Abuja (ANTARA News) - Wajah pertama Nigeria, negara berpenduduk terbesar di Afrika dengan mesin perekonomian yang bertumpu pada hasil minyak, sedikit banyak terwakili oleh suasana yang ada di dua bandar udara internasional utamanya.
Di Bandara Internasional Murtala Muhammed, Lagos, dan Nnamdi Azikiwe, Abuja, pada Kamis siang dan petang, kesibukan yang jamak seperti di Bandara Internasional Dubai maupun Bandara Internasional Soekarno Hatta tidak tampak.
Jika di Bandara Dubai, Uni Emirat Arab, dan Soekarno-Hatta Cenkareng, frekuensi kedatangan dan keberangkatan pesawat relatif tinggi, di dua bandara internasional Nigeria pada Kamis siang dan petang itu tidak demikian.
Di terminal kedatangan dan keberangkatan penumpang di dua bandara Nigeria itu juga tidak tampak hiruk pikuk penumpang yang berbelanja di jejeran pertokoan "duty free" (bebas pajak) maupun beragam gerai makanan dan minuman karena fasilitas toko dan gerai semacam itu minim.
Pemandangan di terminal kedatangan Bandara Murtala Muhammed setelah pesawat Boeing 777-300ER Emirates Airline yang membawa ratusan penumpang selama lebih dari tujuh jam dari Bandara Internasional Dubai mendarat Kamis siang itu justru "hiruk pikuk" sejumlah porter yang menawarkan jasanya ke para penumpang yang hendak mengambil barang.
Suasana yang sama pun terlihat di Bandara Nnamdi Azikiwe. Di bandara dengan bangunan terminal bergaya minimalis dan modern ini, para porter berbekal troli usang berbalut lakban kembali menawarkan jasanya ke para penumpang dengan sistem tawar menawar dan uang tambahan.
Di antara mereka yang menggunakan jasa para porter itu adalah rombongan Kementerian Perdagangan dan Badan Koordinasi Penanaman Modal RI yang datang ke Abuja untuk menghadiri acara Forum Bisnis yang diselenggarakan sebagai bagian dari kegiatan kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di ibu kota Nigeria itu, akhir pekan ini.
Di luar pintu masuk kedua bandara, sejumlah tentara bersenjata lengkap berjaga-jaga untuk memberi rasa aman sedangkan halaman parkir dipenuhi mobil buatan Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat hingga Eropa.
Kondisi ini berlanjut di ruas jalan yang menghubungkan terminal internasional dengan terminal domestik Bandara Murtala Muhammed. Bahkan di sejumlah titik, terjadi antrean dan kemacetan panjang kendaraan. Di tengah lalu-lintas yang padat itu, sejumlah remaja dan pemuda menawarkan dagangan asongan mereka kepada penumpang yang kendaraannya terjebak kemacetan.
Di Abuja yang resmi menjadi ibu kota Nigeria menggantikan Lagos sejak 12 Desember 1991, terlihat sejumlah proyek konstruksi gedung-gedung baru.
Sejumlah hotel berbintang pun ada, seperti Hotel Hilton yang menjadi tempat berlangsungnya forum bisnis yang akan dihadiri Menteri Perdagangan Gita Wirjawan dan delegasi pengusaha utama Indonesia pada Sabtu (2/2).
Namun pemadaman listrik masih terjadi seperti yang dialami Antara dan rombongan Kementerian Perdagangan yang menginap di Hotel Bolingo and Towers, Abuja.
Di hotel yang mematok tarif normal termurah per malamnya sebesar 220 dolar AS itu, terjadi dua kali pemadaman listrik sebanyak dua kali, yakni pada Jumat dini hari dan menjelang subuh.
Di tengah pertumbuhan ekonomi Nigeria yang menurut laporan African Economic Outlook (AEO) 2012 mencapai rata-rata tujuh persen per tahun selama lebih dari sepuluh tahun terakhir, dan pada 2013 pertumbuhannya diperkirakan para analis AEO sebesar 6,6 persen, ketersediaan listrik masih menjadi masalah.
Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi itu, menurut laporan AEO, tidak serta merta mampu memotong jumlah warga miskin maupun menciptakan lapangan kerja yang relatif tinggi.
Bahkan dua per tiga dari 170 juta jiwa penduduk negara seluas 923.768 kilometer persegi itu hidup dengan pendapatan kurang dari satu dolar AS per hari dengan angka pengangguran tahun 2011 mencapai 23,9 persen atau naik dari tahun 2010 (21,1 persen).
Peningkatan nilai investasi
Di tengah beragam tantangan mulai dari kemiskinan yang akut, angka pengangguran yang tinggi, korupsi yang membelit, ketergantungan ekonomi negara yang besar pada minyak dan gas bumi, hingga keterbatasan infrastruktur jalan dan listrik yang terbatas, masa depan Nigeria tidak dapat dianggap "terus suram".
Setidaknya prospek bagi perbaikan masa depan rakyat Nigeria itu antara lain ditopang oleh tren peningkatan nilai investasi langsung asing (FDI) yang masuk ke negara dalam beberapa tahun terakhir.
Tren FDI yang diterima Nigeria itu, menurut UNCTAD FDI Attraction Index 2012 merupakan "yang terbesar" di Afrika dengan total nilai 8,92 miliar dolar AS (2011).
Ranking Nigeria sebagai penerima FDI di dunia pun naik dari posisi 32 pada 2010 menjadi 23 pada 2011. China dan Indonesia termasuk dalam daftar negara-negara sumber FDI bagi negara yang kini dipimpin Presiden Goodluck Jonathan ini.
Total nilai investasi yang sudah ditanamkan perusahaan-perusahaan China di negara itu, seperti pernah disampaikan Wakil Menteri Perdagangan China Fu Ziying, sudah mencapai sedikitnya 8,3 miliar dolar AS (2011). Nilai investasi tersebut tidak termasuk keterlibatan banyak perusahaan China dalam proyek-proyek teknik Nigeria senilai 28,1 miliar dolar AS (2011).
Kendati jauh di bawah nilai investasi perusahaan-perusahaan China, beberapa korporasi Indonesia juga sudah melakukan hal yang sama di negara itu. Di antaranya adalah PT Indofood Sukses Makmur, Indorama Synthetics Tbk dan Kalbe.
Total nilai investasi ketiga perusahaan nasional itu berdasarkan data Kementerian Perdagangan RI mencapai 16,8 juta dolar AS dan menyerap 3.200 orang tenaga kerja.
Prospek dan pencapaian FDI Nigeria itu diyakini Pemerintah China dan Indonesia masih berpeluang untuk ditingkatkan di masa mendatang jika iklim investasi di negara itu dapat diperbaiki pemerintah setempat.
Wakil Menteri Perdagangan China Fu Ziying seperti dikutip The Nation Online menggarisbawahi pentingnya menjaga iklim usaha, konsistensi dalam kebijakan, dan jaminan keamanan bagi para investor asing di Nigeria. Pesan yang relatif sama juga disuarakan Indonesia.
Bertepatan dengan kunjungan kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Nigeria akhir pekan ini (2/2), Kementerian Perdagangan RI mendorong Pemerintah Nigeria untuk terus memperbaiki kerangka kerja kebijakan perdagangan dan investasinya.
Indonesia juga mendorong Nigeria melengkapi dirinya dengan "mekanisme yang jelas dan transparan bagi pelaksanaan legislasi dan regulasinya untuk menarik arus FDI dari Indonesia serta senantiasa melindungi perusahaan-perusahaan yang sudah beroperasi di negara itu."
Di samping tren FDI yang meningkat, geliat ekonomi Nigeria yang bersumber dari sektor non-migas juga memberikan optimisme. Menurut analisa AEO 2012, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (GDP) Nigeria yang sempat mencapai 7,8 persen pada 2010 sebelum anjlok ke 6,7 persen pada 2011 akibat dampak krisis ekonomi global turut ditopang oleh sektor non-migas.
Sektor pertanian ini dicatat AEO sebagai "penyumbang signifikan" bagi ekonomi negara itu dengan persentase kontribusi bagi GDP sebesar 35,2 persen.
Bahkan pembangunan sektor ini secara berkelanjutan diyakini AEO akan membantu Nigeria mengurangi jumlah penduduk miskin sekaligus meningkatkan keamanan pangannya.
Dalam konteks perdagangan bilateral, Indonesia pun mengimpor produk pertanian dari Nigeria khususnya kapas senilai 24,3 juta dolar AS berdasarkan data Kementerian Perdagangan RI hingga Oktober 2012.
Melihat geliat dan tren pertumbuhan ekonomi Nigeria, kondisi riil yang kini tampak agaknya tidak serta merta menutup hari esok negara terbesar di Afrika ini.
(R013/Z002)
Oleh Rahmad Nasution
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013