Islamabad (ANTARA News) - Serangan teror 11 September 2001 ke Amerika Serikat, tidak hanya mengubah geopolitik dan tata hubungan internasional, namun juga mempengaruhi pola-pola hubungan antarmasyarakat pada tingkat lebih rendah lagi, diantaranya lalu lintas belajar antarbangsa.

Itu pula yang dialami oleh program kerjasama dan beasiswa untuk mahasiswa Indonesia ke Pakistan. Sejak peristiwa teror itu, frekuensi mahasiswa yang belajar ke Pakistan berkurang drastis.

Tetapi bagi mereka yang mungkin punya falsafah hidup seperti digariskan Nabi Besar Muhammad SAW, "tuntutlah ilmu sampai ke Cina", kenyataan itu tidak menurutkan niat mereka untuk menimba ilmu di mana pun.

Itu terjadi pada orang-orang Indonesia yang tetap menginginkan belajar di Pakistan. Bagi orang-orang ini, semangat menuntut ilmu di negeri ini tidak dapat disurutkan oleh hal apapun.

Tidak ada rotan akar pun jadi. Tidak ada beasiswa, bukan tidak ada jalan lain. Maka mereka pun tetap menuntut ilmu di negeri empat musim ini, kali ini dengan biaya sendiri.

Duta Besar Indonesia untuk Pakistan, Burhan Muhammad mengungkapkan sebelum Serangan 11 September 2011 ke World Trade Center, AS, ada ribuan mahasiswa asal Indonesia di Pakistan.

Di antara yang ribuan itu, alumni pesantren Ngruki di Solo, Jawa Tengah, adalah yang paling dominan. Bahkan putra pendiri dan pengelola pesantren ini, Abu Bakar Ba'asyir, juga bersekolah di Pakistan.

Kini jumlah mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Pakistan tercatat 400 - 500 mahasiswa.

Dari angka itu, mengutip catatan mahasiswa Universitas Internasional Islamabad, Heryanto, hampir 93 persen diantaranya berstudi di Islamabad.

Ada banyak alasan untuk kuliah di Pakistan. Dua diantara alasan yang paling menonjol adalah biaya pendidikan yang murah dan karena beberapa jurusan kuliah tak tersedia di Indonesia.

Universitas Internasional Islamabad sendiri adalah kampus yang mengutip biaya pendidikan paling murah dibandingm universitas lain di Islamabad.

"Biaya kuliah untuk S-1 sekitar Rp800-900 ribu per semester, sedangkan untuk S-2 sekitar Rp1,5 juta per semester," kata Heryanto yang tengah mengambil pendidikan S-2.

Kota lainnya yang menjadi tempat mahasiswa-mahasiswa Indonesia berkuliah di Pakistan adalah Lahore.

Menurut Heryanto, mahasiswa asal Indonesia ini mendaftar untuk mendapatkan beasiswa dari lembaga asing karena beasiswa dari pemerintah Pakistan dan Indonesia memang belum tersedia.

Kreatif

Kendati biaya pendidikan di Islamabad lebih murah dibadingkan dengan Indonesia, namun karena tak semua mahasiswa ini mampu membiayai hidup, mereka harus mencari tambahan pemasukan.

Burhan Muhammad menilai mahasiswa Indonesia di Pakistan kreatif. Mereka menggunakan ketrampilan dan membaca peluang untuk mengatasi keterbatasan keuangan mereka.

"Mereka (mahasiswa dan santri) kreatif, buka katering untuk sesama orang Indonesia, bahkan membuat tempe. Di Pakistan sepotong tempe sangat mahal. Kalau di Indonesia harganya 2.000 rupiah, di Pakistan bisa sampai 25 ribu rupiah" katanya.

Bahkan menurut Heryanto, beberapa mahasiswa menyewakan motornya, atau membuat aneka masakan Indonesia seperti bakso, tempe, atau menjual madu.

"Banyak mahasiswa menyewakan motornya karena jarak dari gedung universitas ke jalan raya lumayan jauh kalau harus berjalan kaki. Untuk berkeliling di Islamabad jika menggunakan taksi biayanya mahal, kata Heryanto yang ternyata asal Bekasi, Jawa Barat, ini.

Para penyewa ojeg ini adalah rekan-rekan mereka sendiri sesama mahasiswa. "Tarifnya sekitar 150 rupee per tiga jam," kata Heryanto.

Sedangkan usaha katering mereka geluti karena peluang untungnya juga besar. Konsumen katering ala mahasiswa Indonesia di Pakistan ini kebanyakan diplomat Indonesia dan Malaysia.

Beberapa dari mereka lebih kreatif lalu, diantaranya mengusulkan kepada KBRI agar mereka direkrut atau dilibatkan sebagai tenaga musiman haji.

"Saya fasilitasi mereka, sewaktu ke Jakarta saya sampaikan hal ini pada Anggito Abimanyu (Direktur Jenderal Haji dan Umroh Kementerian Agama) agar mengakomodir keinginan para mahasiswa ini," kata Burhan.
(R022)

Oleh Ria Desy Saputra
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013