“Industri baja ASEAN harus bekerja sama untuk melindungi pasar regional kita dari praktik perdagangan yang tidak adil dari sumber kelebihan kapasitas dengan harga impor yang rendah sehingga menyebabkan injury pada industri baja domestik di ASEAN,” ujar Purwono Widodo dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Dia juga menambahkan, industri baja ASEAN juga menghadapi tantangan besar berupa kelebihan potensial kapasitas. SEAISI memperkirakan penambahan kapasitas baja di ASEAN akan mencapai 90 juta ton dalam 5-10 tahun mendatang, didominasi oleh investasi dari China. Kapasitas tambahan ini sangat besar dibandingkan dengan pertumbuhan permintaan baja ASEAN.
Purwono menyebutkan bahwa World Steel Association telah memproyeksikan permintaan baja global pada tahun 2023 setidaknya akan tumbuh sebesar 1,1 persen untuk mencapai sekitar 1,8 miliar metrik ton.
Permintaan baja di kawasan ASEAN diperkirakan mencapai 77,9 juta ton, meningkat 3,5 juta ton dari kebutuhan tahun 2022 ton yang sebesar 75,3 juta ton, dengan total produksi sebesar 58,5 juta ton, meningkat 9,1 persen dari produksi di tahun sebelumnya.
“Ekspor dari ASEAN juga terus meningkat sejak tahun 2016 dengan total ekspor 8,6 juta ton dan menjadi 25,1 juta ton pada tahun 2022. Meskipun ada perkembangan positif dari permintaan, produksi, dan ekspor, penting untuk dicatat bahwa ASEAN adalah importir baja yang besar selama bertahun-tahun,” kata Purwono.
Dia juga mengatakan bahwa di tahun 2022 jumlah impor baja ASEAN mencapai 44,5 juta ton atau lebih dari 57 persen kebutuhan baja ASEAN. Hal tersebut merupakan tantangan untuk menurunkan tingkat impor sebanyak mungkin dan meningkatkan produksi baja di regional ASEAN.
Selain itu, ASEAN juga sudah berkomitmen untuk mengurangi emisi pada 2021 United Nation Climate Change Conference (COP26) dan bekerja menuju mitigasi perubahan iklim, dimulai dengan mengajukan kebijakan untuk pengendalian emisi karbon.
Sebagai salah satu industri yang paling intensif dengan karbon, industri baja ASEAN akan terdampak dari target pengurangan emisi karbon.
SEAISI sebelumnya telah memperkirakan bahwa akan ada ledakan peningkatan emisi karbon pada industri baja ASEAN hingga tiga kali lipat jika teknologi net-zero carbon tidak diterapkan.
"Oleh karena itu, SEAISI dan AISC akan mengembangkan peta jalan industri baja net zero carbon dan terus berupaya menemukan cara untuk mengurangi emisi karbon industri baja di ASEAN secara efektif,” kata Purwono yang juga menjabat sebagai presiden dari ASEAN Iron & Steel Council (AISC).
Dia juga mengatakan, dengan adanya wadah SEAISI ini maka semua pihak perlu mengembangkan kerja sama dan kolaborasi industri baja dengan mengadopsi digitalisasi dalam bentuk otomatisasi maupun pemantauan sistem produksi secara daring.
Dengan teknologi digital akan membawa tingkat efisiensi dan produktivitas baru serta mendukung industri baja ASEAN dalam mengembangkan daya saing globalnya.
"Saya percaya SEAISI akan memainkan peran kunci penting untuk menghasilkan ide maupun solusi yang mungkin menjadi jawaban untuk masalah dan tantangan industri baja ke depan,” katanya.
Baca juga: Manfaatkan Fasilitas MITA Kepabeanan, PT Krakatau Steel Berhasil Ekspor 30.000 Ton Hot Rolled Coil ke Italia
Baca juga: Anak usaha Krakatau Steel tandatangani kerja sama di Hannover Messe
Pewarta: Aji Cakti
Editor: Nurul Aulia Badar
Copyright © ANTARA 2023