Jika dibangun, diprediksi menghasilkan emisi sekitar 78 miliar ton CO2 ke atmosfer selama siklus hidupnya

Jakarta (ANTARA) - Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebutkan pembatalan proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara menjadi cara hemat untuk memangkas emisi global.

IESR, lembaga think tank di bidang energi dan lingkungan yang berbasis di Jakarta, Indonesia, didukung oleh the Rockefeller Foundation merilis analisis pertama kalinya di Indonesia mengenai pengurangan pembangunan PLTU batu bara.

"Kami mengembangkan pendekatan yang baru untuk melakukan analisis ini. Kami melihat satu demi satu dari setiap PLTU batu bara yang direncanakan di Indonesia," kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa saat peluncuran laporan Delivering Power Sector Transition in Indonesia dikutip dari keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa.

Berdasarkan sistem penilaian multi-kriteria, pihaknya mengidentifikasi pembangkit listrik yang dapat dibatalkan dan kemudian menilai implikasi hukum, keuangan, ketahanan sistem, keamanan energi dan emisi karbon dari intervensi itu.

"Tim kami menggunakan citra satelit untuk melacak perkembangan pembangunan pembangkit listrik dari waktu ke waktu," lanjutnya.

Laporan itu menemukan bahwa sembilan PLTU batu bara di Indonesia dapat dibatalkan dengan dampak yang minimal terhadap stabilitas dan keterjangkauan pasokan dan jaringan listrik serta dapat menghindari sekitar 295 juta ton emisi CO2.

Baca juga: IESR sambut terbitnya ATSF v2 sebagai standar untuk pembiayaan hijau

Studi itu juga merekomendasikan pengurangan pembangunan PLTU batu bara melalui pembatalan pembangkit listrik yang telah direncanakan, yang telah disepakati atau kesepakatan awal sebagai salah satu pendekatan yang paling hemat biaya dan berdampak positif terhadap lingkungan untuk mempercepat transisi energi yang berkeadilan di Indonesia.

Sementara, Managing Director for Power and Climate Rockefeller Foundation Joseph Curtin mengatakan terdapat sekitar 950 PLTU batu bara yang direncanakan atau sedang dalam tahap pembangunan di seluruh dunia. "Jika dibangun, diprediksi menghasilkan emisi sekitar 78 miliar ton CO2 ke atmosfer selama siklus hidupnya," ujar Joseph.

Ia menuturkan analisis tersebut menggambarkan bahwa dalam banyak kasus terdapat pilihan lebih baik yang tersedia bagi para pembuat kebijakan, perusahaan utilitas, regulator, dan perencana sistem yang dapat mempercepat transisi dari bahan bakar fosil.

"Analisis ini juga dapat direplikasi di negara-negara lain yang memiliki jaringan pipa batu bara yang besar," tuturnya.

IESR menilai jika dibangun, sembilan PLTU baru bara yang sebagian besar masih dalam tahap pembiayaan itu akan menyumbang hampir 3.000 megawatt (MW) kapasitas batu bara atau sekitar 20 persen dari total penambahan yang direncanakan di Indonesia.

Baca juga: IESR: Kebijakan insentif kendaraan listrik dapat tumbuhkan industri

Analisis IESR menemukan pembatalan sembilan pembangkit listrik akan berdampak, di antaranya mencegah 295 juta ton emisi CO2. Dengan 238 juta dolar AS yang telah diinvestasikan hingga saat ini untuk sembilan pembangkit listrik tersebut, diperkirakan harga pengurangan karbon akan kurang dari 80 sen per ton emisi CO2 yang dapat dihindari.

Kemudian, tidak mengorbankan stabilitas sistem dan sebagian besar daya akan digantikan oleh pembangkit listrik yang sudah ada yang beroperasi dengan kapasitas yang lebih besar.

Namun, skenario itu kemungkinan akan berpotensi munculnya biaya tambahan dari operasi sistem tenaga listrik sebesar 2,5 miliar dolar AS per tahun hingga 2050.

IESR mencatat bahwa analisis yang dilakukan tidak memasukkan penambahan energi terbarukan ke dalam bauran energi, yang akan membantu mengurangi biaya pembangkitan rata-rata lebih lanjut.

Berikutnya, perlu memasukkan risiko hukum yang terkait dengan pembatalan sepihak dari setiap proyek Indonesia dan PLN sebagai perusahaan listrik Indonesia yang telah diidentifikasi dalam studi tersebut.

IESR menyebut produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) menikmati kontrak pembelian listrik jangka panjang dengan PLN dengan persyaratan yang menguntungkan dan negosiasi akan diperlukan dalam setiap kasus untuk memastikan bahwa pembatalan tidak menyalahi perjanjian yang sudah ada.

Dalam beberapa kasus, menawarkan pengembang proyek opsi untuk mengganti tenaga listrik dengan energi terbarukan menjadi opsi yang dapat dipertimbangkan.

Terakhir, tidak akan cukup untuk memenuhi target Indonesia's Just Energy Transition Partnership (JETP).

Baca juga: IESR sebut perdagangan karbon diikuti pengetatan batas atas emisi

Baca juga: IESR: Pengembangan motor listrik tak bisa ditunda-tunda

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2023