...kebakaran yang terjadi tidak bertujuan untuk pembukaan lahan, dan sangat dipengaruhi oleh faktor iklim kering pada saat itu. Faktor angin kencang juga menyebabkan api loncat..."

Jakarta (ANTARA News) - Ahli Kebakaran Gambut Universitas Tanjungpura Gusti Z. Anshari mengatakan hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa kebakaran di area lahan gambut milik SPS (perusahaan perkebunan kelapa sawit) dipengaruhi oleh faktor iklim yaitu rendahnya curah hujan pada Maret 2012.

"Data curah hujan harian pada bulan tersebut menunjukkan adanya periode kering akibat tidak turunnya hujan. Hal ini menimbulkan situasi yang rawan kebakaran. Ditambah dengan banyaknya rumpukan kayu (bekas tebangan) kering yang rentan terbakar," kata Gusti Z. Anshari dalam media gathering penjelasan kebakaran lahan pada Kab Nagan Raya di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, ketika terjadi kebakaran dan api menjadi besar, bukan hanya rumpukan kayu yang terbakar tetapi juga tanaman kelapa sawit.

"Dengan demikian kebakaran yang terjadi tidak bertujuan untuk pembukaan lahan, dan sangat dipengaruhi oleh faktor iklim kering pada saat itu. Faktor angin kencang juga menyebabkan api loncat dan memperluas areal yang terbakar," kata dia.

Ia mengatakan kebakaran tersebut merugikan perusahaan karena yang terbakar termasuk tanaman kelapa sawit yang telah ditanam, dan berdampak negatif bagi lahan.

"Dari data pengukuran pH tanah, dapat disimpulkan bahwa dampak kebakaran tersebut tidak menaikkan pH tanah. Data pH (H2O) pada lahan terbakar sebesar 3,76 dan pH (H2O) pada lahan tidak terbakar sebesar 3,64. Adanya kenaikan pH tanah yang tidak lebih dari satu unit tersebut tidak akan menimbulkan keuntungan yang berarti, karena pH yang sesuai untuk tanaman kelapa sawit sekurang-kurangnya lebih dari 4," ujarnya.

Kebakaran yang terjadi itu, kata dia, cenderung menurunkan kadar air pada gambut. Pada lahan terbakar, kandungan air antara 4 hingga 9 kali lebih besar dari berat kering gambut. Sedangkan pada lahan tidak terbakar, kandungan air antara 4 sampai 10 kali lebih besar dari berat kering gambut.

"Hal tersebut menunjukkan pada lahan yang terbakat cenderung lebih kering, dan akibatnya lebih rentan pada kebakaran pada musim berikutnya. Maka, kebakaran gambut yang menyebabkan penurunan kadar air akan berdampak negatif, yaitu peningkatan kerentanan gambut pada ancaman api," ujarnya.

Sejalan dengan penurunan kadar air, menurut dia, pada gambut yang terbakar juga terjadi penurunan kandungan total bahan organik. Di dalam lahan terbakar kadar bahan organik antara 90 sampai 99 persen, dan lahan tidak terbakar 95 hingga 99 persen. Adanya penurunan kadar bahan organik tersebut akan mengurangi kemampuan gambut untuk menyerap dan menyimpan air.

"Penurunan kadar bahan organik berdampak pada peningkatan persentase kadar abu pada lahan terbakar. Kisaran kadar abu pada lahan terbakat antara 1 hingga 10 persen, sedangkan pada lahan tidak terbakar kisaran kadar abu antara 1 sampai 5 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebakaran tidak secara signifikan meningkatkan kadar abu. Peningkatan kadar abu hanya terjadi pada kawasan yang terbakar hebat, sedangkan pada gambut yang tidak terbakar kadar abu tidak meningkat," ujar dia.

Namun, kata dia, kebakaran tersebut tidak menyebabkan kerusakan fungsi-fungsi gambut untuk digunakan sebagai media perkebunan kelapa sawit, dan menghilangkan kemampuan untuk menyimpan air serta bahan organik.

"Walaupun belum diteliti, kandungan karbon dalam areal lahan gambut itu diduga tidak berkurang secara signifikan akibat kebakaran yang terjadi pada waktu itu," ujarnya.

Sebelumnya, Pengacara Walhi Aceh Kamarudin mengatakan kawasan hutan primer rawa dan gambut di wilayah Tripa, Aceh, terus berkurang akibat pembukaan lahan dengan cara pembakaran oleh sejumlah perusahaan perkebunan. "Setidaknya sepanjang 2012, kawasan hutan seluas 2.145 hektar hilang di wilayah Tripa akibat pembukaan konsesi lahan dengan cara dibakar," ujar Aceh Kamarudin di Jakarta, Rabu.

Data Walhi menunjukkan luas kawasan hutan di wilayah Tripa, Aceh pada 2011 lalu masih seluas 12.666 hektar, sementara data terakhir September 2012 lalu hanya seluas 10.521 hektar. "Masih terdapat 28 titik api di sana, meskipun wilayah itu termasuk Kawasan Ekosistem Leuser Aceh yang dilindungi," ujar dia. (A063)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013