Kita tidak bisa menggunakan sembarang tanaman untuk mewarnai tenun, kualitas tanaman yang baik akan mempengaruhi warna pada kain tenun

Waingapu, NTT (ANTARA) - Sejumlah penenun asal Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), mengatakan membutuhkan lahan dengan kualitas yang baik untuk membudidayakan beberapa tanaman yang akan diracik menjadi pewarna alami pada kain tenun.

“Kalau (daun) nila itu yang bikin warna biru, kadang mudah ketemu karena bisa tumbuh liar. Tapi kalau pohon mengkudu itu harus ditanam,” kata Penenun Kampung Raja Praliu, Ari Praliu, ketika ditemui ANTARA di Kampung Raja Prailiu, Sumba Timur, Kamis.

Wanita yang akrab disapa Mama Ari itu menyebutkan terdapat sejumlah tanaman yang digunakan sebagai pewarna alami tenun yakni nila sebagai pewarna indigo atau biru, mengkudu untuk menghasilkan warna merah, mangrove atau mahoni untuk warna cokelat, dan idju untuk warna kuning.

Namun akibat kurangnya lahan di tempat tinggalnya, meski beberapa tanaman seperti nila bisa tumbuh secara liar, para penenun akan meminta warga lain yang mempunyai nila di pekarangan rumah, atau mencari ke tempat lain.

Sedangkan untuk pohon mengkudu, mereka bisa mencari sampai ke luar desa atau memintanya dari orang-orang luar yang menanam di sekitar rumah. Pernah pula, kata Mama Ari, dirinya justru membeli tanaman-tanaman itu.

Baca juga: Dekranasda NTT perjuangkan tenun ikat Sumba jadi warisan budaya dunia

“Kita tidak bisa menggunakan sembarang tanaman untuk mewarnai tenun, kualitas tanaman yang baik akan mempengaruhi warna pada kain tenun,” ujarnya.Hal senada juga diucapkan penenun lain, Deki Praikundu. Ia bercerita karena lahan yang terbatas, dulu dirinya sempat membudidayakan banyak pohon mengkudu di kebun samping rumahnya.

Namun kini pohon-pohon itu mati akibat bendungan di wilayahnya sedang diperbaiki dan berdampak pada keringnya irigasi. Akibatnya tidak hanya mengkudu saja, tapi kapas pun ikut jadi sulit untuk dibudidayakan.

“Itu masalahnya di sini, tidak ada lahan untuk budi daya (tanaman pewarna alami). Kalau tidak ada lahan, bagaimana kami mau menenun?,” ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Pengembangan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbudristek Irini Dewi Wanti mengatakan perlu observasi lebih lanjut bersama kementerian terkait untuk mengetahui jenis lahan seperti apa yang dibutuhkan penenun.

Baca juga: Tenun ikat Sumba Timur produk andalan Kemendes PDTT

Sebab permintaan tersebut berkaitan dengan tugas dari masing-masing kementerian/lembaga yang membidanginya. Bila terkait dengan lahan, sebelum memberikan pendampingan, jajarannya harus berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ataupun Kementerian Pertanian (Kementan).

Nantinya masalah akan segera ditindaklanjuti sambil mengkaji lebih jauh masalah yang penenun hadapi, sehingga pihak pemerintah bisa segera mengantisipasi bila masalah yang menimpa penenun di Sumba Timur juga terjadi pada budaya atau produk lokal lainnya,

“Jadi mereka butuh kita. Kita juga butuh mereka karena manuskrip sebagai salah satu pemenuhan kebutuhan kebudayaan. Supaya kepentingannya ternyata tumbuhan ini memang bisa hidup dan itu yang harus kita kembangkan untuk mendukung sebuah produk tadi,” ujarnya.

Baca juga: Kemendikbud adakan pendataan ekosistem tenun di Sumba Timur

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2023