Kepada sejumlah wartawan Indonesia yang mengunjungi Pakistan selama hampir seminggu ke depan itu, "medan perang" yang juga dengan keras berusaha ditaklukan Pakistan itu adalah perang melawan kemiskinan dan buta huruf.
"Pakistan saat ini sedang melawan dua hal. Pertama adalah perang dan trorisme. Kedua, melawan kemiskinan dan buta huruf yang saat ini sedang dilakukan BISP," kata Federal Minister dan Chairperson Benazir Income Support Program (BISP) Farzana Raja.
BISP adalah lembaga nirlaba yang didirikan pemerintah Pakistan pada 2008. Lembaga ini bertekad memerangi kemiskinan dan memastikan setiap keluarga miskin mendapatkan bantuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan memperoleh bantuan keuangan, keterampilan dan kemandirian.
LSM yang mengambil nama dari mantan Perdana Menteri Benazir Bhuto yang tewas melalui pembunuhan politik pada 27 Desember 2007 itu mendapat dukungan dana dari Bank Dunia, Asian Development Bank, UK Department of International Development, Badan Kerjasama Pembangunan Amerika Serikat (USAID), China, Turki, dan Iran.
Mirip-mirip program pembiayaan mikro arahan Muhammad Yunus di Bangladesh, BISP menawarkan program bantuan ke masyarakat miskin Pakistan dengan menyalurkan dana bantuan sebesar 1.000 rupe (Rp99 ribu) per bulan kepada setiap keluarga miskin Pakistan.
LSM berafiliasi ke pemerintah ini juga menawarkan pinjaman lunak sebesar 300 ribu rupe (Rp29,7 juta) untuk modal usaha, pelatihan keterampilan kepada remaja laki-laki dan perempuan, asuransi jiwa dan asuransi kesehatan, menyekolahkan anak miskin, memberi bantuan pendidikan, dan mendorong perempuan miskin memiliki kartu identitas nasional (KTP).
Rupanya, kemiskinan bahkan telah membuat sebagian warga Pakistan sampai tidak memiliki kartu identitas.
Diakui dunia
"Pada awalnya, bukan hal mudah menjalankan program ini sebab belum ada data jumlah keluarga miskin di Pakistan. Karena itu, untuk pertama kalinya di Pakistan, kami melakukan sensus kemiskinan pada 2010," kata Farzana.
Untuk sebuah LSM, langkah yang ditempuh BISP ini memang terbilang luar biasa. Bayangkan, mereka menyelenggarakan sensus terhadap sekitar 180 juta orang dan 27 juta keluarga di negeri yang kadung dirundung teror tapi sebenarnya menyimpan banyak keindahan dan eksotisme itu.
Untuk sensus ini, BISP merekrut sekitar 20 ribu remaja. Para remaja ini dikerahkan untuk mendata dalam kurun waktu satu tahun.
Mereka menyelenggarakan pekerjaan yang di negeri lain mungkin terhitung biasa dan dapat dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja. Namun tidak demikian halnya dengan Pakistan. Kerja menyensus penduduk juga ternyata menghadapi "tabu-tabu" agama dan istiadat.
"Awalnya program ini menghadapi banyak tantangan diantaranya dari masyarakat sendiri. Mereka menganggap sensus kemiskinan haram dan bertentangan dengan budaya suku, serta awalnya ditentang oleh Taliban," jelas Farzana.
Waktu terus berjalan, dan hasil positif mulai banyak dituai. Salah satunya demografi rakyat miskin Pakistan yang jelas sehingga lebih jelas pula dalam memberi tindakan.
Hasil sensus BISP kemudian memperlihatkan, 7,2 juta orang masuk kategori keluarga miskin akibat terorisme, perang, dan bencana alam seperti gempa bumi dan banjir bandang.
Data Bank Dunia tahun 2011 menyebutkan total penduduk Pakistan adalah 176,7 juta orang.
Data yang ada pada BISP sendiri sangat membantu BISP dan tentu saja pemerintah Pakistan. Mereka kini jadi lebih mengetahui kondisi keluarga miskin Pakistan.
Tak berhenti di situ, BISP bisa mendapatkan data-data mengenai kondisi keuangan rakyat miskin ini dan apakah mereka bekerja atau tidak, apakah anak-anak sekolah atau tidak.
"Dan untuk pertama kalinya di Pakistan, kami memiliki data yang lengkap. Ini menjadi langkah besar untuk memulai menjalankan program BISP," katanya.
Tersedianya data kemiskinan yang lengkap telah membantu kerja BISP dalam membantu mengangkat derajat ekonomi rakyat miskin Pakistan.
Dalam empat tahun terakhir sampai akhir 2012, BISP telah menyalurkan bantuan lebih dari 130 miliar rupe (Rp12,8 miliar), kepada keluarga-keluarga miskin Pakistan.
Program antikemiskinan ini begitu transparan dan sangat efisien, diantaranya karena aplikasi sebuah sistem berbasis teknologi yang efisien.
Tak heran, program-program BISP diakui oleh masyarakat internasional.
Beberapa negara seperti Banglades, Kamboja, Mongolia, dan Mauritius bahkan tertarik mengadopsinya.
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013