Kami tidak mengintervensi kreativtas seniman dalam menciptakan lagu, namun ketika lagu-lagu bermasalah itu disiarkan lembaga penyiaran baik radio maupun televisi, maka itu menjadi tanggung jawab kami...
Mataram, Nusa Tenggara Barat (ANTARA News) - Lagu-lagu berlirik porno seakan menjadi "trademark" sebagian lagu bergenre dangdut. Tidak hanya itu lagu-lagu dangdut juga dibawakan dengan gaya dan konstum yang terkesan seronok, sebut saja "goyang ngebor" miliknya Inul Daratista yang menuai protes dari sang Raja Dangdut Rhoma Irama.
Goyang dangdut lainnya yang sempat ngetren adalah goyang patah-patah yang dipopulerkan Anissa Bahar. Masih banyak goyeng lain, yang terakhir adalah "goyang itik" milik pedangdut pendatang baru Zaskia Shinta atau yang populer dengan "Zaskia Ghotik".
Namun semua goyang dangdut itu tenggelam bersama hadirnya "Gangnam Style, sebuah singel K-pop tahun 2012 yang dinyanyikan oleh rapper Korea Selatan Park Jae Sang yang kini mendunia, karena gaya tarian menunggang kuda yang kocak.
Terlepas dari berbagai gaya dan goyangan, sejumlah lagu bergenre dangdut yang disebut-sebut sebagai musiknya "rakyat jelata" itu menuai protes terutama dari pendengar radio dan pemirsa televisi yang merasa risih dan terganggu dengan maraknya lagu-lagu dangdut berlirik porno dan kerap melecehkan serta merendahkan harkat dan martabat kaum perempuan.
Lagu-lagu dangdut yang sarat dengan lirik bernuansa porno itu juga merambah ke musik dangdut berbahasa daerah "Sasak" (nama etnis di Pulau Lombok). Lagu-lagu daerah yang berkiblat ke musik "Bollywood" (India) itu sarat dengan lirik bernuansa porno.
Merambahnya lagu-lagu dangdut yang liriknya tidak mendidik itu memunculkan kegalauan bagi sebagian masyarakat termasuk di Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat yang dikenal dengan "Bumi Seribu Masjid". Kegalaujan itu diwujudkan dengan maraknya pengaduan yang disampaikan ke Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) NTB.
Ketua KPID NTB Badrun AM mengaku selam 2010 pihaknya menerima sedikitnya 700 pengaduan dari masyarakat terkait isi siaran radio dan tayangan televisi yang dinilai tidak mendidik terutama tayangan kekerasan, seks, pornoaksi dan iklan layanan pesan singkat.
Pengaduan masyarakat itu juga tersangkut penyiaran lagu dangdut berlirik porno, tidak mendidik dan terkesan melecehkan serta merendahkan martabat pihak tertentu terutama kalangan perempuan. KPID sebelai lembaga independen yang mewakili kepentingan masyarakat pun kemudian mengambil tindakan tegas
Keperihatinan masyarakat itu kemudian memaksa KPID NTB mengambil tindakan tegas dengan memberikan peringatan tertulis dan meminta klarifikasi dari penanggung jawab sejumlah stasiun radio dan televisi sawasta yang menayangkan lagu-lagu yang berlirik porno itu.
Selama 2010 KPID NTB melarang seluruh lembaga penyiaran baik radio maupun televisi menyiarkan 10 lagu dangdut yang liriknya mengandung unsur porno dan tidak mendidik.
"Kami mengeluarkan larangan penyiaran sepuluh lagu-lagu dangdut bermasalah itu, karena liriknya bernuansa porno dan tidak mendidik," kata Badrun.
Sepuluh judul lagu bermasalah dan dilarang penyiarannya di stasiun radio dan televisi itu adalah Jupe Paling Suka 69, Mobil Bergoyang, Apa Aja Boleh, Hamil Duluan, Maaf Kamu Hamil Duluan, Satu Jam Saja, Mucikari Cinta, Melanggar Hukum Wanita Lubang Buaya dan Ada Yang Panjang.
Larangan menyiarkan lagu dangdut bermasalah itu dikeluarkan setelah dilakukan pengkajian mendalam untuk menghimpun berbagai masukan dan saran melibatkan sejumlah tokoh, diantaranya Musbiawan dari kalangan budayawan, Bochri Rohman (tokoh pers dan praktisi media), Dr Kadri (Akademisi), Adhar Hakim (Praktisi Media) dan Eddy Karna Sinoel (wartawan senior).
Sebelumnya Bidang Pengawasan Isi Siaran KPID NTB menerima pengaduan dari masyarakat dan sejumlah tokoh agama di daerah ini yang merasa resah terkait penyiaran lagu dangdut di sejumlah radio lokal dan televisi Jakarta yang liriknya dinilai tidak pantas dan tidak mendidik.
"Selama dua pekan, 25 Januari hingga 14 Februari 2012 tim pemantau melakukan kajian mendalam terhadap sekitar 300 judul lagu dangdut dari berbagai versi dan genre, mulai dangdut klasik, pop, koplo, reggae dan house dangdut yang paling diminati pendengar dan pemirsa yang berpotensi menjadi jadi lagu pilihan pendengar," ujarnya.
Ia mengatakan, masukan dan saran serta kritik dari berbagai kalangan baik yang pro maupun kontra itu menjadi catatan KPID NTB dalam membuat keputusan.
Badrun mengatakan, menurut hasil analisa, lagu berjudul "Jupe Paling Suka 69" yang dinyanyikan artis kontroversial Julia Perez dengan nada dan suaranya yang erotis, mendesah, penuh nafsu dan tekanan bait-bait lirik yang menggambarkan hubungan intim dan gaya bercinta sang penyanyi. Lagu ini merupakan soundtrack film Jupe "Pocong Minta Kawin".
Demikian juga lagu berjudul "Mobil bergoyang" yang dinyanyikan Lia MJ feat Asep Rumpi, jauh lebih vulgar menggambarkan perilaku seks bebas dan bagaimana hubungan intim antar lawan jenis itu dilakukan.
Lagu berjudul "Apa aja Boleh" yang dinyanyikan pesinetron Della Puspita, juga tidak jauh berbeda, menggambarkan perilaku seks bebas di kalangan remaja, kepasrahan seorang wanita yang rela menyerahkan segalanya demi cintanya kepada sang calon pacar.
Selanjutnya akibat hubungan intim di luar nikah, digambarkan secara vulgar oleh Tuty Wibowo dalam lagunya Hamil Duluan. Sementara penyanyi dangdut Ageng Kiwi menyambutnya dengan lagu "Maaf, Kamu Hamil Duluan".
Lagu ini menggambarkan kenekatan laki-laki yang siap menikahi pacarnya karena hamil duluan, dan akan menjadi seorang ayah hasil hubungan gelap.
Sedangkan lagu "Satu Jam Saja" yang dinyanyikan Zaskia punya kesamaan maksud yakni perilaku pacaran, selingkuh, tidak setia pada pasangan dan seks pra nikah yang bisa jadi merupakan trend remaja saat ini.
Sementara itu, lagu "Wanita Lubang Buaya" yang dinyanyikan Minawati Dewi ataupun lagu yang dilantunkan Rya Sakila berjudul Ada yang Panjang, secara eksplisit menggambarkan mahkota perempuan (alat vital wanita) yang diistilahkan dengan bahasa vulgar "Lubang Buaya". Meski Rya Sakila sendiri buru-buru menyebut lagunya sebagai banyolan belaka.
Berbeda halnya dengan lagu "Mucikari Cinta" yang dinyanyikan Rimba Mustika, lebih merupakan ekspresi seorang wanita yang dijadikan suaminya sebagai wanita penjaja cinta (WTS) dengan segala duka dan penderitaannya.
Demikian juga pada lagu "Melanggar Hukum" yang dinyanyikan Mozza Kirana, bercerita tentang kenekatan seorang wanita yang mencintai suami orang dan siap dimadu.
"Setelah mencermati satu demi satu lirik lagu tersebut, maka tim pengkaji menemukan adanya pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yakni Pasal 36 ayat 5 dan ayat 6," kata Badrun.
Pasal tersebut menegaskan agar isi siaran dilarang menonjolkan hal-hal yang bermuatan cabul, dilarang memperolok, merendahkan, melecehkan dan atau mengabaikan nilai-nilai agama dan martabat manusia Indonesia.
Materi lagu tersebut juga sesungguhnya bertentangan dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3/SPS) tahun 2009 yakni Pasal 9 (penghormatan terhadap norma kesopanan dan kesusilaan), Pasal 17 (pelarangan adegan seksual), Pasal 18 (seks di luar nikah) dan Pasal 19 (Muatan seks dalam lagu dan videoklips).
Lagu-lagu tersebut sebagian besar menggambarkan adegan hubungan intim (seks) secara vulgar, pembenaran terhadap perilaku seks di luar nikah dan prahara rumah tangga yang berpotensi ditiru oleh orang lain terutama anak-anak dan remaja.
Lagu Sasak
Bukan itu saja KPID NTB juga menegur pengelola radio yang memutar lagu daerah Sasak yang dianggap berlirik porno. Ternyata lagu semacam itu tidak hanya satu, tetapi cukup banyak. Di antaranya adalah "Ndek Kembe-kembe", "Bisok Botol", dan "Bebalu Melet Besimbut".
Wakil Ketua KPID NTB Sukri Aruman menyebutkan di dalam lagu dangsut Sasak bertajuk "Ndek Kembe-kembe" terdapat lirik yang tidak mendidik dan sering menimbulkan pertanyaan bagi anak-anak, yakni inak lek bawak, amak lek atas atau "ibu di bawah bapak di atas".
"Kami sering mendengar anak-anak kecil di desa-desa menirukan lirik lagu ndek kembe-kembe, inak lek bawak, amak lek atas" (tidak apa-apa, ibu di bawah, bapak di atas)," kata Sukri yang juga praktisi lembaga penyiaran itu.
Kondisi ini memunculkan kegalauan bagi sebagian orang tua, karena anak-anak yang mendengar lagu itu bertanya makna lirik lagu tersebut sehingga dikhawatirkan berdampak negatif terhadap perkembangan mental mereka.
Selain lagu dangdut yang bernuansa porno, ada juga lagu tak mendidik lain yang dilarang untuk diputar di radio. Lagu berjudul "Bowos" (Judi), misalnya, dianggap mengedepankan tradisi yang sebenarnya tidak diperbolehkan agama.
Dalam lagu "Bowos" itu terdapat lirik yang seolah membenarkan judi karena menggunakan uang hasil keringat sendiri. Dalam lirik lagu itu antara lain mengatakan "Saya berjudi dengan uang hasil keringat sendiri". Lirik seperti ini dikhawatirkan menjadi pembenaran tindakan seseorang dan ditiru oleh orang lain.
Khusus mengenai lagu bergenre pop daerah Sasak bermasalah berjudul "Bebalu Bais" dilarang disiakan di radio dan televisi, karena liriknya dinilai merendahkan martabat kaum perempuan.
"Lagu dari album bertajuk Pop Bali-Sasak yang diciptakan sekaligus dinyanyikan Fery GSP itu memunculkan banyak protes dari masyarakat terutama kaum perempuan.
"Kami sudah menerima 25 aduan umumnya dari kaum perempuan yang merasa terganggu setelah mendengar lagu pop berjudul `Bebalu Bais` (janda bau) yang selama ini disiarkan sejumlah radio swasta di Mataram," katanya.
Setelah menerima pengaduan yang disampaikan melalui pesan singkat (SMS) maupun secara langsung KPID NTB kemudian mengecek kebenaran mengenai lagu yang liriknya terkesan melecehkan dan merendahkan martabat kaum perempuan.
Karena itu, kata Sukri, lagu pop daerah tersebut dibahas dengan seluruh komisioner dalam rapat pleno dan setelah melalui perdebatan cukup alot, akhirnya diptuskan dilarang disiarkan di lembaga penyiaran baik radio maupun televisi.
"Kami tidak mengintervensi kreativtas seniman dalam menciptakan lagu, namun ketika lagu-lagu bermasalah itu disiarkan lembaga penyiaran baik radio maupun televisi, maka itu menjadi tanggung jawab kami apalagi kalau masyarakat yang merasa terganggu menyampaikan pengaduan," kata komisioner KPID NTB yang juga praktisi penyiaran ini.
Kegalauan terkait maraknya lagu-lagu dandut berlirik porno yang dicegah tangkal atau "cekal" di beberapa daerah itu juga dinilai pengamat musik senior Denny Syakrie hanya sebagai langkah para musisi dangdut agar karyanya dilirik orang.
Menurut Denny, apapun yang berbau porno biasanya cepat laris. Agar lagu cepat terkenal, apalagi kalau sampai dicekal oleh pihak berwenang. Bahkan ini dinilai sebagai sebuah "keberhasilan"
Ia mencontohkan lagu yang didendangkan pedangdut kontroversial Julia "Jupe" Perez berjudul "Jupe Paling Suka Gaya 69". Itu karena penciptanya tahu karakteristiknya Jupe seperti apa, dia lalu sengaja menciptakan lagu berjudul 69 yang liriknya sangat tidak mendidik. Itu kan pas banget dinyanyiin sama Jupe, karena Jupe artis yang penuh sensasi dan di situlah daya tariknya.
"Pencipta lagu juga tahu kalau Jupe lagi diperhatiin masyarakat," ujar Denny seperti dilansir sejumlah media massa di Jakarta.
Pengamat musik senior ini menilai, mencari popularitas lewat sebuah lagu yang berlirik "kotor" sangatlah menjijikkan, karena mengorbankan banyak hal baik di dalamnya, seperti pada perkembangan anak.
"Lagu kayak gitu jelas-jelas cari sensasi, tapi mereka enggak lihat pengaruh ke depannya kayak apa. Lihat saja contohnya banyak anak kecil perkosa anak kecil. Ya meskipun pengaruhnya enggak langsung dari situ sih. Tapi si penciptanya disuruh bayangin saja kalau anaknya melakukan hal seperti lagu yang mereka ciptakan," kata Denny.
Kegalauan sehubungan dengan maraknya lagu dangdut berasalah itu juga diutarakan sejumlah seniman di Lombok, Nusa Tenggara Barat, sebut saja H Ramiun (54) yang menilai akhir-akhir ini lirik sebagian lagu dangdut termasuk lagu Sasak, Lombok melanggar adat ketimuran.
Keinginan pasar
"Lirik sejumlah lagu dangdut terkesan hanya mementingkan keinginan pasar. Setelah saya cermati akhir-akhir ini lagu berlirik porno dan terkadang melecehkan serta merendahkan kaum perepuan semakin marak," kata seniman senior yang juga Kepala Seksi Lingkungan Dan Tradisi, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Mataram.
Ia mencontohkan, lagu berbahasa daerah berjudul "bisok botol" (mencuci botol), "Endek Kembe-Kembe", (tidak apa-apa) , "Bebalu Melet Besimbut" (Janda Ingin Berselimut). Lirik lagu tersebut sarat dengan hal-hal yang berbau porno dan tidak mendidik.
Ramiun mengatakan, belum lagi lirik lagu-lagu dangdut berbahasa Indonesia yang secara vulgar menggunakan kata-kata dan gaya yang berbau porno dan kental dengan nuansa seks.
Karena itu, Ramiun mendukung pemerintah melalui Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) melarang penyiaran lagu tersebut baik di radio maupun televisi.
Ramiun meyakini tidak semua pendengar radio maupun pemirsa televisi yang senang mendengar lagu-lagu yang liriknya berbau porno, merendahkan martabat dan melecehkan kaum wanita. Bahkan sebagian masyarakat akan merasa terganggu dengan lagu yang liriknya tidak mendidik dan melanggar norma itu.
Seniman Lombok yang pernah belajar seni di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja mengatakan, dalam adat Sasak Lombok pantangan membicarakan hal-hal berbau porno secara vulgar, apalagi dituangkan dalam lirik lagu yang di dengarkan oleh banyak orang.
"Sebenarnya banyak tema yang bisa diangkat ke dalam lagu daerah Sasak, Lombok terutama yang bermuatan ajaran agama, norma sopan santun dan yang berisi nasihat termasuk lirik-lirik lagu yang sifatnya mendidik. Saya yakin lagu dangdut Sasak yang bermuatan hal-hal yang bermanfaat itu lebih digemari masyarakat," ujarnya.
Karena itu Ramiun menyarankan KPID NTB memprakarsai dialog seni dengan menghadirkan para budayawan, seniman, tokoh agama, tokoh masyarakat untuk membahas tema penciptaan lagu-lagu daerah yang mengedepankan etika dan moral.
"Saya yakin dengan cara ini para seniman pencipta lagu tidak lagi mengekploitasi hal-hal yang berbau porno dan melecehkan martabat perempuan dalam lirik lagu yang mereka ciptakan," kata seniman yang juga Ketua Sanggar Kesenian Purnamaria Mataram.
Fenomena lagu-lagu bergenre dangdut berlirik porno dan tidak mendidik yang kini menuai protes dari sebagian pendengar radio dan pemirsa televisi menjadi sebuah pertanda bahwa hal-hal yang berbagai porno dan menafikan adat ketimuran itu belum tidak mendapat tempat dihati masyarakat termasuk di "Bumi Seribu Masjid".
(ANTARA)
Oleh Masnun Masud
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013