penerus banyak yang mengalami stunting, maka akan menghambat upaya pemerintah meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang berdaya saing.
“Pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara kecukupan gizi dan nutrisi seimbang bagi para remaja harus menjadi perhatian serius dan membutuhkan konsistensi para pemangku kepentingan di negeri ini dalam pelaksanaannya,” kata Lestari dalam siaran tertulisnya di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada November 2022 mengumumkan temuannya sekitar 40 persen warga di provinsi ini menderita anemia (kekurangan sel darah merah), dan mayoritas dari mereka adalah remaja perempuan.
Baca juga: Menkes: Timbang balita sebulan sekali, guna deteksi dini stunting
Jika kondisi itu berlanjut, kata Lestari, maka para remaja putri itu saat mereka dewasa, menikah, dan mengandung berisiko melahirkan anak-anak yang menderita kekurangan gizi dan stunting.
Meskipun kekurangan gizi bukan satu-satunya penyebab anemia, papar dia, tetapi penyakit itu dapat muncul karena tubuh kekurangan zat besi, vitamin B12, dan asam folat. Vitamin dan mineral itu dapat diperoleh dari makanan yang penuh gizi, seperti sayuran-sayuran berwarna hijau, daging merah, kacang-kacangan, dan boga laut (seafood).
Baca juga: Menkes paparkan penerima program PMT untuk atasi stunting
Menurut Lestari, daerah-daerah yang kaya sumber pangan seperti Jawa Barat seharusnya tidak memiliki masalah kekurangan gizi. Oleh karena itu, dia menilai pemenuhan gizi terkait dengan pemahaman masyarakat terkait pentingnya mengonsumsi makanan bernutrisi.
“Gerakan untuk membangun pemahaman masyarakat terkait pentingnya pemenuhan kebutuhan gizi seimbang harus segera diwujudkan agar upaya intervensi kecukupan gizi balita, remaja hingga ibu hamil dapat direalisasikan sesuai target,” kata Lestari.
Dia menambahkan tanpa ada pemahaman yang cukup, maka pertumbuhan anak-anak yang seimbang sulit terwujud.
Padahal, ujar dia, perbaikan gizi balita, remaja, dan ibu hamil tidak dapat terjadi instan karena membutuhkan waktu, konsistensi pemerintah, serta para pemangku kepentingan.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik pada 2021 menunjukkan konsumsi rokok menjadi pengeluaran kedua tertinggi masyarakat miskin di perkotaan dan perdesaan setelah konsumsi beras. Dari total pengeluaran, konsumsi rokok mencapai 11,9 persen di perkotaan dan 11,24 persen di perdesaan. Angka itu hanya lebih rendah dari konsumsi beras dan lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran untuk protein seperti daging, telur, tempe, serta ikan.
Padahal, katanya, Studi Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia menyimpulkan 1 persen peningkatan pengeluaran untuk rokok dapat meningkatkan kemungkinan rumah tangga menjadi miskin sebesar 6 persen.
Menurut Lestari, kondisi itu terjadi karena pemahaman masyarakat mengenai pentingnya mencukupi kebutuhan gizi masih kurang memadai.
Oleh karena itu, ia berharap ada perhatian serius dari pemerintah pusat dan daerah untuk menangani masalah kekurangan gizi secara konsisten dan menyeluruh.
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2023