Manfaat besarnya adalah rasa kebanggaan...."

Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah harus mempertimbangkan wacana redenominasi rupiah karena akan menimbulkan polemik baru ditambah dengan situasi perekonomian dunia yang masih fluktuasi, kata anggota Komisi XI DPR RI Arif Budimanta.

"Terlebih hal tersebut berpotensi melanggar UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP dan Perpres No.5/2010 mengenai RPJM. Di dalam UU maupun perpres tersebut tidak ada program redenominasi (pemotongan nilai mata uang tanpa mengurangi nilai tukarnya terhadap barang atau pun jasa)," kata Arif Budimanta seusai menghadiri diskusi "Paparan Ekonomi Politik 2013" di Jakarta, Kamis.

Menurut anggota DPR RI dari Fraksi PDIP tersebut, redenominasi tidak memiliki urgensi mengingat situasi perekonomian global yang belum lepas dari krisis.

"Kondisi perekonomian dalam negeri juga masih sangat rentan terhadap berbagai gejolak baik dari dalam maupun luar negeri. Inflasi yang ada tanpa redenominasi saja sudah cukup tinggi sehingga tidak relevan untuk menambah persoalan baru," ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa redenominasi rupiah tidak akan berpengaruh terhadap inflasi jika diasumsikan masyarakat menerima rencana tersebut.

"Tidak akan mudah menyosialisasikan rencana ini kepada masyarakat dengan kesenjangan pendapatan yang tinggi, tingkat pendidikan masih rendah, dan akses terhadap informasi yang masih terbatas sehingga rencana redenominasi akan menimbulkan gejolak di tengah masyarakat dan justru inflasi yang tinggi," ujarnya.

Selain itu, lanjut dia, ongkos ekonomi untuk melakukan redenominasi sangat besar serupa biaya sosialisasi, penarikan uang lama, dan pencetakan serta pendistribusian uang dengan nominal baru.

"Diperkirakan biaya sosialisasi mencapai sekitar Rp10 triliun," ujarnya.

Arif menilai kewibawan suatu negara bukan dinilai dari nilai tukar mata uangnya terhadap mata uang lainnya, melainkan dilihat dari struktur, kekuatan, dan kedaulatan ekonomi negara-negara tersebut.

"Nilai tukar mata uang Vietnam lebih rendah dari Indonesia, yaitu satu dong Vietnam setara dengan Rp2. Akan tetapi, tidak pernah merasa minder akan hal itu," kata dia.

Menurut dia, sejumlah negara sudah melakukan redenominasi mata uangnya. Di antaranya adalah Rumania dan Turki. Rumania memotong 4 (empat) digit nominal mata uangnya, sedangkan Turki memotong 6 (enam) digit, yang membutuhkan waktu 10 tahun masa transisi penerapan yang dilakukan dengan disiplin fiskal yang ketat.

Sebelumnya, Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti menilai penyederhanaan nilai nominal rupiah atau redenominasi dapat memberikan manfaat ekonomis kepada masyarakat.

"Manfaat besarnya adalah rasa kebanggaan. Dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih besar, ada anggapan bahwa perekonomian Indonesia masih terbelakang," kata Destry Damayanti di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, jika pemerintah dapat melakukan redenominasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang saat ini Rp9.680 menjadi hanya Rp9,6 per dolar AS.

Kondisi ini akan sebanding dengan nilai ringgit Malaysia terhadap dolar AS sebesar 3,05 ringgit, peso Filipina yang sebesar 41,92 peso, baht Thailand sebesar 30,52 baht, dan dolar Singapura sebesar 1,23 dolar Singapura. (A063/D007)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013